Kontestasi Identitas, Imajinasi Kolektif dan Persaudaraan Kebangsaan

Kontestasi Identitas, Imajinasi Kolektif dan Persaudaraan Kebangsaan

- in Narasi
3212
0
Kontestasi Identitas, Imajinasi Kolektif dan Persaudaraan Kebangsaan

Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim paling besar di dunia, adalah fakta yang menarik bahwa Indonesia mengambil bentuk sebagai negara bangsa (nation state) ketimbang negara Islam. Para pendiri bangsa memahami betul bahwa Indonesia yang multikultur dan multireliji bisa kokoh dan bersatu mewujudkan keadilan serta kesejahteraan jika semua entitas suku, ras dan agama yang berbeda itu diposisikan secara sejajar. Pilihan sebagai negara bangsa ini patut kita apresiasi dengan jalan merawat prinsip kerukunan dan persaudaraan antarsesama anak bangsa. Terlebih saat ini ketika persaudaraan kebangsaan dihadapkan pada meningkatnya konservatisme keagamaan utamanya di kalangan sebagian umat Islam.

Pasca berakhirnya rezim Orde Baru dan memasuki era Reformasi, kita menyaksikan kebangkitan gerakan Islam yang mewujud pada corak konservatif. Di satu sisi, umat Islam kian giat dalam menjalankan peribadatan dan mengekspresikan kesalehan individualnya di ranah publik. namun, di sisi lain gairah keberagamaan tersebut juga berbanding lurus dengan kecenderungan untuk bersikap eksklusif dan menonjolkan identitas keagamaannya secara arogan. Sikap merasa diri sebagai kelompok yang harus diistimewakan acapkali menodai spirit persaudaraan kebangsaan yang kiranya menjadi elemen penting dalam persatuan bangsa. Konsekuensinya seperti kita lihat, konservatisme agama telah meninggalkan residu persoalan yang berpotensi melemahkan ikatan persaudaraan kebangsan kita.

Gelombang arus konservatisme ini pada titik tertentu akan bersinggungan dengan kepentingan kelompok yang juga ingin mempertahankan dan menonjolkan identitas kebangsaannya. Kondisi saat ini barangkali mirip dengan situasi politik di era pra kemerdekaan dimana terdapat kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-relijius, atau kondisi politik di era tahun 1960-an dimana muncul tiga faksi politik yakni nasionalis, agama dan komunis. Di era pra kemerdekaan, tarik-menarik kepentingan antara kelompok sekuler dan relijius (islamis) dapat diselesaikan dengan konsensus bersama yang mewujud ke dalam Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara. Kedua kelompok, yakni nasionalis maupun islamis sepakat Indonesia merdeka sebagai negara bangsa berlandaskan Pancasila.

Hal serupa ironisnya tidak terjadi dalam konteks friksi politik di era tahun 1960-an. Seperti kita tahu, pertentangan ideologis itu lantas melahirkan tragedi kemanusiaan paling kelam dalam sejarah Indonesia. Kini, kita dihadapkan pada tantangan tidak ringan ihwal kontestasi identitas, yakni antara keislaman dan keindonesiaan. Kita tentu tidak ingin tragedi kemanusiaan 1960-an kembali terulang di negeri ini. Untuk itu, diperlukan sebuah ikhtiar serius agar kontestasi identitas yang mulai memanas dan mengarah pada konflik terbuka itu segera menemukan titik temu. Dalam konteks inilah kita perlu membangkitkan kembali spirit para pendiri bangsa yang berhasil mencapai konsensus bersama dan menaruh ego sektoral mereka demi terwujudnya kemerdekaan bangsa.

Baca Juga : Dilema Identitas, Problematika Keagamaan dan Titik Temu Kebangsaan

Di era pra kemerdekaan, tarik-menarik kepentingan antara kelompok sekuler dan relijius bisa bertemu dalam satu titik, yakni kehendak untuk merdeka dari kolonialisme. Kepentingan untuk mewujudkan ambisi ideologis itu runtuh oleh agenda yang lebih besar; yakni memerdekakan bangsa. Di masa sekarang, kontestasi identitas antara keislaman dan keindonesiaan ini bisa diselesaikan jika semua kelompok dan entitas bangsa memiliki imajinasi kolektif tentang masa depan Indonesia. Seperti kita tahu, dalam perspektif geopolitik global, Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan yang tidak mudah. Sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah, posisi geografis yang strategis ditambah jumlah penduduk yang besar, kita merupakan negara incaran sejumlah kekuatan dominan global.

Imajinasi Kolektif Sebagai Modal Sosial Membangun Bangsa

Dinamika geopolitik global harus dihadapi tidak hanya dengan mengandalkan finansial capital, namun juga social capital. Dalam konteks inilah, imajinasi tentang masa depan Indonesia yang menumbuhkan spirit persaudaraan kebangsaan kiranya bisa menjadi modal sosial dalam membangun peradaban bangsa di tengah persaingan global yang kian ketat. Imajinasi kolektif tentang masa depan Indonesia ini menjadi penting untuk meluruhkan segala bentuk arogansi dan egoisme baik pribadi maupun kelompok. Kesamaan pandangan dan cita-cita bangsa ke depan ialah prasyarat mutlak terciptanya persaudaraan kebangsaan.

Imajinasi kolektif, dalam pandangan sosiolog asal Perancis Ernest Renant merupakan perasaan senasib sepenanggungan yang menyatukan beragam entitas dalam sebuah bangsa ke dalam satu komitmen bersama tentang prinsip dan nilai yang harus dipegang. Imajinasi kolektif, lanjut Renant, idealnya muncul atas kesadaran individu atau kelompok bukan merupakan paksaan dari kelompok dominan dalam sebuah bangsa. Imajinasi kolektif yang dikelola dengan baik akan melahirkan semangat persatuan dan persaudaraan yang bisa menjadi modal penting sebuah bangsa dalam meraih kemajuan.

Maka, untuk memperkokoh ikatan persaudaraan kebangsaan yang hari ini mulai memudar karena tingginya sentimen keislaman (konservatisme agama) di satu sisi dan nasionalisme sempit (konservatisme politik) di sisi lain, hal pertama yang harus kita lakukan ialah menumbuhkan imajinasi bersama tentang masa depan bangsa. Kita harus membayangkan Indonesia bukan hanya dalam konteks jangka pendek lima tahunan layaknya ritus pesta demokrasi seperti Pilkada, Pilpres dan Pemilu. Jika itu yang kita lakukan, maka energi bangsa ini akan tersedot habis untuk mengurusi hal-hal yang sifatnya friksional. Imajinasi kolektif bangsa ini idealnya mencakup masa depan Indonesia dalam konteks jangka menengah dan panjang. Di titik ini, bangsa Indonesia khususnya umat Islam perlu berpikir dan merumuskan ulang ihwal hakikat identitas keislaman dan keindonesiaannya. Dualisme identitas (keagamaan dan kebangsaan) yang disandang oleh umat beragama (Islam) idealnya tidak diletakkan dalam bingkai kontestasi ideologis yang memecah belah dan melemahkan kekuatan bangsa dari dalam. Sebaliknya, dualisme identitas itu bisa dipadupadankan secara sejajar sebagai modal sosial membangun bangsa. Sejarah peradaban manusia modern telah membuktikan bahwasannya ikatan persaudaraan kebangsaan yang dilatari imajinasi kolektif untuk meraih kejayaan masa depan adalah modal penting dalam mengarungi percaturan politik dan ekonomi global yang acapkali diwarnai konflik kepentingan.

Facebook Comments