Jihad Literasi; Memberantas Industri Hoaks dan Provokasi

Jihad Literasi; Memberantas Industri Hoaks dan Provokasi

- in Narasi
1248
0

Revolusi digital yang melatari munculnya keberlimpahan informasi telah mengubah cara manusia dalam mengonsumsi informasi. Kini, publik tidak hanya bergantung pada media-media arus utama dalam mendapatkan informasi, melainkan juga media sosial. Bahkan, dalam banyak hal media massa mainstream mulai kehilangan dominasinya sebagai produsen informasi dan mulai tergerus oleh penetrasi medsos yang mulai masuk ke dalam ranah personal nyaris tanpa batas. Medsos telah menjadi arena baru pertempuran gagasan, opini dan wacana publik. popularitas medsos menurut Newhagen dan Rafael (2005) dilatari oleh setidaknya dua faktor.

Pertama, sifat dasar medsos yang interaktif, dalam artian memungkinan seseorang untuk membuat dan menyampaikan pesan atau informasi, mempublikasikannya dan terlibat dalam interaksi daring dengan orang lain. Inilah yang tidak dimiliki oleh media konvensional dimana pola komunikasi hanya terjadi dalam satu arah. Media sebagai penyampai pesan atau informasi dan publik sebagai penikmat pasif.

Kedua, medsos memungkinkan penggunanya untuk menyebarkan pesan dalam media yang beragam, mulai dari teks, suara, video maupun gabungan di antara ketiganya. Inilah yang membuat medsos menjadi kanal favorit warga dalam menyampaikan pendapatnya atas suatu isu terkini. Di medsos, semua orang bisa menjadi setara, tanpa ada preferensi atau embel-embel apa pun. Awam maupun ahli, sama-sama memiliki hak bersuara di medsos.

Menjadi tidak mengherankan jika masyarakat berbondong-bondong bermigrasi ke medsos. Namun demikian, satu hal yang patut dikhawatirkan dari praktik migrasi masyarakat dari media konvensional ke medsos itu ialah lemahnya dukungan literasi media yang menyebabkan masyarakat begitu mudah terpapar sisi negatif medsos. Lemahnya literasi publik dalam bermedsos telah membuat hoaks dan provokasi tumbuh subur bahkan bertransformasi menjadi industri yang menguntungkan secara finansial.

Di media sosial, hoaks dan narasi provokatif bisa dipesan oleh pihak tertentu untuk kemudian disebar ke publik. Tentu dengan imbalan sejumlah uang. Industri hoaks dan provokasi ini mendapat momentumnya pada saat penyelenggaraan hajatan politik seperti Pilpres, Pileg maupun Pilkada. Para elite politik bermental pragmatis yang gemar memainkan politik identitas kerap memakai hoaks dan provokasi sebagai senjata meraih simpati publik.

Dalam tinjauan sejarah, istilah hoax pertama kali muncul pada abad ke-18 yang berkakar dari frase “hocus pocus”. Istilah ini kerap dipakai oleh para pesulap di Eropa pada akhir abad ke-17. Dalam kamus Cambrigde, dijelaskan bahwa hoax merupakan rencana menipu kebohongan terencana yang ditujukan untuk mengelabuhi sebanyak mungkin orang. Intinya, hoaks ialah informasi yang tidak berdasar pada fakta atau data melainkan tipuan dengan tujuan memperdaya masyarakat dengan menyebarkannya secara masif. Merujuk pada definisi Cambrigde ini, ada dua tiga kata kunci dalam fenomena hoaks, yakni kebohongan, terencana dan masif.

Pentingnya Inokulasi Komunikasi dan Literasi Digital

Lalu, mengapa masyarakat, bahkan kalangan kelas menengah terdidik pun bisa terbuai oleh hoaks? Julia T. Wood dalam hal ini mengetengahkan analisanya. Menurutnya, hoaks dan provokasi mendapatkan pasar luas di tengah masyarakat karena karakter dasar manusia yang suka bergosip. Wood menyebut bahwa manusia pada dasarnya ialah homo narans alias makhluk yang gemar bercerita dan mendengar cerita. Kegemaran bercerita dan mendengar cerita ini jika tidak diimbangi dengan kemampuan literasi yang mumpuni akan menjadi lahan subur bagi berseminya berita palsu dan fitnah.

Selain itu, hoaks bisa berkembang secara masif lantaran corak komunikasi masyarakat yang mengarah pada mental bigotry. Mental bigotry ialah cara pandang yang meyakini bahwa kelompok yang berbeda keyakinan atau pendapat pasti salah dan sesat. Mental bigotry ini umumnya mengemuka dalam konteks sosial, politik dan agama. Cara pandang bigotry yang anti-perbedaan ini semakin menyuburkan fenomena hoaks dan provokasi di tengah masyarakat. Terakhir, hoaks berkembang karena menguatnya sentimen fanatisme terhadap agama dan politik. Sejumlah riset membuktikan bahwa menigkatnya sentimen fanatisme masyarakat pada agama dan politik berbanding lurus dengan masifnya penyebaran hoaks dan provokasi di medsos.

Di tengah masifnya industri hoaks dan provokasi di dunia maya, masyarakat harus memiliki daya tahan agar tidak terseret arus negatif tersebut. Untuk memperkuat daya tahan tersebut, diperlukan apa yang disebut William J. McGuire sebagai “inokulasi komunikasi”. Inokulasi komunikasi merupakan upaya menyuntikkan vaksin untuk merangsang mekanisme daya tahannya terhadap limpahan informasi yang datang setiap waktu. Individu yang memiliki daya tahan kuat terhadap limpahan informasi, kemungkinan besar akan memiliki mekanisme untuk menangkal serangan virus hoaks dan provokasi.

Proses pemberian vaksin itu tentu tidak bisa dilakukan tanpa menggalakkan literasi digital. Konteks literasi digital dalam hal ini ialah kemampuan menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital seperti media massa daring atau medsos dengan tiga landasan utama, yakni keterampilan, pengetahuan dan sikap. Keterampilan dibutuhkan untuk mengoperasikan media secara teknis. Pengetahuan dibutuhkan untuk menyaring informasi. Sedangkan sikap penting untuk memastikan bahwa aktivitas di dunia maya harus dilakukan secara bertanggung jawab dengan mengedepankan etika sosial.

Facebook Comments