Ditetapkannya 1 Muharram sebagai awal tahun Islam oleh Khalifah Umar bin Khattab tentu bukan tanpa sebab. Hijrah merupakan titik tolak dakwah Nabi. Di Makkah, selama 13 tahun Rasulullah hanya berhasil mengajak segelintir orang untuk masuk Islam. Dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah harus menghadapi tentangan dari para elite Quraisy. Berbagai tindakan kekerasan bahkan ancaman pembunuhan pun mewarnai perjalanan dakwah Islam di Makkah kala itu.
Kondisi mulai berbalik arah ketika Nabi hijrah ke Yatsrib. Jumlah orang beriman pun kian bertambah. Selain itu, Nabi berhasil mentransformasikan Yastrib menjadi kota mutamaddin alias kota yang penduduknya beradab. Di dalamnya, hidup masyarakat dari beragam kelompok yang saling menghargai, menghormati dan menjaga.
Rasulullah mengikat berbagai perbedaan suku, agama dan golongan itu ke dalam satu perjanjian yang kelak disebut Piagam Madinah. Melalui Piagam Madinah, kaum pendatang dari Mekkah (Muhajirin), penduduk lokal yang terdiri atas suku Awz dan Khazaraj (Anshar), Bani Quraidlah serta Bani Nadhir, juga kaum Yahudi dan Nasrani diikat ke dalam satu komitmen untuk menjunjung tinggi kesetaraan, keadilan, dan persaudaraan.
Tiga Kunci
Jika ditinjau dari sisi historis-filosofisnya, setidaknya ada tiga elemen penting yang menjadi kunci keberhasilan Nabi dalam berhijrah dan membangun kota Madinah. Pertama, Nabi Muhammad membangun dasar spiritualitas yang kuat. Ketika pertama kali sampai ke Yastrib, hal pertama yang dilakukannya ialah membangun masjid. Dengan membangun masjid, Rasulullah pada dasarnya tengah memberikan teladan bahwa aspek spiritualitas ialah fondasi penting membangun peradaban.
Kedua, Nabi Muhammad membangun dasar intelektualitas yang kokoh dengan jalan mengubah pola pikir umat menjadi lebih rasional. Rasional dalam artian umat diajak untuk memaksimalkan potensi akal dalam membangun peradaban. Salah satu wujudnya ialah Rasulullah mendidikan tempat-tempat pendidikan dan pengajaran. Di samping itu, Nabi juga senantiasa mengajak umatnya untuk memaksimalkan daya pikir dan akal guna menyelesaikan sebuah problem.
Ketiga, Rasulullah juga membangun moralitas masyarakat sebagai pilar penting membangun peradaban. Moral (karakter-akhlak) menjadi bagian penting dalam membangun masyarakat Madinah yang berperadaban. Peradaban mustahil dibangun tanpa sebelumnya menguatkan aspek moral, karakter dan akhlak masyarakatnya. Dari masyarakat yang bermoral, karakter dan akhlak yang positif itulah, nilai-nilai kesetaraan, persaudaraan dan keadilan bisa lebih mudah dikembangkan.
Hijrah dan Kemerdekaan
Tahun ini, kita memperingati Tahun Baru Hijriah hampir berbarengan dengan peringatan Hari Kemerdekaan ke-76. Relevan kiranya untuk mencari keterhubungan filofosis antara momentum hijrah kenabian dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Jika hijrah ialah peristiwa pembebasan Nabi Muhammad dan pengikutnya dari penindasan kaum kafir Quraisy, maka kemerdekaan Indonesia ialah momentum awal lepasnya bangsa dari cengkeraman penjajah. Kemerdekaan ialah semacam tiket kita untuk menentukan nasib sendiri dan masa depan bangsa.
Kemerdekaan tentu tidak sebatas bebas dari cengkeraman penjajah. Kemerdekaan yang hakiki ialah lepas dari perpecahan bangsa. Maka, merawat kemerdekaan pada dasarnya ialah merawat persatuan. Sayangnya, kemerdekaan bangsa saat ini justru terancam oleh tiga persoalan besar, yakni pandemi, sektarianisme dan radikalisme.
Pandemi Covid-19 yang telah berjalan sekira 1, 5 tahun tidak lagi menjadi problem kesehatan, namun juga ekonomi, sosial, politik dan agama. Pandemi melahirkan jutaan kelompok rentan baru. Krisis ini harus ditangani dengan mengembangkan sikap simpati dan empati sesama manusia.
Krisis pandemi ini mewajibkan kita meninggalkan pola pikir individualisme-egoisme menuju pola pikir yang bertumpu pada kolektivisme dan voluntarisme. Kolektivisme ialah cara pandang menyelesaikan masalah yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Sedangkan voluntarisme ialah paham kesukarelaan dimana masyarakat melakukan kebaikan pada orang lain dengan tanpa pamrih, apalagi paksaan.
Sedangkan problem sektarianisme yang mewujud ke dalam bermacam bentuk mulai dari polarisasi politik, politik identitas hingga sentimen rasialisme kiranya bisa diatasi dengan mengembangkan spirit egalitarianisme dan demokrasi berkeadaban. Kita harus berhijrah dari pola pikir lama yang segregatif, yakni memandang kelompok lain yang berbeda dengan kecirugaan dan kebencian. Sekarang waktunya kita memandang kelompok lain yang berbeda suku, agama, ras, etnis dan budaya dengan adil, setara dan demokratis.
Terakhir, problem radikalisme keagaman harus kita atasi dengan mengintensifkan gerakan moderasi agama. Di titik ini kita harus berhijrah dari corak keagamaan yang konservatif-eksklusif menuju keberagamaan yang moderat-inklusif. Perbedaan agama kiranya tidak melahirkan sentimen kebencian, alih-alih memperkaya perspektif kebangsaan kita. Arkian, momentum tahun baru Islam dan peringatan Kemerdekaan yang diperingati dalam waktu berdekatan ini kiranya bisa memantik kesadaran umat dan bangsa untuk kian mengutkan persatuan.