Fenomena Ormas Radikal dan Urgensi Pengarusutamaan Pancasila

Fenomena Ormas Radikal dan Urgensi Pengarusutamaan Pancasila

- in Narasi
574
0

Sepak terjang ormas radikal yang secara terbuka menunjukkan sikap anti pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika telah meresahkan kita semua. Keberadaan ormas radikal mirip seperti duri di dalam daging yang mengganggu dan membuat kita berkeinginan untuk mengenyahkannya sesegera mungkin. Namun, kita tentu membutuhkan strategi dan langkah yang tepat agar tidak melahirkan persoalan lain yang lebih kompleks dari apa yang kita hadapi saat ini.

Dalam lanskap sosial-politik pasca Reformasi ini, keberadaan ormas yang anti pada Pancasila dan NKRI bisa dibilang sebagai sebuah paradoks demokrasi. Bagaimana tidak? Demokrasi yang kita terapkan saat ini memungkinkan semua entitas dan kelompok untuk menyampaikan pendapatnya di muka umum. Demokrasi menghendaki adanya mekanisme diskursus yang terbuka di mana semua kelompok memiliki hak berpendapat, berekspresi dan berserikat tanpa intervensi negara.

Namun, di saat yang sama era keterbukaan dan kebebasan itu justru menjadi lahan yang subur bagi berkembang biaknya organisasi-organisasi yang secara eksplisit berani bersikap anti pada Pancasila dan NKRI. Inilah yang disebut sebagai paradoks demokrasi tersebut. Yakni sebuah situasi ketika demokrasi justru tersandera oleh kemunculan kelompok-kelompok yang bersikap intoleran dan alergi pada kebinekaan.

Disadari atau tidak, keberadaan ormas radikal telah menimbulkan beragam persoalan. Perilaku intoleran bahkan eksplolitasi kekerasan yang mengatasnamakan agama telah menjadi preseden buruk bagi relasi sosial-keberagamaan masyarakat Indonesia yang dikenal harmonis. Belum lagi ketika ormas-ormas radikal itu dimanfaatkan oleh elite politik sebagai kendaraaannya meraih kekuasaan. Bisa dipastikan panggung politik kita akan diwarnai oleh praktik politik identitas yang didominasi oleh semburan ujaran kebencian, berita palsu dan fitnah.

Dalam level yang paling tidak membahayakan, keberadaan ormas radikal kerap menimbulkan kegaduhan lantaran corak komunikasi mereka yang cenderung provokatif. Maka menjadi wajar jika sebagian besar masyarakat mendesak pemerintah mengambil langkah tegas dalam menghadapi ormas radikal. Terakhir, ketika polemik perpanjangan izin Front Pembela Islam (FPI) mencuat ke permukaan, muncul desakan agar pemerintah tidak memperpanjang izin organisasi yang selama ini menjadi eksponen penting radikalisme agama tersebut. Bahkan, di media sosial beredar sebuah petisi online yang menuntut pemerintah membubarkan FPI. Sampai saat ini, petisi online itu telah ditandatangani oleh ribuan orang.

Desakan publik agar pemerintah tidak memperpanjang izin FPI dapat dimaknai sebagai semacam puncak dari kegelisahan sekaligus kekesalan publik pada sikap arogan, provokatif dan radikal yang dipertontonkan oleh ormas-ormas radikal. Mereka, kelompok radikal itu hidup, bekerja dan beranak-pinak di bumi Indonesia. Namun, anehnya mereka justru anti pada pemerintah dan menolak Pancasila. Sebuah sikap yang absurd, untuk juga mengatakan tidak tahu diri.

Menyukseskan Program Pengarusutamaan Pancasila

Di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, tampak bahwa pemerintah benar-benar serius dalam memberantas paham radikal keagamaan. Hal ini terlihat dari susunan kabinet yang seolah mengirim pesan ke kelompok radikal bahwa pemerintah kali ini tidak main-main dengan pemberantasan radikalisme. Pada saat yang sama, pemerintah juga menggulirkaan program “Pengarusutamaan Pancasila” untuk menangkal pengaruh ormas radikal.

Upaya pemerintah ini tentu patut diapresiasi dan didukung sepenuhnya. Terlebih lagi terkait program pengarusutamaan Pancasila yang kiranya memang sangat relevan dengan situasi Indonesia kontemporer. Secara sederhana, pengarusutamaan Pancasila dapat diartikan sebagai upaya untuk mengevaluasi dan mengorganisir proses-proses pengambilan kebijakan dan penyusunan peraturan serta perundang-undangan agar senantiasa memakai dan memasukkan perspektif Pancasila di dalamnya. Ini artinya, semua kebijakan pemerintah harus mencerminkan dan menjiwai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Keberhasilan pengarusutamaan Pancasila ini membutuhkan sejumlah syarat. Pertama dan yang terpenting adalah adanya kehendak politik (political will) dari pemerintah untuk kembali menjadikan Pancasila sebagai dasar sekaligus tujuan penyusunan kebijakan. Ini berarti pengarusutamaan Pancasila harus menjadi isu politis. Pemerintah harus menyampaikan secara gamblang pada semua institusi bahwa penyusunan program dan aturan harus memakai perspektif Pancasila. Tanpa ada political will yang jelas dan kuat, program pengarusutamaan Pancasila hanya akan berakhir menjadi wacana yang terus-menerus diperbincangkan tanpa pernah bisa terrealisasikan.

Adanya political will yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan pengarusutamaan Pancasilas secara tidak langsung akan membangkitkan kesadaran publik akan pentingnya mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Dalam hal ini, pemerintah tidak boleh lelah untuk terus-menerus mengampanyekan dan mempromosikan gagasan pengarusutamaan Pancasila dengan berbagai metode dan platform.

Syarat kedua adalah tersedianya lembaga maupun individu yang menjadi motor penggerak bagi program pengarusutamaan Pancasila. Maka penting bagi pemerintah untuk membentuk semacam satuan tugas yang bertanggungjawab mengawasi kebijakan semua instansi pemerintah agar sesuai dengan perspektif dan prinsip Pancasila. Tidak kalah penting dari itu ialah mendorong partisipasi publik dalam mensukseskan program pengarusutamaan Pancasila.

Peran serta publik dalam mensukseskan program pengarusutamaan Pancasila dapat diejawantahkan ke dalam aktivitas memberikan masukan, mengawasi dan memastikan agar setiap kebijakan dan aturan pemerintah tidak keluar dari koridor perspektif Pancasila. Relasi komunikasi dua arah antara pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan masyarakat sipil mutlak diperlukan guna menjamin program pengarusutamaan Pancasila tidak terjebak pada pola indoktrinasi seperti dipraktikkan di masa lalu.

Tiga elemen penting yang wajib dilibatkan dalam program pengarusutamaan Pancasila ialah lembaga kemasyarakatan non-politik, media massa dan perguruan tinggi. Lembaga kemasyarakatan non-politik dibutuhkan dalam konteks menjembatani antara kepentingan masyarakat di satu sisi dengan otoritas pemerintah di sisi lain. Media massa dibutuhkan sebagai sarana mengkomunikasikan dan menyebarkan program pengarusutamaan Pancasila ke khalayak. Media juga diharapkan mampu berperan meminimalisasi gesekan sosial yang timbul lantaran isu SARA.

Sedangkan perguruan tinggi yang dikenal sebagai kanal berkumpulnya intelektual dan cendekiawan diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi keberhasilan program pengarusutamaan Pancasila. Perguruan tinggi juga berfungsi sebagai wahana brainstorming yang memungkinkan setiap kebijakan dan aturan yang dikeluarkan pemerintah bisa diuji terlebih dahulu validitas dan efektivitasnya. Arkian, kita tentu patut berharap dan optimis program pengarusutamaan Pancasila yang digencarkan pemerintah mampu membatasi ruang gerak ormas berhaluan radikal yang anti pada Pancasila dan NKRI.

Facebook Comments