Radikalisme pada dasarnya tak semata paham dansikap yang bersifat ideologis maupun sosial-politis. Dari berbagai penelitian saya menemukan bahwa ia juga berkaitan dengan kondisi atau keadaan diri. Dalam al-Qur’an setidaknya terdapat tiga diri yang oleh al-Ghazali diperinci lagi menjadi tujuh diri: ammarah,lawwamah, muthmainnah (Radikalisme, Konsep dan Transformasi Diri dalam Tasawuf, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Diri ammarahterbukti sebagai tahapan diri yang paling rendah sebagaimana al-Qur’an menegaskannya sebagai diri yang menyeru pada keburukan. Dalam hal ini, dapat diasumsikan bahwa kedirian manusia tak bersifat statis. Ia dapat berubah dan bertransformasi. Hal ini cukup gamblang ketika dibedah dalam perspektif tasawuf praktis yang berkembang dalam berbagai tarekat baik yang bercorak transnasional maupun lokal.
Diri ammarahtersebut, dalam tarekat yang bercorak lokal, kerap dimaknai sebagai amarah atau diri yang pemarah dan maunya menang sendiri. Baginya, tak ada rumus untuk kalah ataupun mengalah untuk sekedar berbagi ruang. Radikalitas jelas merupakan hasil dari kondisi diri seperti ini. Kita dapat menengok tafsir-tafsir keagamaan yang berupaya dikembangkan oleh para orang yang ditengarai radikal, seumpamanya judgment kafir yang begitu gampang dan murah untuk disematkan pada orang yang berbeda pandangan dimana, bagi mereka, konsekuensi kafir jelas adalah dihalalkan darahnya.
Sementara pada tahap selanjutnya, kita dapat mengerti dari al-Qur’an tentang diri lawwamahyang, saya kira, merupakan bentuk ekstrim atas diri ammarah. Sebab, al-Qur’an menegaskannya sebagai sebentuk diri yang bersifat mencela dirinya sendiri atau bahkan menganiaya dirinya sendiri. Hasil dari diri lawwamah ini adalah aksi-aksi bom bunuh diri. Karena itu, tafsir keagamaan yang cenderung dikembangkan adalah kematian yang membuat hidup serasa muram—dengan janji surga dan bidadarinya—sekaligus brutal yang terkesan frustatif. Pada tahap inilah kita tak lagi berbicara tentang radikalisme, tapi terorisme.
Baik dari diri ammarah maupun lawwamah yang dikabarkan oleh al-Qur’an terang bahwa radikalisme dan terorisme merupakan masalah psikologis daripada ideologis maupun sosial-politis semacam ketakadilan sosial maupun ketimpangan ekonomi. Karena tak jarang para pelaku aksi radikalisme dan terorisme sama sekali tak bermuatan ideologi secara ketat dan tak jarang pula tak datang dari lingkungan yang secara sosial-politis-ekonomis terpinggirkan (“Petaka Melankolia dan Sekelumit Bom Surabaya,” Heru Harjo Hutomo, Merawat Ingatan Merajut Kemanusiaan, idenera.com, Surabaya, 2019).
Al-Qur’an pun pada dasarnya menyajikan pula solusi atas permasalahan radikalisme dan terorisme yang dihasilkan oleh diri ammarah dan lawwamah. Pada surat al-Fajr dijanjikan bahwa diri muthmainnah adalah yang diperkenankan pulang dengan gembira, ridha dan diridhaiNya. Perkara ridha memang perkara yang cukup pelik ketika berupaya dirumuskan secara rasional maupun empiris. Sebab jelas, orang dapat bertanya, apakah ukuran keridhaan itu dan bagaimana kita tahu bahwa kita memang benar diridhaiNya?
Dalam hal ini, saya kira, isyarat pada ayat tersebut terletak pada istilah “muthmainnah” yang secara musikal dekat dengan istilah “tuma’ninah” yang kerap dipakai untuk menggambarkan bentuk ideal ibadah semacam shalat dan “tathmainnul” sebagaimana yang disiratkan dalam pengabaran al-Qur’an bahwa hanya dengan berdzikir hati menjadi tenteram. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dari surat al-Fajr itu dzikir adalah sebentuk upaya deradikalisasi agar diri ammarahdan lawwamah bertansformasi menjadi diri yang tenang, tenteram, riang dan berpuas diri (baqa’).