Ekspresi Kearifan Lokal Lebaran Masyarakat Kampung Lempuyangan

Ekspresi Kearifan Lokal Lebaran Masyarakat Kampung Lempuyangan

- in Kebangsaan
17
0
Ekspresi Kearifan Lokal Lebaran Masyarakat Kampung Lempuyangan

Diantara tradisi lokal di saat lebaran di Kampung Lempuyangan Yogyakarta yang masih dipertahankan hingga kini adalah Sego Megono dan Nyadran. Pertama, Sego (Nasi) Megono adalah salah satu kuliner yang asal muasalnya menunjukkan karakteristik masyarakat Pantura (Pantai Utara Jawa). Sebagai makanan khas, sego megono merupakan hasil olahan dari bahan yang ada di sekitar masyarakat, sehingga ketersediaan untuk memproduksinya hampir selalu ada.

Namun, pada intinya komposisi megono di manapun tidak jauh berbeda, termasuk tradisi yang ada di Masjid Lempuyangan. Hal yang membedakan hanyalah orang yang masak dan banyaknya bahan yang digunakan. Hal inilah yang menjadikan megono di setiap daerah berbeda rasa dan aroma. Beberapa sumber menyebutkan adanya klaim dari Pemalang, Pekalongan, dan Batang mengenai sego megono.

Makanan tradisional sebagai simbol identitas juga dapat dilihat dari Kembul Bujana. Dalam tradisi Kembul Bujana terdapat nilai dalam menciptakan integrasi sosial (Sofyan, 2020). Mengingat tradisi ini sudah berlangsung lama, sego megono yang ada di Masjid Lempuyangan belum ada yang tahu berasal dari mana atau siapa yang membawa pertama kalinya ke Lempuyangan.

Sego Megono di Masjid Lempuyangan dihidangkan setiap selepas Shalat Ied baik Idul Fitri Maupun Idul Adha tiap tahunnya yang dimasak oleh Ibu dari Juru Kunci Makam Lempuyangan dan ini diwariskan secara turun temurun oleh putrinya. Adapun sego megono di Masjid Lempuyangan terdiri diantaranya urap dan atau lebih cenderung dari gori. Bahannya gori terdiri dari kewel yang dicacah-cacah; kacang panjang yang dipotong-potong dengan daun melinjo yang muda; kulit melinjo dengan teri.

Sementara bumbunya yaitu kelapa muda diparut dijadikan satu bumbu, kemudian dimasak dan awur-awuran. Boleh dikata hidangan kuliner tradisional ini seperti gudangan hanya saja gudangan tidak memakai tewel atau gori. Sebelum dimakan biasanya sego megono didoakan terlebih dahulu oleh abdi dalem, atau juru kunci, atau tokoh agama setempat.

Kedua, Nyadran dan Nyekar atau Ziarah Kubur. Tradisi nyadran biasanya dilaksanakan menjelang bulan suci Ramadhan, tepatnya setiap bulan Sya’ban atau dalam kalender Jawa disebut Ruwah. Nyadran merupakan kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan dengan ziarah ke makam leluhur, ulama, atau orang besar para tokoh yang berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa silam. Tradisi ini dilaksanakan menjelang bulan Ramadhan.

Kegiatan dalam ziarah tersebut di antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga. Biasanya para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak. Makanan-makanan tersebut dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu.

Disamping itu, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas, seperti mawar, melati, dan kenanga (Kastolani & Yusof, 2016). Adapun tradisi nyadran di Makam Lempuyangan biasanya ziarah ke makam leluhur Kampung Lempuyangan, makam kerabat raja, makam keluarga K.H. Dardiri, dan ulama besar lainnya.

Kalau kita telaah, beraneka ragam makanan, kemenyan, dan bunga memiliki arti simbolis. Tumpeng, melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul. Ingkung atau ayam yang dimasak utuh melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan. Pisang raja melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia.

Jajan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan. Ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna permohonan ampun jika melakukan kesalahan; kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa; dan bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus. Beraneka “bawaan” tersebut adalah unsur tradisi nyadran sebagai dasar landasan doa. Setelah berdoa, makanan-makanan tersebut menjadi rebutan para peziarah yang hadir. Inilah arti kebersamaan dalam nyadran (Kastolani & Yusof, 2016).

Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi nyadran diantaranya gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan. Nyadran selain bertujuan sebagai penghormatan para leluhur, juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa kita (Kastolani & Yusof, 2016). Pun demikian tradisi nyadran yang ada di Makam Lempuyangan biasanya sangat ramai, bukan hanya masyarakat Kampung Lempuyangan, tetapi juga dari luar daerah.

Facebook Comments