Mengangankan sebuah perubahan, dengan proses yang spontan tentunya, dan meskipun dasar-dasar bagi perubahan itu sudah digaungkan sejak lama, merupakan kepuasan tersendiri. Namun, kerapkali yang dihasilkan dari perubahan yang diinginkan dengan proses yang spontan itu, ketika pun perubahan ini dapat dikatakan berhasil, adalah kemudahan untuk tampilnya figur-figur “segar” yang jangankan untuk kepopor bedil para aparat, bau keringat sesamanya sendiri pun seperti jauh dari hidung.
Tentu, tetap saja terdapat hiburan bagi jiwa-jiwa militan ketika barangkali sebersit angan menyeruak dan berupaya menodai niat suci, “Luka-luka revolusi.” Revolusi di hari-hari ini, yang barangkali benar-benar ada, tentu tak akan berlangsung seperti di era perjuangan kemerdekaan, dengan terlukanya juga para pemimpin atau elit gerakannya: pembuangan Soekarno, pencekalan Tan Malaka, dsb. Di hari ini bisa saja, dan hal ini berlaku secara vulgar, para elit ataupun motor gerakan itu sangat jauh dari panas matahari dan bau sangit aspal kepanasan—apalagi ketika ujung-ujungnya semua terasa terdamaikan hanya dengan para elitnya kecipratan bau gurih serabi kekuasaan.
Tentu, itu semua sudah menjadi rahasia umum di hari-hari ini. Namun, kenapa orang masih saja menjalaninya?
Dari seorang Albert Camus orang tentu belajar tentang Sisifus yang konon hanya dapat dibayangkan berbahagia, meskipun apa yang dilakukannya hanyalah sebersit hasrat yang sia-sia. Dan kemudian, untuk memulihkan “Luka-luka revolusi,” dikemas sedemikian rupa oleh Camus dan juga para motor pergerakan bahwa Sisifus adalah seorang pahlawan hebat yang mampu untuk merumuskan nilai-nilainya sendiri, menegakkan martabatnya sendiri.
Sayang sekali media, yang konon adalah salah satu pilar demokrasi, masih banyak terpaku pada isu besar demokrasi dengan segala tetek-bengeknya yang seolah jauh dari kepentingan fisiologis manusia. Kenapa, misalnya, tak ada satu pun media atau orang yang, di samping mem-blow up komitmen Camus pada isu-isu kemanusiaan, juga menyajikan kebiasaannya untuk nongkrong di café-café dan kedekatannya pada Simone de Beauvoir yang merupakan pasangan kumpul-kebo Jean-Paul Sartre?
Tentu, saya tak sedang menyepelekan niat-niat suci di balik upaya-upaya perubahan. Namun, dengan melihat kembali gerakan-gerakan yang selama ini mewarnai perjalanan pemerintahan saat ini, orang dapat bertanya, sebegitu “saktikah” pemerintah hingga dari aspek kulit, daging hingga hatinya, yang barangkali sudah dirasa dicabik-cabik, masih tampak gagah? Atau, memang benarlah tangkapan atas idealitas perjuangan demokrasi yang tak pernah sebangun dengan realitasnya itu?
Sampai di sini, sebagai warganegara yang baik, orang memang berhak untuk bertanya jauh lebih dalam lagi, benarkah di balik dinamika perpolitikan Indonesia di hari-hari ini, entah itu bengkok ataupun lurus, adalah “rakyat” dan bukannya dansa-dansi serta perhitungan untung-rugi para elit?