Baru-baru ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kabar penganiayaan terhadap seorang aktivis perempuan, Ratna Sarumpaet. Setelah menjadi bola panas, kabar tersebar di dunia maya, berbagai tokoh nasional pun mulai bersuara mengecam pelaku penganiayaan. Tak disangka, dalam jumpa pers di kediamannya (3/10/18), aktivis perempuan tersebut secara mengejutkan mengaku bahwa ia telah berbohong. Pencipta hoax terbaik, ungkapnya.
Hal tersebut menyadarkan masyarakat bahwa siapa saja dapat tertipu kabar hoax, walaupun tokoh elite nasional sekalipun. Sebuah kejahatan yang sangat meresahkan, saat masyarakat lain sedang berduka karena gempa dan tsunami di Palu, Sigi dan Donggala, isu hoax tersebut muncul tanpa rasa iba. Jelas sangat meresahkan, mengadu masyarakat hingga elite nasional untuk saling tuduh dan berujung pada ujaran kebencian. Sebuah isu propaganda yang hingga saat ini belum diketahui tujuannya.
Konsep simpelnya sama seperti gim Werewolf Hago yang sedang booming di generasi muda, pada setiap detiknya ada sekitar 19.000 orang yang memainkan. Werewolf ditugaskan untuk membunuh warga, pemain yang mendapatkan peran tersebut harus pintar-pintar berbohong mempengaruhi pemain lain agar tidak dipilih untuk digantung oleh tim baik. Tim jahat atau Werewolf harus bekerja sama memainkan propaganda agar dapat meenangkan permainan. Endingnya semua pemain akan mengetahui siapa sebenarnya yang menjadi tim jahat. Sekarang dengan adanya kasus hoax pengeroyokan seorang aktivis perempuan, kita tinggal menunggu pihak berwajib untuk mengetahui siapa sebenarnya yang menjadi “tim jahat”.
Tak hanya kasus tersebut, rentetan hoax juga terus-menerus terjadi dan menyebar di dunia maya. Setelah gempa bermagniudo 7,4 mengguncang Sulawesi Tengah dan mengakibatkan tsunami di Palu, muncul hoax gempa susulan hingga lebih dari 8,1 SR meresahkan masyarakat Palu dan sekitarnya. Pasca erupsi gunung Soputan di Sulawesi Utara juga diiringi dengan beredarnya video dan foto hoax letusan dahsyat gunung tersebut. Semua informasi hoax yang beredar sangat meresahkan masyarakat, hingga muncul pro-kontra berakibat pada saling caci di dunia maya.
Di mana sebenarnya hati si pemroduksi hoax tersebut? Mereka menggunakan pola sama, sebagaimana pola yang dilakukan pemimpin NAZI Jerman, Adolf Hitler dahulu. Kebohongan disampaikan berulang-ulang secara masif, hingga masyarakat membenarkannya. Dengan demikian hoax yang beredar akan mempengaruhi perilaku seseorang dan memanipulasi tindakannya untuk saling menyalahkan.
Melalui hoax tersebut masyarakat digiring untuk lebih reaktif saling menghujat, ketimbang berhati-hati dan selektif dalam melihat informasi. Mengingat cepatnya arus informasi saat ini. Padahal masyarakat memiliki tujuan sama, yaitu ingin yang terbaik bagi negerinya.
Sebagai masyarakat yang menjunjung nilai kebinekaan dan terkenal akan kesantunan masyarakatnya, perlu tindakan riil untuk keluar dari jeratan hoax tersebut. Perlu kesadaran dalam diri sendiri agar tidak terus terusan terjebak dalam kubangan hoax.
Konsep Komunikasi Nir Kekerasan (KNK) perlu ditanamkan sebagai sarana untuk menangkal hoax. Sebelumnya, konsep KNK ini dipopulerkan oleh Marshall Rosenberg, ia menyebutnya sebagai Nonviolent Comunication. Pria yang menghembuskan napas terakhirnya pada tahun 2015 itu telah melalang buana ke-60 negara, termasuk Indonesia untuk menyebarkan konsep tersebut. Konsepsi KNK cocok untuk kultur Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya. Pokok dalam KNK ini ditujukan untuk membuat masyarakat lebih objektif melihat sesuatu dengan mengesampingkan sikap reaktif.
Saat menemui informasi yang belum jelas, sebeleum mengeluarkan pendapat, dalam KNK kita harus melakukan observasi tanpa evaluasi, mengetahui perasaan, kebutuhan, permintan. Semua itu akan memunculkan empati dari pihak lain, bukan malah memunculkan ungkapan saling menyalahkan. Hal tersebut dirasa perlu untuk mengontrol masyarakat agar tidak reaktif menghadapi informasi. Sikap reaktif hanya membuat suasana semakin keruh.
Observasi tanpa evaluasi dilakukan dengan melihat informasi tanpa melakukan penilaian bahwa info tersebut baik atau buruk si tertuduh, sebelum mengetahui kedalaman informasinya. Karena penilaian setiap orang akan berbeda standarisasinya. Saat ingin menyampaikan ke orang lain, penyampaian dilakukan dengan detail info tersebut diperoleh dari mana asalnya.
Kita juga harus mengetahui perasaan yang ada dalam hati, apakah itu sedih atau marah saat mendapatkan informasi. Hal tersebut untuk mengontrol emosi yang akan dicurahkan. Selanjutnya, kita perlu memahami kebutuhan apa yang harus didapatkan saat mendapatkan informasi. Semuanya harus disampaikan dengan jelas dalam sebuah permintaan, agar tidak terjadi salah tafsir.
Misalnya pada kasus hoax oleh Ratna Sarumpaet. Sebelum kebenarannya diketahui, kita tidak perlu melakukan penilaian pada pihak-pihak yang dituduhkan dan korban, bahwa itu tindakan biadap, tindakan pengecut dan lain-lain. Saat ingin menyampaikan informasi, kita ungkapkan perasaan seperti “sedih”. Selanjutnya, karena kebutuhannya adalah kejelasan informasi, permintaan ditujukan pada pihak terkait dan bertanggungjawab untuk menjelasakan permasalahan yang sebenarnya. Tidak perlu memojokkan siapa pun, hal tersebut hanya akan memunculkan pro-kontra dan saling hujat.
Jernih menerima informasi dan mulailah melakukannya dari diri sediri. Semua untuk Indonesia lebih baik, hentikan sikap reaktif pada setiap informasi yang didapat. Saat ada kemauan untuk menjadi lebih baik, bukankah KNK tersebut akan terlihat indah apabila dapat dilakukan?