Residu “New Media” dan Urgensi Jihad Literasi Melawan Provokasi

Residu “New Media” dan Urgensi Jihad Literasi Melawan Provokasi

- in Narasi
1278
0

Kemunculan new media (media baru) terutama internet dan media sosial dengan segenap turunannya telah mengubah nyaris seluruh praktik hidup manusia. Tidak terkecuali dalam hal proses produksi, distribusi dan konsumsi informasi di tengah masyarakat. Pra revolusi digital yang ditandai dengan belum ditemukannya teknologi internet, akses masyarakat terhadap informasi nisbi bisa dikatakan terbatas. Publik hanya mengandalkan media massa arusutama (mainstream) mulai dari radio, koran, televisi, dan sejenisnya untuk mendapatkan informasi.

Revolusi digital mengubah kondisi tersebut. Jejaring internet dan media sosial melahirkan masyarakat baru yang disebut oleh sosiolog Manuel Castels sebagai “network society” (masyarakat jaringan). Yakni masyarakat yang saling terkoneksi, berinteraksi, dan bertukar informasi dalam jaringan maya. Revolusi digital barangkali ialah puncak modernisme yang bertumpu pada nalar sains. Disrupsi analog ke digital yang melahirkan berbagai inovasi seperti Internet of Things (IoT) dan Artificial Intellegece (AI) alias kecerdasan buatan harus diakui telah membuat kehidupan manusia selangkah lebih maju.

Namun, hal itu bukannya tidak menyisakan residu persoalan. Media baru yang hari ini telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia nyatanya juga menghadirkan dampak negatif. Dalam satu dekade belakangan ini, internet dan media sosial telah menjadi inkubator penyebaran hoaks, fitnah dan ujaran kebencian. Hal itu kian diperparah dengan maraknya politik identitas dan populisme konservatif yang belakangan mewabah di sebagian besar wilayah dunia.

Bagi kita yang akrab dengan internet dan media sosial, ujaran kebencian, hoaks dan fitnah barangkali telah menjadi menu wajib yang terpaksa dinikmati ketika kita membuka laman medsos. Banjir informasi yang berkelindan dengan propaganda dan provokasi itu membuat publik kesulitan menarik garis demarkasi antara fakta, opini dan hoaks. Semua bersilang-sengkarut dan centang-perenang membentuk labirin yang menyesatkan dan menipu. Situasi ini pun tidak jarang melahirkan friksi di tengah masyarakat yang jika tidak segera ditangani berpotensi menyulut konflik lebih besar.

Peran Individu dan Komunitas dalam Jihad Melawan Provokasi

Kita patut mengapresiasi kerja pemerintah yang beberapa tahun terakhir gencar memberantas hoaks, fitnah dan ujaran kebencian di kanal medsos dan internet. Ribuan akun media sosial dan situs penyebar hoaks dan provokasi diberangis. Puluhan bahkan ratusan orang dijerat hukum pidana atas tindakan ujaran kebencian atau penyebaran hoaks di ranah digital. Namun, upaya itu belum sepenunya berhasil menganulir masifnya penyebaran hoaks dan provokasi di dunia maya. Ibarat pepatah lama, mati satu, tumbuh seribu. Begitulah gambaran pemberantasan hoaks dan provokasi di dunia digital.

Barangkali benar ungkapan Fareed Zakaria dalam sebuah kolomnya di majalah Newsweekyang mengatakan bahwa hoaks dan provokasi di media sosial mustahil bisa diberantas seluruhnya, kecuali kita menutup akses publik pada media tersebut. Namun, menurut Zakaria menutup akses internet dan media sosial ialah pelanggaran serius terhadap kebebasan publik sekaligus ancaman terhadap prinsip demokrasi. Praktik demikian itu ibaratnya seperti menangkap tikus di lumbung padi namun dengan membakar seluruh lumbung. Zakaria menuturkan, hal yang bisa kita lakukan ialah menumbuhkan literasi digital agar publik bisa mengidentifikasi, menyeleksi sekaligus bersikap bijak terhadap setiap konten yang beredar di dunia maya.

Hal senada disampaikan oleh Garry Bunt (2012). Menurutnya, konten provokasi dan hoaks di internet akan selalu ada karena itu sudah merupakan bagian dari risiko media baru itu sendiri. Karakter media baru yang independen, personal dan aksesibel telah membuka ruang bagi masifnya penyebaran konten bermuatan kebencian bahkan hoaks. Dalam dunia maya dimana semua penghuninya saling berjejaring, konten bermuatan kebencian dan provokasi itu pun dimungkinkan untuk direproduksi dan diredistribusikan secara masif bahkan tidak terbatas. Hoaks, provokasi dan ujaran kebencian yang bertumpuk-tumpuk itu lantas menjadi semacam tembok kokoh yang sulit dihancurkan.

Dalam konteks Indonesia saat ini, jihad literasi melawan provokasi merupakan bagian dari upaya memperkokoh NKRI. Ancaman keutuhan bangsa saat ini tidak datang dari pihak asing dengan agresi militernya, melainkan datang dari dalam. Salah satu wujudnya ialah maraknya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. Komitmen belanegara masyarakat dalam hal ini idealnya juga diejawantahkan dalam konteks perilaku berinternet dan bermedsos yang sehat, cerdas dan bijak.

Jihad literasi digital melawan provokasi ini dapat diejawantahkan dalam dua lingkup, yakni individual dan komunitas. Di lingkup individual, jihad literasi melawan provokasi dapat dilakukan dengan tidak memproduksi, mendistribusi dan mengonsumsi konten hoaks, fitnah, ujaran kebencian dan provokasi. Sebaliknya, setiap individu idealnya memiliki kesadaran untuk melawan hoaks dan provokasi dengan memproduksi dan mendistribusikan konten-konten tandingan yang bersifat faktual dan menyejukkan.

Di lingkup komunitas, jihad literasi melawan provokasi bisa diwujudkan dalam gerakan sosial melawan segala narasi provokatif dan propaganda negatif di media sosial. Gerakan berbasis masyarakat sipil dengan tujuan menumbuhkan kesadaran terkait pentingnya literasi digital sangat kita butuhkan hari ini. Gerakan ini bisa dimulai dari lingkup terkecil seperti grup WhatsApp atau grup medsos lainnya agar steril dari konten hoaks dan provokatif. Kesadaran individu dan komunitas dalam mempraktikkan jihad literasi melawan provokasi ini diperlukan untuk memperkokoh NKRI sekaligus mewujudkan masyarakat jaringan (network society) yang sehat.

Facebook Comments