SABAN hari pemahaman akan nilai-nilai Pancasila kian memudar dihadapan publik. Hal itu tampak dari perseteruan dilinimasa media sosial yang kian menunjukkan sikap toleransi dan mengehargai perbedaan kian menipis. Padahal jika kita telisik apa yang tercermin dalam hakikat Pancasila juga mencerminkan nilai-nilai syariah dan aqidah Islam. Selain itu, Piagam Madinah juga merupakan sebuah Konstitusi tertulis yang terdiri dari sepuluh bab, berisi 47 Pasal. Di antaranya mengatur mengenai persaudaraan seagama, persaudaraan sesama umat manusia, pertahanan bersama, perlindungan terhadap minoritas, pembentukan umat dan sebagainya.
Artinya, selain membina persaudaraan sesama orang-orang Islam atau ukhuwah Islamiah di kota Madinah. Nabi Muhammad SAW juga membina persaudaraan antara sesama umat manusia atau ukhuwah insaniah. Dalam mengatur di kota Madinah, yang penduduknya terdiri dari berbagai suku, ras dan agama, Nabi membuat perjanjian dengan berbagai kalangan yang disebut Konstitusi Madinah, atau Piagam Nabi Muhammad SAW Masyarakat Madinah terdiri dari kaum muslimin, yang merupakan gabungan antara kaum Muhajir dan kaum Anshar, masyarakat Yahudi yang terdiri dari berbagai suku, kaum Nasrani dan masyarakat Madinah yang masih musyrik.
Dengan demikian, memudarkanya pemahaman kita mengenal nilai-nilai Pancasila kian menegaskan bahwa riwayat Pancasila kini hanya tinggal “slogan tanpa makna”. Apalagi munculnya beragam kasus perundungan atas nama agama di media sosial, kian menjelaskan kepada kita bahwa mulai dari para elite politik hingga masyarakat awan “sakralitas Pancasila” sudah mulai memudar dalam benak publik. Itu mengapa kemudian, banyak pihak yang menilai bahwa Pancasila hingga saat ini kian menjadi slogan kosong belaka.
Hal itu ditandai dari semakin memudarnya nilai-nilai Pancasila dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang berakibat menguatnya sejumlah kasus kesenjangan sosial, radikalisasi dan intoleransi. Yang ada hanyalah kontestasi adu otot, kekerasan dan pemaksaaan kehendak. Padahal, hakikat nilai-nilai Pancasila selain menjadi pedoman hidup berbangsa, sekaligus dapat menjadi acuan membangun persatuan, kesatuan, keberagaman dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia. Tapi, alih-alih menjadikan Pancasila sebagai pegangan dan ideologi bangsa. Ironisnya, justru pasca reformasi 1998, sindrom amoralitas kian mengerus ideologi Pancasila sebagai pegangan hidup bernegara dan berbangsa.
Akibatnya, nilai-nilai teladan yang termaktub dalam Piagam Madinah dan Pancasila kian menjadi barang mewah dan tergantikan dengan menguatnya sindrom amoralitas. Bahkan, jajak pendapat Kompas (1/6/2014), menilai Pancasila masih sebatas retorika. Hal itu tampak dari semakin merebaknya sindrom amoralitas seperti praktik korupsi-suap dan perilaku amoral lainnya yang dapat menjadi ancaman bagi keberadaan ideologi Pancasila. Sindrom amoralitas inilah yang dapat menggerogoti dan menghancurkan sendi-sendi keberdayaan hidup berbangsa.
Nahasnya lagi, elite politik yang seolah-olah mengamalkan ajaran Pancasila dari sila ke sila. Nyatanya, acap kali melakukan politik kamuflase untuk membohongi dan membodohi rakyat. Pancasila kemudian hanya dijadikan sebagai bumper politik demi mengejar kepentingan pragmatisme. Artinya, jika sindrom amoralitas ini tetap dibiarkan mengerus, tidak tertutup kemungkinan di masa yang akan datang, semangat pengabdian dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara yang bersemayam dalam ideologi Pancasila akan semakin menghilang dalam nalar politik anak bangsa.
Apalagi, hingga saat ini potret buram dalam kehidupan negara telah menjadi cermin bobroknya negara yang kerap menegasikan cita-cita kesejahteraan bersama. Hal itu tampak dari masih ditemukannya sebagian rakyat yang masih mengalami berbagai penderitaan, kemiskinan dan penindasan. Artinya, kemerdekaan yang telah diraih hampir satu abad, nyatanya belum mampu dimanfaatkan dengan baik untuk membentuk manusia dan bangsa yang merdeka. Artinya, kemerdekaan yang telah diraih hampir satu abad, nyatanya belum mampu dimanfaatkan dengan baik untuk membentuk manusia dan bangsa yang merdeka. Akibatnya, nilai-nilai Pancasila yang sejatinya diperuntukkan dari rakyat untuk rakyat, semakin bergeser dari rakyat oleh rakyat untuk kepentingan elite dan golongan.
Oleh sebab itu, sudah saatnya kita semua, termasuk elit politik, tokoh masyarakat dan agamawan memiliki tanggung jawab bersama guna segera mendorong upaya aktualisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa. Salah satunya dengan membumikan Pancasila melalui kontekstualisasi sila-sila Pancasila dalam aktivitas sehari-hari. Urgensi membumikan Pancasila yang diselarasakan dengan hakikat keIslaman dapat dipercaya menjadikan Pancasila bukan sekadar nilai-nilai semata melainkan sebuah ideologi terbuka yang dapat dterima dan dipahami bersama oleh publik.
Jika hal ini dapat terlaksana dengan simultan, maka cita-cita membumikan Pancasila akan menjadi alternatif menyadarkan kita semua untuk lebih mencintai tanah air, lebih sigap bergerak, bahu-membahu mewujudkan pemerataan dan kesejahteraan bangsa. Dengan begitu langkah ini sama artinya dengan ikut membumikan nilai-nilai keIslaman seperti yang terkandung dalam piagam madinah guna mewujukan masyarakat yang rahmatanlilalamin.