Toleransi Islam ala Sudan

Toleransi Islam ala Sudan

- in Peradaban
10014
0

Minggu lalu saya menulis cerita tentang Sudan terkait penerapan syariat Islam di sana. Meski mengadopsi Islam sebagai falsafah negara, negeri berpenduduk sekitar 42 juta jiwa ini tetap mempertahankan budaya lokal dan sistem pemerintahan modern. Cara itu dilakukan sebagai upaya untuk memelihara ketahanan nasionalnya sebagai negara berdaulat dan merdeka.

Ketertarikan saya pada Sudan –selain pernah berdomisili lama di sana- karena pemahaman Islam warganya sangat kompeherensif. Maksudnya, Islam di sana dipahami dan dihayati masyarakatnya tanpa dibenturkan dengan budaya lokal dan sistem pemerintahan modern (demokrasi). Keunikan inilah yang di kemudian hari mengundang ketertarikan sejumlah pengamat dan pemerhati untuk mempelajari sistem politik dan ekonomi yang diterapkan di sana sekaligus memperbandingkannya dengan negara-negara lain yang mengklaim sebagai Negara Islam.

Sudan dan Indonesia sesungguhnya punya hubungan sejarah manis yang melibatkan masyarakatnya. Dari kacamata negeri Arab-Afrika ini, Indonesia adalah ‘big brother’ yang punya peran besar dalam kemerdekaan mereka. Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pernah memberikan kursi dan bendera khusus kepada delegasi Sudan dalam Konferensi Asia Afrika pada 1955, meskipun negeri ini saat itu belum merdeka dan masih berada di bawah protektorat Inggris dan Mesir.

Sebaliknya, di bidang keagamaan Indonesia pernah berhutang pemikiran pada Syeikh Ahmad Surkati, seorang ulama Sudan awal abad 20 sekaligus guru di masjidil haram yang dikirim Raja Saudi berdakwah di Indonesia. Syeikh Surkati pernah memecahkan persoalan kufu antara kaum pribumi dengan keturunan ‘alawiyyin yang jadi perdebatan di Indonesia. Ceritanya, di masa itu pernikahan antara keturunan ‘alawiyyin (cucu Nabi dan Arab) dengan pribumi tidak diperkenankan dengan alasan tidak sederajat. Surkati menolak dan memberi fatwa kebolehan ‘kawin campur’ itu karena hakikatnya manusia itu sama dan Islam tidak memperkenankan sistem kasta berlaku di tengah masyarakat.

Terkait konteks dalam negeri, Sudan mungkin tidak sebaik ‘saudara tua’-nya Indonesia. Sejak kemerdekaannya pada 1956 konflik demi konflik kerap menghantui pemerintahan Sudan. Kudeta pemerintahan pernah terjadi beberapa kali dari sipil ke militer, militer ke sipil, dan terakhir sipil ke militer. Menurut saya, kekacauan internal pemerintahan dan politik di Sudan disebabkan oleh ketiadaan falsafah negara yang menjadi konsensus bersama seperti keberadaan Pancasila di Indonesia.

Demi meredam konflik politik yang terus menerus mendera pada 1989 secara resmi pemerintah Sudan mendeklarasikan Islam sebagai dasar negara. Di Sudan warga Muslim mencapai sekitar 80 persen lebih. Namun meski berasaskan Islam, praktek bernegara di sana jauh berbeda dari praktek dan propaganda kelompok Islam radikal soal negara. Sudan misalnya tidak menggunakan kata Khilafah atau Daulah untuk merujuk sistem pemerintahan syariatnya sebagaimana sering digunakan kelompok ekstrimis Islam. Pemerintah dan rakyat Sudan memilih menggunakan frase Jumhuriyyah alias Republik untuk mengesankan sebagai pemerintahan Islam yang modern.

Sejauh pengamatan penulis selama di sana, praktek bernegara Islam ala Sudan lebih dekat pada prinsip demokrasi sebagai dasar negara modern. Transisi kekuasaan dilalui dengan cara pemilihan umum dan pelibatan warga non Muslim dalam mengelola negara (menjadi menteri dan sebagainya) adalah contoh kecil bernegara Islam modern di sana. Dalam tataran sosial kemasyarakatan, pemerintah Sudan pun tidak pernah ikut campur melarang warganya melakukan ritual dan tradisi budaya masyarakat yang telah tumbuh dan berkembang. Hak yang sama juga diberikan kepada warga non muslim minoritas, dimana mereka bebas melakukan ibadah dan pergaulan sosial dengan masyarakat Sudan yang lain.

Karena itu tak mengherankan jika di Sudan jarang sekali terdengar konflik antar umat beragama yang berujung pada konflik dan pertikaian sosial. Masyarakat di sana menyadari bahwa kewarganegaraan bukan ditentukan oleh etnis maupun agama, sehingga hak dan kewajiban warga negara berlaku umum pada semua rakyat baik minoritas ataupun mayoritas. Kalaupun ada isu soal etnis dan agama sebagaimana diberitakan media asing, hal itu cenderung dipelintir oleh kelompok tertentu dengan kepentingan tertentu pula.

Inilah Sudan yang saya kenal dan saksikan. Tentu akan ada pembaca yang merasa informasi yang saya tulis berbeda dengan informasi yang disampaikan media-media barat. Memang beginilah adanya Sudan, dimana toleransi dan kebebasan beragama di sana diakui. Sudan telah membuktikan diri sebagai sebuah negera Muslim dengan tetap mengedepankan prinsip modernitas bernegara sekaligus berhasil mempertahankan ciri khas kebudayaan masyarakatnya. Semoga kita bisa lebih banyak belajar pada Sudan, ‘saudara muda’ bangsa Indonesia!

Facebook Comments