Terus Belajar agar Tak Mudah Menyalahkan

Terus Belajar agar Tak Mudah Menyalahkan

- in Narasi
2124
1

Belajar, dalam hal apa pun, termasuk dalam mendalami agama, merupakan proses yang tak pernah berakhir. Selama nafas masih berhembus, sudah selayaknya kita terus memaksimalkan kesempatan tersebut untuk terus belajar. Kesadaran untuk terus mendengar, berpikir, mengambil pelajaran dalam kehidupan, demi perbaikan dan perkembangan diri maupun kehidupan bersama, merupakan proses yang berjalan terus menerus, sejak seseorang terlahir di dunia hingga ajal tiba.

Pentingnya kesadaran untuk terus belajar atau mencari ilmu sejak kecil, juga telah disabdakan Rasulullah Saw, “Carilah ilmu sejak dari ayunan hingga masuk ke liang lahat” (HR Muslim). Mencari ilmu memang menjadi cara manusia memberdayakan akal pikiran yang telah Allah Swt anugerahkan. Artinya, mencari ilmu bisa dimaknai sebagai bentuk syukur atas nikmat dan anugerah berupa akal pikiran yang kita miliki.

Spirit mencari ilmu mestinya ditanamkan sejak dini. Sebab, masa anak-anak atau masa muda, memang saat paling tepat untuk mencari ilmu. Belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu; apa yang dipelajari akan mudah terpatri dalam diri anak. Namun, satu hal yang perlu ditekankan adalah pentingnya memiliki kesadaran untuk jangan pernah berhenti belajar. Sebanyak apa pun ilmu yang didapat, jangan sampai membuat kita kemudian berhenti belajar.

KH Ahmad Mustofa Bisri, atau akrab disapa Gus Mus, dalam sebuah acara seminar di UIN Walisongo Semarang, bahkan pernah berpesan pada generasi muda untuk berpikir “segila” apa pun, asal tidak berhenti belajar (NU Online, 25/5/2007). Pesan kiai yang juga seorang pelukis dan penyair tersebut menyiratkan pentingnya seseorang untuk tetap memelihara spirit belajar dalam dirinya. Terlebih, dalam hal agama, spirit untuk terus belajar dan memperdalam agama akan membuat seseorang semakin tawadhu’. Apa-apa yang sudah diketahuinya dan apa saja yang sudah diamalkan tak membuat seseoranng merasa paling tahu segalanya, sehingga menjauhkannya dari sifat sombong.

Sebagaimana sifat tanaman padi, semakin berisi semakin menunduk, seseorang yang semakin dalam ilmu dan amalnya dalam menjalankan dan mendalami agama, maka dengan sendirinya ia akan semakin rendah hati, tidak sombong, yang mana hal tersebut tercermin lewat sikap atau akhlaknya baiknya kepada sesama; dalam wujud keramahan, penghargaan, dan penghormatan terhadap orang lain. Banyak contoh para alim, ulama, dan kiai yang terus memiliki spirit belajar meskipun di masyarakat sudah dipandang ahli agama.

Dalam bukunya yang berjudul Koridor (2010), Gus Mus menggambarkan sosok kiai Ahmad Abdul Hamid Kendal, yang beliau anggap sebagai kiai yang mutabahhir; yakni seseorang yang penuh kearifan, pengertian, dan tidak “kagetan” dengan segala hal yang berbeda atau tak biasa. Sifat-sifat tersebut dibentuk dari ketekunan dan kesabaran menimba ilmu dan terus belajar dari pergaulan yang luas dan pengalaman hidup, sehingga membentuk sosok kiai muttafaq alaih, bukan “Wali Tiban”.

Toleransi

Dalam konteks menumbuhkan sikap toleran dalam diri seseorang, semangat untuk terus belajar menjadi modal utama. Dengan menanamkan semangat untuk terus belajar, orang akan memiliki kesadaran tentang ketidaksempurnaan dirinya—sebagai manusia. Ia sadar bahwa di atas langit masih ada langit. Sebab sumber dari segala kebenaran sejati hanyalah Allah Swt. Pada gilirannya, kesadaran akan ketidaksempurnaan ini menumbuhkan kesadaran untuk menghargai orang lain, termasuk menerima dan menghormati orang atau kelompok yang berbeda dengannya. Ia akan menjadi orang yang terbuka, ramah terhadap perbedaan, dan tak segan membuka dialog dengan orang lain.

Sebaliknya, ketika seseorang tak memiliki semangat terus belajar, ia akan cenderung stagnan secara keilmuan dan pemikirannya. Ia akan berhenti belajar, menganggap dirinya sudah cukup berilmu, bahkan tak jarang merasa paling alim dan memandang orang lain berada “di bawah” nya. Ia akan memosisikan dirinya selalu lebih tinggi dan lebih tahu ketimbang orang lain. Akibatnya, ketika melihat suatu perbedaan atau hal-hal yang tak sesuai dengan apa yang selama ini menjadi keyakinannya, ia kemudian mudah menyalahkannya, bahkan lebih jauh, menuduhnya kafir dan sesat. Hal tersebut tentu bukan sesuatu yang baik dalam konteks menumbuhkan semangat toleransi dalam masyarakat.

Jika para kiai dan para alim saja tidak pernah berhenti belajar, maka tak ada alasan bagi kita yang masih awam ini untuk berhenti belajar, apalagi merasa paling tahu dan paling benar. Kita pun semakin sadar akan pentingnya menumbuhkan semangat dan kesadaran terus belajar, terlebih di kalangan anak-anak dan pemuda kita. Jika anak-anak muda kita saat ini adalah orang-orang yang memiliki spirit untuk terus belajar dan tak akan pernah berhenti belajar, kelak ketika dewasa mereka akan menjadi lentera-lentera yang memancarkan cahaya perdamaian di tengah-tengah keberagaman masyarakat. Bukan orang-orang yang mudah dipengaruhi paham-paham radikal yang menggelisahkan umat. Wallahu a’lam

Facebook Comments