Abad Pertengahan Islam : Sebuah Potret Keharmonisan Antar Iman

Abad Pertengahan Islam : Sebuah Potret Keharmonisan Antar Iman

- in Budaya, Peradaban
3894
0

Salah satu potret kehidupan harmonis antar umat beragama yang patut dicontoh oleh masyarakat modern saat ini adalah Abad Pertengahan Islam (sekitar 1250-1500 M), yaitu rentang waktu masa keemasan peradaban Islam ketika berada di bawah pemerintahan Abbasiyah (750-1258 M), Umayyah Andalusia (929-1031), dan Fathimiyah (909-1171). Pola hubungan dan kerjasama antar iman ketika itu dapat dilihat dari tiga sektor.

Pertama, di tingkat birokrasi pemerintahan. Selama pemerintahan Umayyah (661-750), Syria dalah salah satu dari beberapa provinsi yang mencerminkan masyarakat urban yang harmonis di mana anggota masyarakatnya yang terdiri dari berbagai pemeluk agama hidup berdampingan secara damai. Hubungan harmonis antar umat beragama tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di tingkat bawah, tetapi juga di kalangan elit pemerintahan. Salah satu contoh dari perdamaian tersebut terjadi pada masa pemerintahan kekhalifahan al-Ma’mun (antara tahun 816-818 M), seringkali khalifah mengundang pemuka agama dari kalangan Yahudi dan Kristen untuk berdiskusi tentang berbagai masalah yang dihadapi pemerintahan pada saat itu, tenaga administrasi pemerintahan memang tidak hanya berasal dari kalangan umat Islam. Pada saat itu, banyak dari para sarjana non-muslim direkrut untuk menjadi pejabat birokrasi pemerintahan. Sementara di zaman pemerintahan Abbasiyah, beberapa generasi dari keluarga Kristen Bukthusi bahkan didaulat menjadi tenaga medis dan dokter istana.

Kedua, di tingkat akademisi dan intelektual. Persinggungan dan pergaulan secara terbuka antar sarjana dan tokoh intelektual dari berbagai agama di masa pertengahan peradaban Islam patut kita teladani, karena dalam masalah keilmuan, mereka dapat saling memberikan kontribusi. Misalnya, para advokat dan hakim dari kalangan Yahudi dan Muslim yang sedang menyelesaikan kasus peradilan tidak jarang menjalin kerjasama dan hubungan personal yang erat. Demikian pula halnya dengan dokter yang berasal dari kalangan Muslim, Kristen dan Yahudi, mereka sudah sangat terbiasa menangani masalah kesehatan dan mengobati pasien di rumah sakit umum (bimaristan). Di samping itu, seorang mahasiswa tidak sungkan untuk berguru kepada seorang profesor yang berbeda keyakinan, misalnya Ibn al-Jazzar, seorang sarjana Muslim kedokteran yang begitu terkenal, berguru kepada seorang dokter kenamaan pada saat itu, yaitu seorang profesor Yahudi bernama Isaac Israeli (850-950 M).

Demikian juga di kalangan para filosof, kerjasama antar-iman dalam bidang filsafat sangat menonjol di masa itu. Misalnya ketika di pemerintahan Sultan al-Malik al-Afdal di Cairo, terdapat seorang filosof dari kalangan Yahudi bernama Moses Maimonides, ia tidak hanya diberi kemuliaan untuk menjadi qadi al-Fadil (Hakim Agung) istana, akan tetapi juga dipuji oleh kalangan filosof dan para pujangga muslim. Seorang filosof Muslim terkenal, al-Farabi (w.950), memperoleh training filsafat pertamanya dari seorang Nestorian bernama Yuhanna bin Haylan, di kemudian hari ia memiliki banyak murid yang bukan hanya berasal dari kalangan muslim saja.

Ketiga, di tingkat grassroots; masyarakat awam. Hubungan sosial masyarakat antara umat Yahudi, Kristen dan Islam di beberapa kota penting dalam sejarah peradaban Islam terjalin sangat erat dan hangat. Baghdad misalnya, sebagai ibu kota di masa pemerintahan Abbasiyah, kota ini merupakan prototipe bagi kota urban-metropolitan yang menjunjung nilai egalitarian. Setiap orang memiliki rasa kecintaan dan kepemilikan (sense of belonging) yang tinggi terhadap kota ini. Mereka semua, meskipun berbeda-beda agamanya, dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan dan perawatan kota.

Tempat utama yang menjadi pusat persinggungan harmonis antar umat beragama pada waktu itu adalah di pasar, di mana kepentingan bisnis merupakan media petukaran dan persahabatan antar pemeluk agama. Tempat lain yang menjadi tempat paling kondusif untuk berkumpul dan bercengkrama bersama adalah hammam (tempat mandi publik). Tempat ini memang menjadi tempat favorit sejak zaman Romawi, masyarakat datang ke Hammam bukan hanya untuk membersihkan badan namun juga untuk sosialisasi yang lebih akrab.

Namun seiring menurunnya masa keemasan peradaban Islam yang disebabkan oleh berbagai tekanan, baik internal maupun eksternal, seperti Perang Salib, Reconquista (penaklukan Spanyol), Invasi Mongol, dan melemahnya kekuatan ekonomi, hubungan antar pemeluk agama mulai merenggang. Di daerah Maghrib misalnya, jumlah penduduk non muslim mulai menurun dan semakin termarginalkan. Penerapan hukum diferensiasi (ghiyar) dan gerakan anti-dhimmi secara periodik terjadi di beberapa kota seperti di Baghdad sepanjang pemerintahan Khanid II (1284-1291), di Cairo (1301-1354), dan di Fez (1438-1465).

Pola pemukiman yang dulunya sangat lebur antara penduduk yang beragama Yahudi, Kristen dan Islam, mulai terpisah-pisah menjadi semacam cluster. Hal ini kemudian semakin berpengaruh terhadap pola hubungan antar pemeluk agama, bahkan keharmonisan di kalangan intelektual yang dulunya (beberapa abad sebelumnya) menemukan tempat untuk berbagi dan berdiskusi bersama kini semakin langka ditemukan.

Sekelumit kisah keharmonisan hubungan antar agama di abad pertengahan Islam di atas patut diapresiasi dan dijadikan penyemangat agar antar umat beragama di negeri ini bisa bahu membahu memperbaiki pemerintahan, memajukan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta perbaikan fasilitas publik.

Facebook Comments