Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap dipandang sebagai masa transisi psikologis yang kompleks. Di tengah perkembangan globalisasi digital yang kencang ini, muncul kekhawatiran bahwa generasi muda menghadapi ancaman baru berupa kecanduan gawai, polarisasi sosial media, hingga menurunnya empati dan sopan santun digital (digital civility).
Pertanyaannya, apakah masa remaja di era digital ini harus dipahami sebagai masa krisis yang universal? Apakah digitalisasi ini menjadi ancaman serius yang berlaku universal bagi perkembangan anak dan remaja?
Saya tertarik dengan teori lama dari Margaret Mead, seorang antropolog budaya terkemuka yang menawarkan pendekatan yang berbeda melalui teorikultural relativisme-nya. Mead menolak pandangan universalistik ala Barat yang menganggap fase remaja sebagai masa penuh konflik, kecemasan, dan agresivitas.
Untuk mematahkan hipotesis univeralisme itu, Mead melakukan penelitian yang tergambar hasilnya melalui Coming of Age in Samoa. Buku ini memang kontroversial pada kemunculannya, tetapi menarik untuk dijadikan rujukan dan sudah banyak mempengaruhi perumusan teoritik dan praksis gerakan sosial, termasuk feminisme.
Mead melihat remaja perempuan di Samoa justru melewati masa pubertas tanpa gejolak emosional yang berarti, karena budaya mereka menyediakan struktur sosial yang jelas, nilai-nilai kolektif, serta mekanisme pembelajaran sosial yang efektif. Artinya, menurut Mead, perilaku manusia, termasuk emosi, motivasi, persepsi, hingga kecerdasan, tidak bisa dilepaskan dari konstruksi budaya tempat individu dibesarkan.
Dalam konteks era digital, pendekatan Mead, menurut Saya, membantu untuk memahami bahwa reaksi remaja terhadap teknologi bukanlah akibat dari ‘kodrat usia’ semata, melainkan dipengaruhi oleh bagaimana budaya merespons dan mengatur penggunaan teknologi itu sendiri.
Pertanyaannya, kenapa tingkat keadaban digital yang pernah dikeluarkan oleh Microsoft melalui Digital Civility Index (2021) menghasilkan tingkat yang berbeda di masing kebudayaan dan negara? Jawabannya ala Mead tentu saja karena konstruksi budaya yang berbeda.
Pertanyaan lanjutannya adalah mengapa budaya Indonesia yang dalam aspek sosial cukup kuat dengan nilai-nilai kesopanan tidak mampu ditransformasikan menjadi keadaban digital? Kemana budaya penghormatan terhadap orang tua, kesopanan sosial, dan keramahtahaman yang membentuk identitas budaya masyarakat Indonesia menjadi hilang? Kenapa di dunia maya konten hoaks, intoleran, bullying menjadi marak di tengah budaya Indonesia yang sering dipuji dengan keramahannya?
Saya menduga ada kegagalan budaya yang menyebabkan anak-anak dan remaja di Indonesia tidak stabil dalam menatap perubahan digital ini. Kegagalan budaya dalam menjangkau dunia maya bisa menjelaskan mengapa remaja kita tampak ‘kacau’ atau ‘tidak sopan’ secara daring. Ini bukan karena mereka secara alami kasar atau nakal, tetapi karena tidak ada norma digital yang mereka pelajari secara memadai.
Di Jepang, misalnya, etika penggunaan gadget sangat dijunjung tinggi. Larangan penggunaan ponsel di kereta atau ruang publik menunjukkan bagaimana norma kesopanan digital diinternalisasi sejak dini. Sementara di Amerika Serikat, kebebasan berekspresi cenderung didahulukan, sehingga remaja lebih bebas menggunakan media sosial, meski dengan risiko konflik daring yang lebih tinggi.
Di Indonesia, sementara budaya offline masih kuat, budaya online berkembang liar tanpa panduan nilai yang kuat. Akibatnya, muncul anomali digital seperti ujaran kebencian, konten intoleransi, hoaks, perundungan siber, dan perilaku tidak sopan lainnya, bahkan dari kelompok usia muda yang di dunia nyata dikenal lemah-lembut dan religius.
Ini adalah kegagalan kultural dalam menyediakanliterasi digitalyang bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi menyangkut nilai, etika, dan tanggung jawab sosial di ruang digital. Kesopanan di dunia maya bukanlah bawaan karakter atau hasil pendidikan formal semata, tetapi produk dari konstruksi budaya yang adaptif.
Saya kiranya perlu meminjam istilah disembedding dan reembedding Anthony Giddens untuk mengurai persoalan ini. Modernitas dan teknologi bawannya, salah satunya, perkembangan dunia digital telah menyebabkan disembedding atau pencabutan praktik sosial dari konteks lokal, termasuk nilai-nilai budaya. Karena itulah, dibutuhkan proses reembedding atau menanam kembali nilai dan norma dengan adaptasi konteks baru dan perubahan tersebut.
Dalam hal ini, kita tidak bisa hanya mengandalkan nilai-nilai tradisional seperti sopan santun atau gotong royong dalam bentuk lama. Budaya perlu bertransformasi dan memperluas cakupannya hingga mencakup interaksi digital. Kita perlu rekonstruksi budaya lama yang siap menghadapi budaya digital.
Pendidikan karakter harus merambah ke dunia maya, termasuk membentukkecerdasan digital—yakni kemampuan untuk bersikap etis, kritis, dan bijak dalam menggunakan teknologi. Pembentukan budaya digital yang mendidik harus dimulai sejak dini melalui proses rekayasa budaya yang komprehensif.
Budaya harus hadir tidak hanya di ruang sosial fisik, tetapi juga dalam membentuk ekosistem nilai di dunia digital. Keluarga menjadi elemen pembentuk budaya paling penting dalam membentuk budaya digital saat ini. Kepedulian, kepekaan dan komunikasi orang tua menjadi hal utama.
Sekolah, lembaga pendidikan informal dan perangkat sosial lainnya di tengah masyarakat harus segera membentuk kurikulum, pedoman dan norma tak tertulis bahkan perlu dongeng dan cerita yang memberikan panduan bagi anak dalam mengarungi dunia digital yang beradab. Rekayasa kebudayaan itu harus dimulai sejak dini menghadapi perubahan luar biasa yang tidak dijangkau oleh kebudayaan lama.
Ini bukan persoalan bahwa remaja adalah fase kritis atau dunia digital adalah sebuah rimba menakutkan yang tidak boleh didekati. Sejatinya, ini adalah persoalan bagaimana kebudayaan kita menyiapkan ruang yang kondusif dalam membentuk kesiapan dan keadaban anak-anak kita. Jika tidak, bonus demografi yang sedang kita andalkan hanya berisi generasi yang tidak memiliki keadaban di dunia digital.