Tiga Residu Konten Debat Keagamaan di Medsos; Komparasi, Labelisasi, Intoleransi

Tiga Residu Konten Debat Keagamaan di Medsos; Komparasi, Labelisasi, Intoleransi

- in Keagamaan
29
0
Tiga Residu Konten Debat Keagamaan di Medsos; Komparasi, Labelisasi, Intoleransi

Di era digital, isu keagamaan pun tidak luput menjadi materi para pembuat konten. Salah satu konten yang mendapat banyak penonton adalah dialog keaagamaan.

Di sejumlah paltform media sosial, dari TikTok sampai YouTube, konten dialog keagamaan tengah menjadi tren. Di TikTok, ada sebuah akun yang secara khusus melakukan siaran langsung setiap harinya untuk melakukan dialog keagamaan.

Hal yang sama terjadi di YouTube, dimana belakangan juga marak konten dialog keaagamaan, terutama yang membahas Islam dan Kristen. Secara mengejutkan, konten seperti ini mampu mendatangkan jumlah penonton ratusan ribu hingga jutaan. Tidak lupa pada penonton itu pun juga terlibat perang opini dan unjuk klaim kebenaran di kolom komentar.

Tingginya animo netizen menonton konten debat atau dialog keagamaan di medsos ini menunjukkan bahwa agama memang menempati posisi penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Survei Pew Reseacrh beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa 83 persen masyarakat Indonesia menganggap agama sebagai elemen penting dalam kehidupan.

Namun, di saat yang sama survei tersebut juga menunjukkan bahwa angka toleransi keagamaan di kalangan masyarakat Indonesia menunjukkan kecenderungan penurunan dari waktu ke waktu. Skor indeks toleransi Indonesia pada tahun 2023 lalu berada di peringkat 123 atau turun 8 peringkat.

Bagaimana Peningkatan Relijiusitas Berdampak Pada Menguatnya Intoleransi?

Situasi ini tentu ironis. Bagaimana tidak? Di satu sisi, menurut survei masyarakat Indonesia merupakan komunitas dengan tingkat relijiusitas yang termasuk paling tinggi di dunia. Namun, di sisi lain masyarakat Indonesia juga dikenal paling intoleran dalam urusan agama. Di titik ini, kita bisa mengatakan bahwa konten debat atau dialog keagamaan terutama yang tengah trend di dunia maya itu juga menyumbang andil pada tingginya angka intoleransi.

Konten debat agama di media sosial pada umumnya cenderung problematik dan lantas menyisakan sejumlah residu. Pertama, konten-konten itu sebenernya tidak bisa dikategorikan sebagai dialog keagamaan melainkan lebih tepat disebut sebagai komparasi doktrin agama.

Yang namanya dialog itu terjadi komunikasi dua arah dimana setiap pihak terbuka atas argumen pihak lain. Menghormati tidak harus dipastikan sebagai sikap setuju, melainkan sebagai sebuah wujud intelektualitas.

Sedangkan komparasi keagamaan adalah ketika masing-masing perwakilan agama-agama itu bermonolog, mengumbar klaim kebenaran yang eksklusif, dan menuding kelompok agama lain salah, sesat atau kafir.

Kedua, komparasi doktrin agama itu lantas memunculkan perilaku pelabelan negatif (negatif stereotyping). Satu pihak merasa diri paling benar dan suci lantas mendukung pihak lain salah dan sesat. Labelisasi negatif pada kelompok lain ini dibutuhkan untuk menjatuhkan kredibilitas kawan debat.

Segala cara dipakai agar lawan debat tersudut dan kehilangan reputasi di hadapan publik. Kemenangan debat hanya diukur dari bagaimana seseorang menjatuhkan kredibilitas dan mental lawannya. Ironisnya hal ini kerapkali dilakukan dengan cara-cara non ilmiah. Misalnya meninggikan nada bicara dan sejenisnya.

Ketiga, pundak dari labelisasi itu adalah munculnya praktik intoleransi agama di level umat beragama akar rumput. Para penonton debat keaagamaan jenis ini umumnya adalah masyarakat awam yang sebenarnya tidak terlalu paham ilmu agama.

Namun, mereka tengah merasakan hasrat atau gairah keagamaan yang tinggi. Alhasil, mereka kerap menelan mentah-mentah materi perdebatan agama di medsos. Konsekuensi logis dari perilaku tersebut adalah kian suburnya praktik intoleran agama di tengah masyarakat.

Membudayakan Dialog Agama Konstruktif

Ke depan kita perlu membudayakan dialog agama yang bersifat konstruktif. Yakni dialog yang steril dari prasangka buruk apalagi kebencian. Dialog yang didasari spirit untuk mencari titik temu, bukan meruncingkan perbedaan antaragama. Dialog yang mampu menjembatani kepentingan masing-masing kelompok agama agar tidak terjadi benturan dan konflik di masa depan.

Jika merujuk pada gagasan Azyumardi Azra, model dialog keagamaan bisa dilakukan dalam dua model. Pertama, model dialog keagamaan yang disponsori negara atau pemerintah. Artinya, pemerintah memfasilitasi pertemuan para tokoh agama-agama untuk mengadakan dialog secara resmi.

Model dialog yang seperti ini pernah ditradisikan di zaman kekhalifahan Abbasiyah. Dimana khalifah zaman itu mengundang para elite agamawan ke istana kerajaan untuk berdialog tentang banyak isu. Mulai dari isu agama, politik, sosial, budaya, bahkan ekonomi.

Kedua, model dialog yang diinisiasi oleh lembaga pendidikan seperti universitas atau pesantren dan institusi pendidikan lainnya. Dialog yang demikian ini biasanya membahas isu-isu teologis yang akademik atau bahkan tekstualistik dan melibatkan para pakar keagamaan saja.

Model dialog yang demikian ini sebenarnya telah membudaya di internal Islam. Misalnya di lingkup Nahdlatul Ulama terdapat forum Bahtsul Masail yang digelar rutin oleh pesantren-pesantren untuk membahas tinjauan hukum (fiqih) dari fenomena sosial yang nisbi baru.

Facebook Comments