Benang Merah Agama dan Budaya Lokal

Benang Merah Agama dan Budaya Lokal

- in Narasi
1703
0
Benang Merah Agama dan Budaya Lokal

Dibandingkan dengan Timur Tengah, praktik keberagamaan di Indonesia lebih santun. Kita dengan mudah menemukan orang dengan beda keyakinan, duduk bersama membincangkan segala persoalan, baik personal maupun bangsa. Sesekali obrolan tersebut diwarnai dengan seringai tawa yang menunjukkan ekspresi kebahagiaan, keharmonisan, dan keakraban.

Seakan-akan, perbedaan yang ada bukanlah halangan untuk bergaul. Justru, menjadi modal untuk saling berbagi pengalaman. Melalui obrolan semacam inilah karakter toleran terukir kuat dalam laku hidup masyarakat Indonesia. Mereka menyadari, betapa nikmatnya hidup bersosial tanpa memedulikan latar belakangnya.

Sementara kabar dari Timur Tengah justru sebaliknya. Negara yang mendapat anugerah sebagai tempat diturunkannya agama Islam, kini porak poranda karena konflik. Tiada hari tanpa desingan peluru dan ledakan bom. Bisa dibayangkan, apa yang kita rasakan jika berada dalam kondisi seperti itu. Jiwa selalu terancam, apalagi hubungan sosial yang kian hilang, seiring meluasnya konflik tersebut.

Kondisi yang kini kita rasakan mestinya bisa direnungi. Bagaimana bisa, Indonesia yang jauh dari pusat peradaban Islam, justru lebih bisa menjaga keharmonisan kehidupan berbangsa, ketimbang negara-negara tempat kelahiran Islam?

Jika kita membuka lembaran sejarah, akan menemukan betapa santunnya Islam masuk ke Nusantara. Ia bukan datang dengan cara dipaksakan oleh tangan tentara, melainkan melalui jalur santun bernama ekonomi (perdagangan). Tanpa ada paksaan untuk memeluk Islam, masyarakat dengan sendirinya datang berbondong-bondong, menyatakan diri masuk Islam.

Sukriyanto (2002) dalam Khoiro Ummatin menjelaskan, bahwa dakwah Islam yang berkembang di Nusantara menggunakan pendekatan kultur. Dakwah model ini yang kemudian dikenal sebagai dakwah kultural. Maksudnya, dalam setiap aktivitas dakwahnya, dai selalu memanfaatkan tradisi, adat istiadat, seni dan kegemaran-kegemaran masyarakat setempat. (Khoiro Ummatin: 2015)

Lebih lanjut dijelaskan, dakwah Islam tidak semata-mata harus menggunakan cara yang vulgar, dengan menyampaikan ajaran-ajarannya dengan ‘telanjang’. Dakwah mesti bersentuhan dengan persoalan kemanusiaan, kebudayaan, dan tradisi masyarakat. Adapun mengenai hubungan dakwah dengan kebudayaan dan tradisi mesti dipilah dulu. Tidak semua tradisi dan budaya setempat bisa diadopsi untuk dijadikan bagian dari kebudayaan Islam. Hanya tradisi dan budaya yang tidak bertentangan dengan tauhid dan ajaran Islam lainnya lah yang boleh dipertahankan.

Budaya-budaya pemujaan kepada lelembut, misalnya, secara perlahan dialihkan kepada pemujaan kepada Allah Swt. Mantra-mantra yang terindikasi mengandung muatan ajaran sesat, diganti dengan senandung penuh cinta pada Ilahi. Jadi bukan memusnahkan, melainkan mengganti isinya dengan tetap menjaga tradisi. Dalam dunia akademik, hal ini biasa dikenal dengan istilah akulturasi budaya.

Ada beberapa model dakwah di Indonesia, yang membuktikan bahwa agama dan budaya bisa saling bersinergi. Dakwah-dakwah ini terbukti bisa mengenalkan ajaran Islam dengan santun, dan mampu menarik minat masyarakat untuk memeluk Islam.

Sebagaimana dijelaskan dalam buku Sejarah Islam dan Budaya Lokal; Kearifan Islam Atas Tradisi Masyarakat (Khoiro Ummatin, 2015) ada tiga model dakwah yang menjadikan budaya sebagai partner untuk menyampaikan misinya.

Pertama, dakwah dengan mengikuti alur budaya. Dakwah dengan model ini, meniscayakan dai supaya berbaur dengan masyarakat dan berpartisipasi aktif dalam budaya masyarakat. Dengan demikian, seorang dai tahu seluk beluk masyarakat, dan bisa memilih materi dakwah yang sesuai.

Kedua, dakwah menggunakan media budaya. Paradigma budaya sebagai media dakwah, akan merangsang pikiran kita untuk berpikir lentur dan jangkauan dakwahnya pun luas. Memang, tidak semua budaya dan tradisi tidak bisa dijadikan media dakwah. Hanya budaya dan tradisi yang tidak bertentangan dengan tauhidlah yang boleh digunakan sebagai media dakwah.

Dakwah model ini telah dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Mereka berhasil memodifikasi lakon wayang sesuai lakon Islam dan untuk kepentingan dakwah. Pada masa kini, kita barangkali tak asing dengan model dakwah Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Mereka memadukan budaya dengan dakwah Islam, dan terbukti mampu menyedot perhatian masyarakat. Hal ini bisa dibuktikan di setiap acaranya, baik rutinan maupun insidental, yang selalu dipadati oleh masyarakat dengan berbagai latar belakang dan usia.

Adapun yang ketiga, dakwah dengan menjadikan budaya sebagai tema besarnya. Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa budaya tidak selamanya bertentangan dengan agama, maka perlulah dibuat kajian dakwah. Bukankah produk budaya berupa kentongan dan bedug di masjid, merupakan bukti konkrit kolaborasi antara budaya dan agama?

Dari tiga model dakwah yang dipaparkan Khoiro Ummatin inilah, kita bisa menemukan benang merah antara agama dan budaya. Tidak selamanya agama dan budaya bertentangan. Dalam hal-hal tertentu, justru saling membutuhkan dan mendukung.

Facebook Comments