Deradikalisasi Berkelanjutan; Pendekatan Multisektoral untuk Mempertahankan “Zero Attack Terrorism”

Deradikalisasi Berkelanjutan; Pendekatan Multisektoral untuk Mempertahankan “Zero Attack Terrorism”

- in Narasi
13
0
Deradikalisasi Berkelanjutan; Pendekatan Multisektoral untuk Mempertahankan “Zero Attack Terrorism”

Jika ditanya, apa tantangan paling krusial dalam pemberantasan radikalisme dan terorisme di Indonesia pada tahun-tahun mendatang? Jawabannya adalah deradikalisasi berkelanjutan. Pasca pembubaran diri Jamaah Islamiyyah (JI) secara sukarela beberapa waktu lalu, agenda krusial kita adalah melakukan deradikalisasi berkelanjutan.

Apa itu deradikalisasi berkelanjutan? Dan mengapa hal itu penting pasca bubarnya JI? Selama ini kita berpikir bahwa deradikalisasi adalah proses mengubah paradigma dan perilaku narapidana terorisme yang hanya terjadi atau dilakukan di penjara saja. Padahal, tidak seperti itu. Deradikalisasi terorisme tidak hanya dilakukan di penjara, dan selesai ketika napi terorisme menyelesaikan masa hukumannya. Seperti kita lihat, banyak mantan napiter yang kembali ke organisasi radikal ekstrem selepas keluar dari penjara.

Mengapa bisa demikian? Setidaknya ada dua faktor yang melatari mengapa mantan napiter kembali ke organisasi radikal ekstrem. Pertama, faktor ekonomi. Ketiadaan lapangan pekerjaan membuat para mantan napiter kembali ke organisasi radikal ekstrem. Kemiskinan bertubi-tubi membuat mereka kepincut dengan ideologi radikalisme yang menjanjikan kesejahteraan dan keadilan.

Kedua, faktor sosial, yakni penolakan yang dilakukan masyarakat atas kembalinya mantan napiter ke lingkungannya. Banyak kasus, dimana masyarakat enggan menerima kembali mangan napiter, karena kecurigaan dan kekhawatiran bahwa mantan napiter akan mengulangi perbuatannya. Perasaan tidak diterima atau dikucilkan oleh lingkungan sosial ini membuat para mantan napiter kembali ke gerakan radikal teroris yang selalu menerima mereka kembali dengan suka cita.

Kembalinya mantan napiter ke gerakan radikal terorisme inilah yang melatari munculnya fenomena spiral ekstremisme. Yakni lingkaran setan kekerasan berkedok agama yang trus berulang. Disinilah pentingnya deradikalisasi berkelanjutan untuk memutus spiral ekstremisme tersebut. Lantas, bagaimana konkretnya deradikalisasi berkelanjutan tersebut?

Dua Pendekatan dalam Deradikalisasi

Secara konkret deradikalissi berkelanjutan bisa diwujudkan melalui dua hal. Pertama, pemberdayaan dan pendampingan ekonomi kepada para mantan napiter agar memiliki kemandirian finansial dan tidak tergoda kembali ke organisasi atau gerakan radikal teror. Pemberdayaan ini sebenarnya sudah dilakukan dan sedang berjalan. Pemerintah melalui BNPT telah melakukan deradikalisasi berbasis pemberdayaan ekonomi.

Ke depan yang perlu dilakukan adalah membangun sinergi dengan pihak swasta untuk kian memperkuat deradikalissi berbasis pemberdayaan ekonomi ini. Misalnya, mengajak pihak korporasi swasta menyalurkan program CSR (Corporate Social Responsibility) untuk mensukseskan program deradikalisasi berbasis ekonomi tersebut.

Keterlibatan swasta ini sangat penting mengingat keterbatasan pemerintah dalam menyediakan modal dan lapangan pekerjaan untuk para mantan napiter. Keterlibatan pihak swasta juga bisa diwujudkan dengan membuka lowongan pekerjaan khusus untuk para mantan napiter.

Kedua, selain pemberdayaan ekonomi, deradikalissi berkelanjutan juga bisa diwujudkan melalui pendampingan terhadap proses reintegrasi mantan napiter ke masyarakat. Pemerintah wajib mendampingi dan memastikan bahwa proses reintegrasi mantan napiter kembali ke masyarakat bisa berjalan mulus, tanpa gesekan, apalagi penolakan.

Reintegrasi mantan napiter ke masyarakat membutuhkan dua hal penting, yakni sikap terbuka masyarakat dan komitmen pembuktian mangan napiter. Di satu sisi, masyarakat harus terbuka pada mantan napiter yang ingin kembali ke lingkungan sosial. Jangan lagi ada kecurigaan, labelisasi, apalagi kebencian.

Pelibatan Masyarakat Sipil dalam Deradikalisasi

Di sisi lain, para mantan napiter juga wajib membuktikan bahwa mereka telah berubah. Perubahan itu tentu harus dibuktikan dengan adanya pergeseran pola pikir dan perilaku. Dari yang tadinya berpandangan sempit, suka mengkafirkan orang lain, dan pro-kekerasan, menjadi individu yang inklusif, dan anti kekerasan. Pergeseran pola pikir dan perilaku itu akan menjadi modal penting untuk mendapatkan penerimaan sosial (social acceptance) dari masyarakat.

Keberhasilan proses reintegrasi mantan napiter ke masyarakat ini tentu membutuhkan peran aktif organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan sebagainya. Peran ormas keislaman adalah menjembatani antara mantan napiter dan masyarakat agar proses reintegrasi itu tidak menimbulkan gejolak sosial.

Deradikalisasi berkelanjutan dengan pendekatan multisektoral ini penting untuk memutus spiral ekstremisme dan mempertahankan status zero attack terrorism. Memasuki tahun 2025, pemberantasan ekstremisme akan menghadapi tantangan yang kompleks. Kian masifnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan dipastikan akan dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis. Baik sebagai alat propaganda maupun sebagai senjata teror.

Dengan kecanggigan teknologi AI sekarang ini, bukan tidak mungkin serangan teror ke depan akan berevolusi. Potensi kelompok teror menggunakan senjata berbasis AI sebagai senjata teror bukanlah sebuah kemustahilan. Perang di masa depan, bukan sekadar perang konvesional, dengan senapan, jet tempur, tank, bom, dan sebagainya. Perang masa depan bisa melibatkan senjata biologis, bahkan serangan virus komputer jaringan seperti ransomware, malware, dan sejenisnya.

Apalagi, kita melihat gejolak di dunia Islam yang tidak menunjukkan tanda-tanda ke arah kondusif. Konflik Palestina dan Israel dipastikan akan terus menjadi bahan komoditas kelompok ekstremis untuk menggelorakan semangat jihad di kalangan umat Islam. Begitu pula, pancaroba politik di Suriah pasti akan menjadi stimulus gerakan radikal di seluruh dunia.

Dua serangan teror dengan modus tabrak mobil yang terjadi dalam waktu nyaris bersamaan di Amerika Serikat dan Jerman kiranya bisa menjadi indikasi awal kebangkitan ekstremisme pasca kemelut politik di Suriah. Kedua serangan itu sulit untuk dikatakan sebagai kecelakaan atau kriminalitas biasa. Selain terjadi di momen Natal, kedua pelaku juga terbukti memiliki keterkaitan dengan ISIS.

Facebook Comments