Refleksi Keberagaman Bangsa dan SisKamLing ber-Media

Refleksi Keberagaman Bangsa dan SisKamLing ber-Media

- in Narasi
1736
0

Dalam beberapa waktu belakangan, kehidupan bangsa ini seolah diancam terus oleh desakan intoleransi dalam beragama. Beberapa aksi kekerasan, persekusi dan kecurigaan berlangsung sejak awal tahun hingga sekarang. Memang cara dan tujuannya berbeda, namun implikasi yang ingin dihasilkan sebenarnya sudah bisa dibaca bersama. Bisa dikatakan hal yang ingin dilahirkan dari semua rentetan kasus tersebut adalah memunculkan keresahan, disharmoni dan akhirnya menguatkan kecurigaan antara sesama anak bangsa yang notabenenya beragam. Bila sudah demikian bukan tidak mungkin konflik horizontal yang pernah terjadi pada awal-awal reformasi akan berulang. Bangsa ini memerlukan peran serta akar rumput yang bersifat partisipatoris dalam menghadang upaya makelar politik atau pun politisi yang menjadikan politik identitas khususnya identitas agama sebagai komoditinya.

Bayangkan saja, jika dirunutkan ada banyak sekali kasus-kasus yang hadir secara bergiliran di beberapa tempat sejak awal tahun ini. Bila kita mengambil secara acak saja setidaknya kita bisa melihat adanya 3 kasus yang berbeda namun terjadi dalam waktu berdekatan dan berkaitan dengan kebebasan beragama. Yang pertama adalah adanya aksi massa yang mengatasnamakan masyarakat desa babat, Banten yang mencurigai adanya kegiatan keagamaan yang berlangsung di rumah yang ditinggali oleh Bikhu bernama Mulyanto Nurhalim. Karena aksi ini, Bikhu tersebut sampai harus membuat pernyataan bahwa tidak ada kegiatan kegamaan yang dilakukan di rumah. Pernyataan yang kemudian diviralkan di media sosial tersebut juga mesti diwujud-nyatakan dengan penendatanganan di atas surat pernyataan ber-materai. Yang kedua adalah penyerangan kepada masyarakat Katolik yang tengah beribadah di daerah Sleman, Yogyakarta. Penyerangan yang dilakukan ketika misa sidang berlangsung tersebut akhirnya harus melahirkan beberapa korban luka parah, termasuk imam pemimpin misa tersebut harus dirawat di rumah sakit karena penyerangan tersebut. Yang ketiga adalah tindakan pengrusakan yang dilakukan terhadap sebuah masjid di Tuban.

Kita tidak dapat memungkiri bahwa pada awal kita mendengar adanya kejadian-kejadian tersebut, membuat kita sedih sekaligus geram (marah). Lalu karena hal tersebut, memacu fikiran kita untuk mulai memasuki fase penjatuhan praduga kepada beberapa hal, beberapa pihak atau pun kelompok. Rasanya terlalu naif bila fase-fase tersebut tidaklah dilewati atau bahkan langsung buru-buru masuk pada koridor berfikir ikhlas atas apa yang telah terjadi dan mendoakan agar hal tersebut tidak akan berulang kembali. Sebab keinginan mencari siapa yang salah atas persoalan yang ada sudah merupakan bagian dari karakter dari manusia yang selalu menuntut adanya jawaban atas apa yang tengah terjadi. Hal ini tidak dapat dibendung, contoh nyatanya dapat kita lihat sendiri bagimana tanggapan masyarakat ketika informasi mengenai hal-hal tersebut viral di media seperti facebook, twitter, Instagram dan lain sebagainya. Ada yang mengumpat dan menyalahkan pihak lain, ada yang sinis terhadap masyarakat dari kelompok lain. Bahkan ada pula yang sampai menyatakan akan melakukan tindakan balasan atas persoalan yang ada.

Mengenai konflik komunal ditingkatan akar rumput memang tidak termunculkan hingga sekarang, namun potensi kearah sana tetaplah besar. Saat ini satu hal yang sudah bisa kita rasakan bersama adalah adanya semacam histeria kecemasan beragama yang membuat masyarakat bingung dengan segala interpretasi yang hadir. Masyarakat bingung bagaimana mestinya bersikap dengan anggota masyarakat lain yang jelas berbeda dengannya. Masyarakat pun ada yang mulai khawatir dalam memunculkan sikap tertentu yang tanpa sadar akan memunculkan identitas tertentu yang dimilikinya yang berpotensi mendapat persekusi dari pihak lain.

Menganggit SisKamLing ber-Media

Memang bukanlah hal yang mudah untuk dapat memperoleh jalan keluar untuk memerdekakakan fikiran dari gempuran stimulus berfikir radikal yang sengaja diciptakan ini. Jadi meskipun hari ini yang dikenai objek atas komoditas agama yang diperjual-belikan melalui kasus-kasus yang ada saat ini adalah masyarakat, namun tetap masyarakat juga-lah yang mampu mengontrol hal ini. Kunci persoalan ini adalah masyarakat sebagai objek atas persoalan. Artinya bila masyarakat bisa membuat sebuah sistem pertahanan yang sederhana untuk membendung hal tersebut, maka keributan dalam media sosial pun akan sulit mendekati pemikiran yang ada. Dengan meniru pola sistem keamanan yang dulu pernah digalakkan bersama, yaitu SisKamLing (Sistem Keamanan LingKungan) pada cara kita ber-Media, maka sebuah bentuk filter akan tercipta sebelum sebuah informasi dikonsumsi dan menjadi penggerak massa.

Cara yang paling sederhana atas hal ini adalah semua pihak yang hari ini merasa mengkonsumsi informasi melalui media apa pun harus mulai menyadari bahwa setiap informasi yang ada tidak melulu berdiri pada posisi netral. Dalam berita yang disajikan, tetap ada perspektif yang diharapkan dapat “renyah” ketika disajikan kepada khalayak ramai. Ingat, karena perspektif inilah yang akhirnya dapat membentuk pemahaman kita akan sebuah fakta yang ada menjadi sebuah opini yang bersifat publik. Bila sudah demikian, adalah haram hukumnya bila kemudian kita dengan gegabah menyebarluaskannya tanpa terlebih dahulu mencari informasi yang lain yang bisa dijadikan sebagai pembanding. Ingat, informasi pembanding yang dimaksud adalah informasi yang sama, namun dengan perspektif berbeda. Jadi, tentunya alergi terhadap media yang berseberangan memang harus benar-benar dicarikan imun yang tepat. Ini penting untuk dilakukan bila kita memang ingin menjaga Indonesia tetap berdiri dengan keberagaman yang ada sebagai sebuah keniscayaan.

Facebook Comments