Toleransi Ramadan: Tahan Nafsu Makanmu, Bukan Tahan Orang Lain untuk Makan

Toleransi Ramadan: Tahan Nafsu Makanmu, Bukan Tahan Orang Lain untuk Makan

- in Narasi
182
0
Toleransi Ramadan: Tahan Nafsu Makanmu, Bukan Tahan Orang Lain untuk Makan

Perintah berpuasa tidak makan, minum dan persetubuhan dari terbit fajar hingga terbenam matahari merupakan latihan menahan diri untuk mengatur syahwat supaya tidak kebablasan. Hawa nafsu yang tidak di atur secara baik akan menjadi sumber petaka. Pelanggaran terhadap norma-norma agama dan sosial berawal dari hawa nafsu yang diperturutkan.

Latihan menahan diri dalam perintah puasa Ramadan tersebut memiliki tujuan membentuk pribadi yang bertakwa. Bertakwa berarti menaati peraturan dan menjauhi larangan agama. Salah satu perintah agama adalah “toleransi”.

Toleransi bisa diartikan perbuatan menahan diri dan menerima perbedaan terhadap orang lain. Menerima perbedaan tidak berarti menerima prinsip atau pandangan yang berbeda dari orang lain, tetapi pengakuan bahwa setiap pribadi punya kebebasan dan hak untuk berbeda.

Karenanya, toleransi tidak berpotensi pada pendangkalan akidah, justeru praktik keimanan dan ketakwaan untuk menerima keragaman sebagai sunnah Tuhan. Salah satu tujuan puasa Ramadan adalah bentuk menahan diri untuk menghormati pemeluk agama lain yang sedang tidak berpuasa. Mereka butuh makan di siang hari, bahkan umat Islam yang sedang melakukan perjalanan (musafir) mendapat keringanan boleh tidak berpuasa dan tentu butuh makan dan minum di siang hari bulan Ramadan.

Sehingga, praktik toleransi tidak hanya satu arah dari minoritas terhadap mayoritas, namun berlaku juga untuk mayoritas terhadap minoritas. Dalam konteks puasa Ramadan toleransi harus datang dari mereka yang berpuasa dan juga terhadap mereka yang tidak berpuasa.

Di negara kita yang majemuk, seringkali terjadi salah memaknai toleransi. Seakan toleransi hanya berlaku bagi minoritas terhadap mayoritas. Sebagai contoh di bulan Ramadan, yang tidak berpuasa harus menghormati yang sedang berpuasa. Oleh karena itu, warung makan tidak boleh buka di siang hari, begitu pula warung penjual minuman.

Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip, kewajiban berpuasa hanya bagi umat Islam sementara pemeluk agama lain memiliki kebebasan untuk makan dan minum. Yang lebih bijaksana bukan menutup warung makannya, namun dikondisikan tidak terlalu mencolok sebagai penghormatan terhadap mereka yang berpuasa.

Pelajaran Toleransi dari Perintah Puasa di Bulan Suci

Bulan Ramadan sejatinya menjadi momen menguatkan toleransi dengan menguatkan sikap saling menghormati. Tidak perlu sweeping warung makan dengan alasan menghormati orang yang berpuasa. Bagi yang tidak berpuasa berusaha menghormati mereka yang berpuasa dengan cara tidak secara terang-terangan makan di tempat umum.

Sementara bagi pengelola warung makan bisa dengan cara memberikan tirai yang menghalangi pandangan secara langsung mereka yang sedang makan. Hal ini sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang berpuasa serta bentuk toleransi yang indah dalam sebuah bangsa yang majemuk.

Sebagai warga negara yang baik toleransi harus saling menghormati antar sesama, praktiknya berjalan dua arah sehingga terlihat sangat indah sebagai wujud menghormati sesama manusia. Bagi umat Islam sendiri apabila memaksakan orang lain untuk menghormati tanpa melihat kebutuhan dan kepentingan pihak lain atau non muslim, justeru merupakan pelanggaran dan mengangkangi nilai-nilai puasa Ramadan itu sendir sebagai latihan menahan hawa nafsu.

Meminta penghormatan yang berlebihan merupakan sikap yang dapat merusak ibadah puasa. Bagaimanapun, memaksa orang lain untuk menghormati puasa kita berarti berpuasa tanpa dilandasi niat yang ikhlas.

Puasa Ramadan adalah tempat melatih dan menguji ketahanan nafsu, sehingga tidak mudah marah atau tersinggung oleh kondisi apa pun. Pribadi yang lulus di madrasah Ramadan memiliki ketahanan spiritual untuk tidak terpengaruh oleh kondisi tertentu, seperti melihat orang makan di siang hari dan seterusnya. Hal itu justeru menjadi tantangan tersendiri, apakah kita kuat dalam menjalankan puasa Ramadan atau tidak.

Puasa yang dilakukan dengan penuh keimanan dan semata mengharap ridho Allah mendatangkan kekuatan takwa dan iman. Salah satunya, tidak merusak tatanan sosial dengan menutup atau membatasi kebebasan seseorang. Yang wajib menjalankan puasa kita, bukan mereka yang berbeda agama, atau umat Islam yang sedang mendapatkan keringanan boleh tidak berpuasa seperti musafir, perempuan yang sedang haid dan lain-lain.

Puasa Ramadan adalah media melatih diri untuk menutup mulut supaya tidak berkata dusta, adu domba, fitnah, hoaks dan buruk sangka. Kalau demikian, kenapa harus berburuk sangka kepada mereka yang sedang makan di siang hari Ramadan sebab mereka butuh untuk makan siang? Demikian pula, warung makan menyediakan makanan untuk mereka yang membutuhkan bukan dalam rangka tidak menghormati mereka yang berpuasa.

Dengan demikian, taraf memaknai puasa Ramadan harus ditingkatkan tidak sebatas aktifitas fisik menahan makan, minum dan persetubuhan. Lebih dari itu puasa mengajarkan latihan menahan diri dari segala tindakan yang bisa merusak tatanan sosial. Itulah toleransi yang diajarkan oleh Ramadan. Sehingga, kalau toleransi seperti itu bisa kita lakukan, puasa Ramadan kita telah mencapai titik yang sempurna.

Facebook Comments