Pada tahun 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres No. 108 Tahun 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan. Presiden Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, 21 April, sebagai Hari Kartini. Kini, Hari Kartini diperingati setiap tahun untuk menyuarakan kesetaraan kaum perempuan, baik dalam hal pendidikan maupun berbagai aspek lainnya. Makna Hari Kartini belakangan juga meluas sampai pada momentum kebangkitan kaum perempuan agar bisa terus memaksimalkan potensinya untuk berkontribusi terhadap kehidupan bersama.
Membaca sejarah R.A. Kartini membuat kita terbayang sosok perempuan yang memiliki kecerdasan, sikap kritis, dan berani. Kita bisa mengimajinasikannya lewat surat-surat yang ditulis R.A Kartini selama berkorespondensi dengan teman-temannya di Eropa yang kemudian dibukukan Mr. J. H. Abendanon dalam Door Duistemis tot Licht, dan kita kenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang. Di sana, tergambar pemikiran kritis Kartini tentang kondisi saat itu, terutama tentang tradisi dan adat yang membelenggunya sebagai seorang wanita.
Namun, masih ada hal lain dari sosok R.A Kartini selain narasi tersebut. Yakni tentang spirit belajarnya dalam mengenal agamanya. Ketika masih muda, Kartini biasa membaca Al-Qur’an. Saat itu Al-Qur’an belum diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Karena tidak mengetahui arti ayat-ayat Al-Qur’an yang ia baca, Kartini bertanya pada guru mengajinya. Namun, ia justru tidak mendapatkan jawaban dan justru dimarahi. Kita simak petikan surat R.A Kartini kepada Stella Sihandelaar tertanggal 6 November 1899, sebagaimana dikutip Teguh Setiawan dalam Republika (21/4/2013);
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikan dengan umat lain. Lagi pula sebenarnya agamaku Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya…”
Tradisi pengajaran agama saat itu memang cenderung masih kaku. Seorang murid tak bisa banyak bertanya pada gurunya, terlebih dalam belajar membaca Al-Qur’an. Kartini berpikir, jika Al-Qur’an adalah ajaran yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam, sudah semestinya ia dipahami dan dihayati maknanya. Namun, saat itu Al-Qur’an sekadar dibaca dan dihafal tanpa dijelaskan artinya.
Waktu membawa Kartini bertemu Kiai Saleh Sholeh bin Umar, seorang guru dalam sebuah pengajian di kediaman Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, paman RA Kartini. Di sana, Kiai yang lebih dikenal dengan Kiai Saleh Darat tersebut menjelaskan tafsir surat Al-Fatihah yang membuat Kartini tertarik dan menyimaknya secara sungguh-sungguh. Karena keinginan besar untuk mempelajari agamanya, Kartini mendesak pamannya untuk mempertemukannya dengan Kiai Shaleh Darat setelah pengajian itu.
Setelah bertemu, Kartini bertanya pada Kiai Saleh Darat bahwa selama hidupnya, baru kali itu ia berkesempatan belajar memahami ayat Al-Qur’an, yakni surat Al-Fatihah. Kartini merasa isinya begitu indah dan menggetarkan hatinya. Namun, Kartini mengungkapkan keherananya pada Kiai Saleh Darat mengapa para ulama melarang penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Kiai Saleh Darat tertegun oleh pertanyaan Kartini. Pertanyaan itu kemudian menggugah kesadaran Kiai Saleh Darat untuk menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa.
Kiai Saleh Darat kemudian berhasil menerjemahkan Al-Qur’an sebanyak 13 juz, dari Surat Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim, yang kemudian dijadikan hadiah pernikahan untuk Kartini saat menikah dengan Raden Mas Joyodiningrat, bupati Rembang. Bagi Kartini, hadiah itu sangat berarti, sehingga ia pelajari sungguh-sungguh. Berkat terjemahan Al-Qur’an dari Kiai Saleh Darat, Kartini mulai memahami agamanya, sehingga keyakinannya semakin kukuh.“Yakinlah nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami harap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami patut disukai,” tulis Kartini kepada Nyonya Abendanon pada 12 Juni1902.
Sayangnya, Kiai Saleh Darat wafat sebelum tuntas menerjemahkan seluruh ayat Al Qur’an. Kartini pun tak rampung mempelajari terjemahan Al-Qur’an sampai tuntas. Namun, Kartini telah berguru pada sosok yang tepat. Kegelisahan terhadap tradisi pengajaran agama yang membelenggu pikirannya mendapatkan jawaban berkat sosok kiai besar yang tawadhu’. Harus digarisbawahi, Kiai Saleh Darat merupakan ulama besar yang menulis banyak kitab, baik fiqih, akidah, tafsir, juga tasawuf. Kebanyakan dalam aksara Arab berbahasa Jawa (pegon). Keilmuan Kiai Saleh Darat sudah diakui banyak kalangan. Bahkan, beliau dikenal sebagai gurunya para ulama ternama. K.H Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan K.H Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) adalah di antara nama-nama ulama besar yang pernah berguru pada Kiai Saleh Darat (Hostoria.co, 22/4/2015).
Perjalanan R.A Kartini dalam mengenal agamanya tersebut pada gilirannya memberi kita pelajaran tentang pentingnya belajar agama pada ulama atau kiai yang mumpuni. Ulama dan kiai yang tak sekadar berpengetahuan agama luas, namun memiliki pemahaman terhadap permasalahan muridnya, bisa memberikan solusi kontekstual, sehingga ajaran agama bisa tersampaikan secara efektif. Ulama yang menghargai sikap kritis dan kreativitas murid sebagai potensi dasar yang dimiliki setiap manusia. Dalam konteks lebih luas, berarti ulama yang bisa memahami latar sosial dan budaya suatu masyarakat dan mampu menggagas cara-cara dakwah yang sesuai, termasuk dengan menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an ke bahasa Jawa. Bisa dikatakan, inilah di antara ciri khas ulama-ulama Nusantara. Di tangan mereka, Islam tampil sebagai agama yang mencerahkan sembari tetap mengayomi, sehingga diterima masyarakat dari pelbagai latar belakang. Wallahu a’lam..