Zakat Fitrah: Antara Ritus Keagamaan dan Habitus Kebangsaan

Zakat Fitrah: Antara Ritus Keagamaan dan Habitus Kebangsaan

- in Narasi
1313
0
Zakat Fitrah: Antara Ritus Keagamaan dan Habitus Kebangsaan

Menjelang berakhirnya Ramadan, umat Islam memiliki kewajiban yang harus ditunaikan. Apalagi jika bukan membayar zakat fitrah. Zakat fitrah diwajibkan bagi seluruh umat Islam sesuai dengan firman Allah yang tersebar dalam sejumlah surat dalam Al Quran. Zakat fitrah secara definitif ialah zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang ditunaikan pada bulan Ramadan.

Zakat fitrah dalam hal ini bisa dipahami sebagai bagian dari ritus keagamaan. Seperti kita tahu, zakat sendiri merupakan rukun Islam yang ketiga. Sebagai bagian dari ritus keagamaan, zakat merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar. Dalam kaitan zakat fitrah, ada aturan yang harus dipenuhi yakni terkait jumlah serta waktu pelaksanaannya. Jumhur ulama menetapkan bahwa jumlah zakat fitrah ialah satu sha’ dan waktu pelaksanaannya ialah dari awal Ramadan hingga sebelum shalat Idul Fitri.

Memaknai zakat fitrah sebagai ritus keagamaan (Islam) tentunya tidak bisa dilepaskan dari konsep teologi dasar (akidah) Islam. Islam merupakan agama yang bertumpu pada akidah tauhid. Yakni pengakuan atas keesaan Allah. Namun demikian, Islam tidak hanya mengurus persoalan teologis semata, melainkan juga merambah isu sosial. Dalam leksikon ilmu sosial, ritus keagamaan selalu berkaitan dengan setidaknya empat hal, yakni penyembahan (worship), pengorbanan (sacrifice), ketundukan (submission), dan ekspresi rasa syukur (gratitude).

Zakat Fitrah Sebagai Ritus Keagamaan

Jika dibaca dari definisi di atas, maka jelas bahwa zakat fitrah merupakan ritus keagamaan. Zakat fitrah memiliki dimensi penyembahan karena merupakan bentuk ketakwaan terhadap Allah. Zakat fitrah juga mengandung dimensi pengorbanan lantaran pembayarannya diambil dari harta pribadi. Zakat fitrah juga memiliki dimensi ketundukan lantaran merupakan bentuk penghambaan pada Allah. Dan terakhir, zakat fitrah juga merupakan wujud dari rasa syukur atas nikmat Allah.

Layaknya ritus kegamaan, maka zakat fitrah pun memiliki dua orientasi, yakni ke dalam dan keluar. Ke dalam, zakat fitrah memiliki orientasi untuk menyucikan jiwa manusia sekaligus mendekatkan diri pada Allah. Setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa Ramadan, manusia dibebaskan dari segala dosa (fitrah). Penyucian dosa itu menjadi lebih sempurna dengan membayarkan zakat fitrah. Ke luar, zakat fitrah berorientasi sosial yakni menanamkan sikap peduli dan berbagi pada sesama.

Dalam pandangan Annimarie Schimmel, ritus keagamaan cenderung disucikan lantaran tiga unsur. Pertama, unsur karakternya, misalnya air zam-zam. Kedua, unsur tempat dan waktu, misal lalilatul qadar. Ketiga, unsur perbuatan atau aksinya, seperti haji, qurban, dan zakat. Jika dilihat dari klasifikasi Schimmel tersebut tampak jelas bahwa zakat fitrah merupakan ritus keagamaan yang disucikan karena perbuatan atau aksinya.

Zakat fitrah ialah tindakan konkret yang menjadi manifestasi dari penyembahan, ketundukan, pengorbanan, dan rasa syukur pada Allah. Di dalamnya terkandung dimensi spiritual yang kental dan aspek sosial yang kuat. Maka dari itu, zakat fitrah pemahaman terkait zakat fitrah idealnya tidak hanya berhenti pada dimensi ritus keagamaan, namun juga diarahkan sebagai habitus kebangsaan.

Membangun Habitus Kebangsaan

Apa itu habitus kebangsaan? Habitus kebangsaan tiada lain merupakan praktik kehidupan berbangsa yang dilandasi kesepakatan bersama dan komitmen untuk mewujudkan peri kehidupan yang adil, sejahtera dan damai. Habitus kebangsaan merupakan hasil dari proses panjang internalisasi nilai-nilai keagamaan, budaya dan filsafat yang berkembang di masa lalu dan masa sekarang.

Jika kita membincangkan habitus kebangsaan kita saat ini, agaknya harus diakui bahwa masih banyak problem kebangsaan yang belum sepenuhnya terurai. Kemiskinan dan kesenjangan sosial masih menjadi problem klasik bangsa. Penyalahgunaan wewenang dan korupsi masih merajalela. Di saat yang sama, agama yang digadang mampu menuntun bangsa menuju pencerahan justru kerap dibajak oleh kaum radikal.

Radikalisme berbasis agama barangkali merupakan tantangan terberat yang harus dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Radikalisme yang bereskalasi menjadi terorisme telah melahirkan berbagi praktik kekerasan, adu-domba dan politik kebencian yang mengancam keutuhan negara dan bangsa. Konsensus kebangsaan yang telah dibangun para pendiri bangsa pun mulai goyah.

Di titik inilah penting kiranya ritus keagamaan seperti zakat fitrah dapat ditransformasikan spiritinya menjadi habitus kebangsaan. Dimensi penyembahan, pengorbanan, ketundukan dan rasa syukur sebagaimana menjadi ciri ritus beragama kiranya bisa diadopsi dalam kultur kebangsaan kita. Untuk menciptakan kehidupan berbangsa yang harmonis tentu mensyaratkan adanya pengorbanan, ketundukan dan rasa syukur.

Pengorbanan artiya ialah sikap peduli pada sesama dan berani berkorban untuk kepentingan umum (bangsa dan negara). Matinya kepedulian dan kesediaan berkorban ialah momentum kebangkitan bagi perilaku masyarakat yang egois dan arogan. Ketika arogansi dan egoisme itu muncul, maka perpecahan bangsa sudah di depan mata.

Ketundukan maknanya ialah kepatuhan warganegara terhadap ideologi negara maupun aturan hukum positif yang berlaku. Kesetiaan terhadap ideologi atau falsafah bangsa dan kepatuhan pada aturan hukum akan membuat kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi harmonis. Sebaliknya, sikap anti pada ideologi negara ditambah pembangkangan terhadap aturan hukum ialah awal dari kehancuran sebuah negara.

Sedangkan rasa syukur bermakna bahwa setiap individu warganegara harus menunjukkan rasa syukurnya telah dilahirkan di Indonesia. Negeri yang kaya sumber daya alam, memiliki bentang alam yang indah dan penduduk yang berwatak ramah. Inilah karunia Allah yang tidak ternilai harganya. Kita hanya bisa mensyukurinya. Wujud rasa syukur itu akan melahirkan jiwa nasionalis dan patriotis di setiap sanubari warganegara.

Facebook Comments