Dalam budaya Jawa, Hari Raya Ketupat, atau Lebaran Ketupat, atau Ba’do Katupat, dilaksanakan setelah merayakan Hari Raya Besar Idulfitri sebagai perwujudan rasa syukur setelah menjalankan puasa satu bulan penuh dan disempurnakan dengan puasa sunnah selama enam hari di bulan Syawal. Tradisi Lebaran Ketupat memang bukan turunan ajaran Islam. Tradisi ini murni lahir dari produk budaya Jawa yang berakulturasi dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Walisongo.
Berbaga literatur mengatakan bahwa ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu dari sembilan wali Islam Jawa, pada abad ke-15 dan ke-16 M, terutama di Kabupaten Demak yang terletak di Jawa Tengah. Sementara sejarawan Belanda, Hermanus Johannes de Graaf, dalam bukuMalay Annualmemperkirakan ketupat sudah muncul sejak era Kerajaan Demak pada abad ke-15 M. Hanya kemudian Sunan Kalijaga mencoba memberi makna spiritual pada ketupat tanpa menghilangkan unsur-unsur tradisinya. Istilah Ba’da Lebaran dan Ba’da Kupat juga dikembangkan oleh Sunan Kalijaga. Ba’da Lebaran dirayakan pada hari pertama Idul Fitri dengan cara berdoa dan silaturahmi, sedangkan Ba’da Kupat dirayakan seminggu setelah hari Idul Fitri.
Tetapi sejak paham Islam trans-nasional semakin populis di awal milenium kedua, lokalitas semacam ini banyak ditentang. Dalih yang sering disampaikan adalah karena tidak dipraktikkan (diajarkan) oleh Rasulullah dan para Sahabat. Komunitas Islam tekstualis ini menilai bahwa persinggungan Islam dengan budaya lokal dapat merusak “esensi” ajaran dan menodai “kemurnian” Islam. Padahal pemahaman semacam ini yang sejatinya yang dapat merusak esensi Islam sebagai agama rahmah.
Dalam konteks kebangsaan, akulturasi Islam dengan budaya lokal menegaskan penerimaan dan rekonsiliasi antar peradaban. Keduanya melebur dalam satu nafas bernama Nusantara. Keduanya musti berjalan simultan untuk menunjang persatuan dan menganulir segala bentuk hegemoni atas nama agama.
Ketupat merupakan salah satu local wisdom yang berkontribusi pada penguatan relasi harmonis antar warga negara. Menurut Koentjaraningrat, kearifan budaya adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup dalam peradaban lokal yang luhur dengan nilai-nilai seperti; hidup damai, hidup rukun, hidup bermoral, hidup saling asih, asah, dan asuh, hidup dalam keragaman, hidup penuh maaf dan pengertian, hidup toleran dan jembar hati, hidup harmoni dengan lingkungan, hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada maslahat sosial. Kearifan itu tumbuh secara inheren dalam masyarakat Jawa yang akhirnya mewujud dalam bentuk Ketupat.
Kekuatan ‘lebaran ketupat’ bagi persatuan bangsa misalnya tercermin dari relasi harmonis di Kampung Jawa Tondano (Jaton) Minahasa. Tradisi ketupat itu “dibawa” dari Jawa pada 1830 M dan dikembangkan di kampung tersebut untuk mempererat tali silaturahim antara sesama warga Jaton, penduduk asli Jaton, maupun pendatang baru dari luar daerah di Jaton. Ba’do Katupat bahkan lebih ramai dari pada Lebaran Idulfitri karena bergerak sangat inklusif dan tidak hanya terbatas pada umat Muslim saja.
Ba’do Katupat menjadi ajang pertemuan antara masyarakat asli Jaton dengan warga pendatang. Setiap keluarga menerima siapa saja yang datang bertamu, hampir sama dengan acara open house seluruh kampung bagi siapa saja yang datang, baik Muslim maupun non-Muslim. Bagi masyarakat kampung Jaton, acara seperti ini memiliki makna yang mendalam, yaitu untuk memperkokoh hubungan tali silaturahim, bermaaf-maafan, sekaligus ucapan syukur atas keberhasilan manjalankan ibadah puasa sebulan lamanya. Tidak heran pada perayaan tersebut, selalu dipadati oleh ribuan masyarakat dari berbagai daerah, Muslim maupun non-Muslim, tua-muda, sejak pagi hingga malam hari.
Ba’do Katupat merupakan budaya yang telah mempersatukan penduduk minoritas Jaton dengan penduduk mayoritas Minahasa yang sebelumnya tersegregasi secara tajam di era kolonial. Saling berkunjung dan saling menghargai, telah menjadi kerukunan di Minahasa pada umumnya dan Tondano pada khususnya. Tradisi ini dapat diterima oleh etnik mayoritas Minahasa karena kearifan lokal nyatanya memuat nilai-nilai universalitas yang melampaui sekat-sekat primordial. Dalam hal ini, telah terjadi akulturasi antara budaya Jaton dan budaya Minahasa sehingga tercipta solidaritas, keterbukaan, dan toleransi.
Meski upaya dekulturalisasi Islam masih terasa hingga saat ini oleh kelompok Islam konservatif, karakter kebangsaan kita tampaknya masih terlampau kuat untuk runtuh. Kearifan lokal menjadi fondasi kuatnya identitas Islam di Nusantara. Kelenturan Islam dengan budaya lokal ini adalah wujud substansi dari ajaran Islam era awal di mana Islam merangkul tradisi lokal di Madinah dan memberi nuansa Islamis alih-alih membuat jarak dam menjadi eksklusif.
Seorang antropolog Indonesia mengartikan ketupat sebagai salah satu simbol solidaritas sosial dalam bentuk hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik tersebut berkaitan dengan kebiasaan saling memberi ketupat. Perilaku memberi menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara seseorang dengan orang lain. Perilaku tersebut menandakan adanya hubungan sosial karena adanya kontak dan komunikasi dengan orang lain sehingga akan menimbulkan rasa keterhubungan dan kesalingpercayaan. Rasanya, prinsip dan esensi Islam menjadi lebih membumi ketika ia disampaikan dengan bahasa-bahasa kultural seperti Lebaran Ketupat ini.