Salam Pancasila, “Open Society” dan Soliditas Kebangsaan

Salam Pancasila, “Open Society” dan Soliditas Kebangsaan

- in Narasi
1704
0
Salam Pancasila, “Open Society” dan Soliditas Kebangsaan

Dinamika kehidupan sosial-politik bangsa Indonesia, khususnya di era Reformasi ini diwarnai oleh berbagai konflik kepentingan yang kerap berujung pada terjadinya ketegangan sosial. Iklim kebebasan yang dibawa oleh angin reformasi tampaknya berhasil mengubah lanskap sosial-politik nasional.

Kebebasan berpendapat, berekspresi dan berserikat yang terbuka lebar di era Reformasi dalam banyak hal justru menimbulkan sejumlah residu persoalan. Berbagai tindakan intoleransi atas nama suku, agama dan ras kian sering terjadi. Persekusi terhadap kelompok minoritas oleh kelompok mayoritas seolah tidak pernah berhenti.

Dalam istilah pakar kebudayaan Yasraf Amir Piliang, Indonesia di era Reformasi ini tengah mengalami apa yang disebutnya sebagai proses desosialisasi dalam skala kolosal. Yakni suatu kondisi ketika masyarakat mulai tercerai-berai, lepas dari ikatan sosialnya dan hidup dengan mengedepankan nalar arogansi dan individualisme. Gejala desosialisai ini, menurut Radhar dapat diidentifikasi ke dalam setidaknya tiga hal.

Pertama,social disunity yakni runtuhnya persatuan dan kesatuan bangsa akibat berbagai bentuk permusuhan dan konflik sosial multidimensi di antara berbagai kelompok masyarakat. Seperti kita lihat, pasca berakhirnya Orde Baru, konflik sosial berlatar perbedaan suku, agama dan ras meledak di sejumlah wilayah di Indonesia. Tidak terhitung jumlah korban tewas dan kerugian material akibat kekacauan sosial tersebut. Lebih memperihatinkan lagi ialah bahwa konflik itu telah menimbulkan trauma psikologis bagi bangsa Indonesia.

Kedua, social disconnection yakni terputusnya rantai-rantai hubungan sosial antar-suku, agama dan ras yang sebelumnya telah menyatukan berbagai komponen masyarakat yang plural lewat hubungan kekerabatan, persahabatan dan saling pengertian yang berbasis pada toleransi dan penghargaan terhadap sesama.

Baca Juga : Menyambut Salam Pancasila

Ketiga, social deteritorialisation yakni sebuah proses sosial yang mengisyaratkan kelompok-kelompok masyarakat yang berupaya menggugat dan membongkar peta teritorial (politik, ekonomi, budaya dan agama) serta merebut ruang-ruang sosial (social space) mereka yang telah dikapling-kapling secara tidak adil di masa lalu. Hal ini tampak dalam kemunculan gerakan separatisme berbasis kesukuan dan gerakan radikalisme berbasis ajaran keagamaan.

Ketiga hal yang menandai gejala desosialisasi itu lantas berujung pada pola pikir masyarakat yang cenderung menilai segala hal dengan logika oposisi biner (binary opposition). Masyarakat berpikir dengan logika aku-kamu, kami-kalian, kita-mereka. Cara pandang yang demikian ini jelas tidak adaptif bagi realitas sosial bangsa Indonesia yang multikultur dan multireliji.

Melampaui Penyeragaman

Di era Reformasi ini, cara pandang dan pendekatan untuk mengelola multikulturalitas dan multirelijiusitas tentu harus berbeda dengan cara yang dipraktikkan di era Orde Baru. Di era pemerintahan Orde Baru, pemerintah cenderung memakai pendekatan uniformity(penyeragaman) dalam mengelola perbedaan agama dan budaya. Pemerintah Orde Baru berupaya menekan potensi konflik akibat perbedaan agama dan budaya dengan jalan mengkondisikan masyarakat ke dalam satu keseragaman yang kerap dipaksakan.

Akibatnya, masyarakat merasa terkekang kebebasannya. Demikian pula toleransi agama dan budaya yang tercipta di masyarakat juga cenderung palsu (pseudo tolerance). Puncaknya, ketika Orde Baru berakhir, anasir kekuatan agama dan budaya yang selama ini dipinggirkan itu merebut kembali kebebasannya dengan jalan-jalan yang justru bertentangan dengan agenda reformasi dan prinsip demokrasi. Maka dari itu, di era Reformasi ini kita membutuhkan pendekatan pada keanekaragaman budaya dan agama yang melampaui nalar penyeragaman.

Gerakan Salam Pancasila sebagaimana digagas oleh Ketua Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dalam konteks ini bisa menjadi sebuah tawaran menarik. Salam Pancasila kiranya mampu keluar dari nalar penyeragaman yang menegasikan keunikan masing-masing entitas. Sebaliknya, Salam Pancasila justru mengayomi kepentingan seluruh entitas agama dan budaya itu dalam satu corak bahasa komunikasi yang egaliter. Corak bahasa komunikasi yang egaliter ini penting dalam konteks masyarakat yang pluralistik, baik secara agama dan budaya.

Sebagaimana dikemukakan oleh filosof Karl R. Popper dalam bukunya Open Society and Its Enemies. Menurut Popper, masyarakat modern idealnya mengadaptasi konsepsi masyarakat bercorak terbuka (open society). Yakni masyarakat yang kehidupan sosial, politik dan ekonominya bertumpu pada aturan hukum dan keutamaan etika. Di bidang ekonomi, Popper menilai, sistem ekonomi paling ideal bagi masyarakat modern ialah sistem ekonomi pasar yang mengedepankan nilai-nilai ideal.

Dari sisi politik, Popper meyakini sistem politik yang cocok diterapkan di masyarakat modern ialah sistem demokrasi yang menghargai kebebasan individu dan hak asasi manusia. Popper meyakini bahwa demokrasi yang bertumpu pada asas kemanusiaan dan hak asasi manusia memungkinkan semua kelompok dalam sebuah negara diperlakukan setara di muka hukum.

Sedangkan dari sisi budaya, Popper menganjurkan bahwa masyarakat modern harus membangun suatu konsensus bersama untuk saling melindungi kebudayaan masing-masing sekaligus menghormati kebudayaan kelompok masyarakat lain. Konsensus kebudayaan ini bertujuan agar kebudayaan tidak berkembang kea rah praktik predatoris, dimana satu budaya “memakan” budaya lainnya.

Memperkuat Soliditas

Gagasan open society alias masyarakat terbuka ini agaknya relevan diterapkan dalam konteks Indonesia yang saat ini tengah menghadapi beragam tantangan. Dari sisi ekonomi, kita menyaksikan sendiri bagaimana sistem kapitalisme yang bertumpu pada mekanisme ekonomi padat modal telah memberikan keuntungan pada segelintir orang namun di saat yang sama justru menyengsarakan sekelompok masyarakat lainnya. Sistem ekonomi kapitalisme-liberal telah mengetepikan semangat ekonomi Pancasila yang berdasar pada asas gotong royong.

Begitu pula dari sisi politik, dimana demokrasi liberal yang bertumpu pada asas one man one vote gagal melahirkan kesejahteraan masyarakat, alih-alih melahirkan corak kepemimpinan yang oligarkis dan feodalistik. Demokrasi Pancasila yang berdasar pada diktum “musyawarah untuk mufakat” mulai diabaikan, digantikan sistem demokrasi elektoral-serba langsung. Tidak kalah memperihatinkannya juga di sisi kebudayaan dan keagamaan. Dua unsur pokok pembentuk jatidiri bangsa Indonesia itu kini tengah mengalami krisis akut yang membuatnya berada di titik nadir.

Kebudayaan kita mengalami krisis lantaran masyarakatnya terjebak ke dalam nalar pikir pragmatisme. Aspek keagamaan kita pun mengalami kondisi serupa lantaran sebagian umat beragama terjerumus ke dalam alam pikir konservatisme, bahkan radikalisme. Konsekuensi lanjutan dari semua kondisi itu ialah kian lemahnya soliditas kebangsaan kita. Ibarat sebuah bangunan, bangsa kita tengan mengalami korosi, pengeroposan dari dalam dan bisa sewaktu-waktu roboh tak bersisa. Untuk itulah, gerakan-gerakan yang berupaya mengembalikan soliditas kebangsaan perlu kita apresasi dan dukung dengan penuh totalitas dan komitmen. Seperti halnya gagasan Salam Pancasila sebagai salam kebangsaan sebagaimana dikampanyekan oleh BPIP. Sekecil dan sesimbolis apa pun gerakan Salam Pancasila, kita wajib optimis bahwa hal itu akan berdampak signifikan terhadap upaya memperkuat soliditas kebangsaan kita.

Facebook Comments