Trilogi Literasi: Membangun Kesadaran Melawan Provokasi

Trilogi Literasi: Membangun Kesadaran Melawan Provokasi

- in Narasi
1313
0
Batik sebagai Media Dakwah

Hoaks dan ujaran kebencian yang membanjiri kanal-kanal perbincangan publik di ruang virtual ialah residu persoalan yang tidak boleh dianggap sepele. Akumulasi dari berita palsu yang berkelindan dengan ujaran kebencian ialah perpaduan berbahaya yang bisa memantik api konflik sosial. Dalam Islam sendiri diajarkan bahwa “fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Ini tidak lantas diartikan bahwa Islam menoleransi dan bersikap permisif pada pembunuhan, melainkan sebuah pesan bahwa berita palsu memiliki efek destruktif luar biasa.

Sejarah peradaban modern mencatat bagaimana negara yang kaya, rakyatnya makmur, pemerintahannya adil bisa luluh-lantak oleh perang saudara yang diakibatkan oleh masifnya serbuan hoaks dan ujaran kebencian di ruang publik. Sebaran hoaks dan ujaran kebencian harus diakui merupakan isu yang kompleks dan tidak sesederhana yang dibayangkan selama ini.

Kompleksitas itu bisa dilihat dari penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang tidak mengenal status sosial dan latar belakang pendidikan. Bahkan, sejumlah riset mutakhir menyebutkan bahwa kalangan berpendidikan tinggi dan berekonomi mapan pun banyak yang gandrung pada berita palsu dan gemar mengumbar ujaran kebencian pada kelompok lain. Di titik ini, agaknya harus diakui bahwa ada persoalan mendasar yang terjadi di masyarakat kita sehingga fenomena hoaks dan ujaran kebencian begitu sulit diberantas.

Di permukaan, maraknya semburan hoaks dan ujaran kebencian yang terjadi di media daring kita tentu merupakan ekses negatif dari lemahnya literasi masyarakat. Tsunami informasi yang tidak didukung oleh kemampuan masyarakat memilah dan memilih informasi yang akan dikonsumsi dan disebarkan membuat masyarakat terjebak dalam labirin hiperrealitas informasi.

Publik gamang dalam membedakan mana informasi mana yang valid dan mana yang sekadar gosip alias gumaman tanpa dasar fakta ilmiah dan data. Konsekuensinya, segala informasi yang tersaji di dunia maya akan ditelan mentah-mentah tanpa melakukan cek fakta, apalagi verifikasi. Namun, lagi-lagi rendahnya literasi masyarakat itu hanyalah fenomena yang menggejala di permukaan.

Jika kita lihat secara seksama dan lebih mendalam, kita akan melihat setidaknya dua persoalan akut yang menjadi penyebab mengapa hoaks dan ujaran kebencian sukar diberantas. Persoalan pertama ialah menguatnya sentimen fanatisme keagamaan yang mulai menggejala pasca berakhirnya era Orde Baru. Islamisasi ruang publik yang disuarakan oleh kaum fundamentalis telah membidani lahirnya corak keagamaan yang eksklusif, intoleran bahkan radikal.

Di lapangan, cara pandang keagamaan yang konservatif itu terrepresentasikan dengan sikap truth claim (merasa diri paling benar) dan membenci kelompok lain yang berbeda agama atau aliran. Sentimen fanatisme agama yang dilandasi sikap truth claim dan anti terhadap liyan menjadi pintu masuk bagi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di kanal-kanal media daring kita.

Persoalan kedua ialah mewabahnya praktik politik identitas yang mengeksploitasi perbedaan agama, suku dan ras sebagai komoditas dalam politik elektoral. Dalam beberapa tahun belakangan kita menyaksikan bagaimana para elite berusaha menjadikan perbedaan identitas sebagai alat politik untuk meraup simpati massa. Dalam konteks politik identitas, pertarungan berebut kekuasaan tidak lagi dilakukan dengan mengandalkan adu gagasan atau program, melainkan dengan serbuan fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian. Fenomena politik identitas ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan sudah menjadi fenomena global dalam beberapa tahun terakhir.

Mengembangkan Trilogi Literasi

Baik konservatisme agama maupun politik identitas, keduanya sama-sama berpotensi melahirkan perpecahan. Konservatisme agama melahirkan jarak sosial antarpemeluk agama yang berbeda, lantaran kebenaran agama dimonopoli oleh golongan tertentu (biasanya kaum mayoritas). Sedangkan politik identitas melahirkan polarisasi politik di level akar rumput. Di tengah kondisi segregatif inilah hoaks dan ujaran kebencian bisa dipastikan tumbuh subur dan disikapi secara permisif, bahkan oleh kalangan kelas menengah berpendidikan sekalipun.

Maka, perjuangan memberantas hoaks dan ujaran kebencian mustahil dilakukan tanpa menggalakkan trilogi literasi, meliputi literasi media, literasi agama sekaligus literasi politik. Dalam konteks melawan hoaks dan ujaran kebencian, trilogi literasi ini tidak dapat berdiri sendiri alias merupakan satu kesatuan. Literasi media meliputi kemampuan masyarakat dalam memahami, menganalisa dan mengkritisi informasi yang tersaji di media daring. Literasi media juga dipahami sebagai kemampuan masyarakat dalam memfilter arus informasi sehingga bisa mengonsumsi dan mendistribusikannya secara bijak.

Literasi agama merupakan kemampuan komunitas beragama dalam menjalankan keimanannya secara moderat, inklusif dan toleran. Literasi agama mencakup kemampuan komunitas beragama dalam menerjemahkan sekaligus mempraktikkan ajaran agamanya secara kontekstual dan relevan dengan realitas sosial yang majemuk. Sedangkan literasi politik ialah kemampuan dalam memahami isu-isu politik dan bagaimana mekanisme demokrasi elektoral dimainkan dalam mempengaruhi masyarakat. Literasi politik memiliki cakupan yang lebih luas dari sekadar partisipasi politik. Literasi politik lebih menekankan pada sikap politik yang elegan, rasional dan etis.

Implementasi trilogi literasi oleh masyarakat kiranya bisa menutup ruang gerak penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Untuk mewujudkannya, tentu harus ada sinergi dan kerjasama antara pemerintah, media massa, lembaga keagamaan dan masyarakat umum. Pemerintah harus tegas memberantas hoaks dengan melakukan penegakan hukum. Media massa kiranya bisa memberi contoh bagaimana menyajikan informasi yang valid, faktual dan tidak tendensius. Media massa bisa menjadi elemen penting dalam membentuk nalar kritis publik. Terakhir, lembaga-lembaga keagamaan idealnya bisa mendorong umatnya untuk memberdayakan kekuatan komunitas sebagai penangkal hoaks dan ujaran kebencian. Dengan sinergi elemen-elemen bangsa tersebut, kita patut optimistik bisa mensterilkan ruang publik virtual kita dari hoaks dan ujaran kebencian.

Facebook Comments