Pasar iku
Aweh pasemoning laku
Begalaning marga
Marganing sang pramana
Panon Hyang Manon
Memanoning pyambaknya
—Heru Harjo Hutomo.
Dalam perspektif budaya Jawa, Ramadan dan lebaran pada dasarnya adalah sebentuk prosesi yang saling berkaitan. Setelah sebelumnya melalui bulan Syaban, yang di Jawa disebut sebagai bulan Ruwah di mana orang-orang Jawa memiliki tradisi untuk berziarah dan membersihkan makam para leluhurnya, pengolahan diri yang dilakukan pada bulan Ramadan akan bersambung pada perayaan akan keazalian yang dikenal sebagai Ariyadi atau Idulfitri.
Dari keseluruhan prosesi sangkan-paran itu terdapat satu tradisi yang cukup menggamblangkan bagaimana orang Jawa menyikapi kehidupan. Ketika di masa kini orang cukup gampang untuk mempersiapkan perayaan akan keazalian atau lebaran, di masa silam ia perlu menanti apa yang dikenal sebagai “wage pungkasan” yang berwujud pasar dengan tingkat keramaian yang cukup padat. Wage pungkasan hanyalah salah satu tradisi orang Jawa yang tak hanya menyandarkan rutinitas kehidupannya pada hari belaka, namun juga pada hari pasaran. Di tempat lain Wage pungkasan tersebut dapat pula berupa Pon pungkasan, tergantung pada kebesaran pasar di suatu wilayah dan ketepatan hari pasaran dengan hari raya Idulfitri.
Berbeda dengan orang dari suku bangsa lain, orang Jawa, bahkan hingga hari ini, masih banyak yang menyandarkan rutinitas kehidupannya pada hari pasaran seperti Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Tak sekedar bagaimana mencukupi kebutuhan, dalam soal untuk berziarah ke makam wali pun atau dalam rangka mendekatkan diri pada Tuhan, orang Jawa juga menyandarkan pada hari pasaran.
Idulfitri, dalam persinggungannya dengan budaya Jawa, merupakan sekilas waktu yang mampu meretas batas-batas identitas: keagamaan, stratifikasi sosial, politik, dst. Ia tak melulu menjadi monopoli umat Islam. Maka di Jawa lazim ia lebih disebut sebagai Bada, Riyadin, dan Ariyadi atau hari besar.
Sebagaimana kebesarannya, maka orang Jawa perlu memperlakukan hari kemenangan itu secara patut. Dan pada hari pasaran terakhir menjelang lebaran, beranjaklah orang ke pasar, yang secara tradisional lengkap menyajikan segala kebutuhan: sayur-mayur, beras, jam tangan dan jam dinding beserta reparasinya, sandangan, tembakau, hewan-hewan piaraan sejenis jago dan burung-burung berkicau, jamu, azimat dan ahli nujum, bahkan hingga “perempuan yang rela untuk digunakan.” Pasar adalah metafora bagi kehidupan. Dan pasar terakhir menjelang lebaran, seperti wage pungkasan, merupakan perasan dari prosesi tradisi Ramadan yang telah didahului oleh tradisi Ruwahan hingga berujung pada lebaran.
Bukankah pada hakikatnya tradisi Ruwahan yang bersambung dengan tradisi Ramadan dan lebaran adalah momentum pengkondisian hati dengan menata niat, meskipun dilambari dengan fenomena-fenomena ketubuhan tertentu? Dan bukankah pengertian “fitri,” sebagaimana yang dikandung oleh istilah idulfitri, adalah penegasan akan sebuah keazalian dimana segala niat bermuara? Seperti halnya di pasar, ketetapan hati adalah untuk membeli tembakau, namun apa daya, kita, manusia, terbiasa terpedaya oleh barang-barang lainnya yang sesaat tampak lebih primer dari tembakau yang sebenarnya telah menstrukturisasi hati kita. Ketika struktur azali itu direstrukturisasi oleh struktur-struktur lain, seperti aneka barang yang berada di pasar, dapat dibayangkan bagaimana suasana hati yang dimungkinkan terjadi.