Kearifan yang Hilang

Kearifan yang Hilang

- in Narasi
1766
0

LELAKI terpandang itu tengah tepekur, tenggelam dalam bacaannya. Tak sekedar mewarisi kealiman ayahnya, ia juga lentera kota itu. Hidupnya tertib, tak banyak neko-neko.Namun, semuanya itu ambyar. Sekilas peristiwa telah mengubah hidup dan masa depannya.Seorang “jalang” datang. Tutur-katanya congkak. Wajahnya pongah. Sikapnya sinis.

“Siapa yang lebih luhur, Muhammad atau Bayazid?” tanya tiba-tiba lelaki “jalang” itu.

Lelaki terpandang itu, sang mufti, yang terbiasa dengan logika hukum, kelu. Tak ditemukannya jawaban atau bahkan pertanyaan semacam itu dalam kitab-kitab rujukannya. Muhammad kulai. Adapun Bayazid, justru berucap: “Mahasuci Aku.”

Sang “jalang,” tanpa berpikir panjang, lekas membuang kitab-kitab pegangan itu ke kali.

“Basahlah kitab itu!” pekik sang mufti.

Tak ada respon. Sang “jalang” itu pun pergi, tanpa beban, dengan meninggalkan sang mufti yang ngungun dengan pertanyaan dan sekilas peristiwa yang melawan hukum alam (The Life & Work of Jalaluddin Rumi, Afzal Iqbal, 1983).

Mufti itu bernama Rumi. Adapun sang “jalang” adalah Shams-i Tabrizi. Ada satu pelajaran berharga dari persinggungan Rumi dengan Shams-i: bahwa logika keagamaan tak selamanya sejalan dengan logika ketuhanan.

Banyak orang yang menguasai ilmu-ilmu keagamaan, alim, namun hanya dapat dihitung jari orang yang ahli di wilayah kearifan.

Di penghujung tahun ini, tak salah seandainya kita melihat kembali perjalanan kita sebagai sebuah bangsa. Tentu, ibarat sebuah perjalanan yang tak selamanya lempang, ada saja gangguan, goncangan yang menyertainya. Goncangan yang paling menohok itu justru datang dari kehidupan keberagamaan kita. Sungguh ironis, banyak orang menyatakan bahwa kehidupan keberagamaan di Indonesia tak perlu diragukan lagi. Artinya, eksistensi agama, seandainya mau berkaca pada konstitusi, telah menyertai sejak awal berdirinya republik ini. Tapi kenapa akhir-akhir ini goncangan-goncangan kebangsaan itu justru datang dari salah satu sendi berdirinya negara-bangsa ini: agama? Intoleransi, radikalisme, terorisme, dan maraknya pendekatan politik sektarian belakangan ini, merupakan ancaman-ancaman nyata yang mengoyak anyaman kebangsaan kita.

Pernah saya utarakan bahwa intoleransi (hate speech, bullying) tak selamanya milik kaum dewasa. Dan itu pun tak selamanya marak terjadi di dunia maya. Masih ingat kasus yang menimpa seorang bocah kelas empat SD yang menjadi korban perundungan hanya karena wajahnya mirip Ahok, plus satu-satunya bocah non-muslim di kelasnya?

Saya kira memang radikalisme semacam ini sengaja dipupuk, salah satunya lewat pembiasaan dan pembiaran terjadinya hate speech, bullying, ataupun kisaran hoax yang bernuansa SARA. Ujung dari pembiaran intoleransi semacam ini apalagi kecuali radikalisme dan terorisme? Hatf Saiful Rasul, yang tewas mengenaskan di Suriah, adalah contoh kecil pemupukan radikalisme sedari bocah.

Dengan berkaca pada kasus-kasus itu, orang akan bertanya, adakah atau bahkah siapakah yang patut dipersalahkan? Institusi pendidikan? Guru? Orangtua? Kurikulum pendidikan? Ataukah mindset yang menjadi benang merah keempatnya?

Saya kira, mindset pendidikan keagamaan kita selama ini masih berkutat pada upaya penguasaan sekaligus ketundukan pada ilmu-ilmu agama semata. Sejak bocah, kita terbiasa untuk berpikir bagaimana, sebagai misal, menjadi orang agamis, menjadi orang baik dan benar menurut standar agama. Telah terpatri dalam benak kita bahwa satu-satunya ukuran kebaikan dan kebenaran adalah sepenuhnya milik agama. Orang dengan gampangnya akan berpikir, bahwa orang baik ataupun orang benar itu adalah orang yang agamis, itu pun versi (tafsir) agama yang dianutnya.

Taruhlah ayat innaddina ‘indallahil Islam atau ayat udkhulu fissilmi kaffah. Tanpa kearifan, orang akan memaknai dan mempraktikkan ayat-ayat ini secara saklek atau bahkan secara wengis. Akibatnya, menjadi tumpang-suh bentuk pemahaman dan penyikapannya ketika berhadapan dengan kenyataan di mana ia mesti, mau tak mau, bersinggungan dengan bermacam orang dari berbagai latar-belakang. Apalagi setelah sadar bahwa ia hidup di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan konstitusi. Ia bingung, gagap untuk bagaimana semestinya menyesuaikan antara yang ideal dan realitas faktual.

Radikalisme, intoleransi, dan terorisme, juga bersumber dari minimnya kearifan dalam memahami dan melakoni agama yang dianutnya semacam ini. Sejak bocah, kita selalu dicekoki idealitas dan selalu diinternalisasi untuk menganut dan menyesuaikan dengan idealitas semacam itu sesempurna mungkin. Kita tak pernah dikasih ruang untuk bertanya, “kenapa.” Pandangan umum meletakkan agama sebagai sesuatu yang mesti diterima tanpa reserve. Artinya, sejak dini kita cenderung dibentuk untuk berpandangan satu sisi: logika linear. Kita tak pernah diajarkan, adakah hal yang sama dalam ajaran yang berbeda, bahkan dari sumber non-agama sekali pun?

Memang, pada akhirnya, pergaulan dan pengalaman akan membuat pemahaman seseorang berubah. Tapi dari beberapa kasus radikalisme, intoleransi, dan terorisme, pemaknaan ala bocah ini berupaya dilestarikan, bahkan dimapankan.

Adakalanya, pemahaman dan pemaknaan para orang yang ditengarai radikal dan terlibat terorisme adalah pemahaman dan pemaknaan agama yang setingkat bocah: literal, eksklusif, dan ilusif.

Kata orang bijak, dalam agama pun senantiasa ada muslihat, sebagaimana juga dalam wilayah non-keagamaan. Banyak yang tergelincir. Sesat pun, tak diragukan lagi, juga membayangi jalan keagamaan. Radikalisme, intoleransi, dan terorisme adalah salah satu buktinya.

Apa yang disingkapkan Shams-i pada Rumi adalah kilasan kearifan. Ia menyadarkan ayah Sultan Walad itu dari ghurur keagamaan. Dengan kealiman, kesalehan, dan ketaatan literal pada agama, tak selamanya membuat hidup Rumi terasa penuh.

Sejatinya, Shams-i hanya mengajarkan apa yang dilupakan oleh Rumi: spiritualitas. Dengan religiusitas, Rumi hanya dapat menghasilkan repetisi dan rumusan-rumusan hukum yang kering. Dengan religiusitas, Rumi hanya beroleh pribadi-pribadi yang tersekat, fanatik (ingat ke tujuh murid yang menggorok leher Shams-i?), dan bebal. Tapi dengan spiritualitas, Rumi menjadi pribadi yang “gila” sekaligus di-“gila”-i banyak orang yang telah jengah dengan berbagai sekat buatan dan segala ketundukan hipokrit—atau untuk meminjam istilah Sartre mauvaise foi. Rumi enggan berfatwa kembali. Ia malah menari, bernyanyi, dan berpuisi. Membebaskan hasrat spiritualnya yang tak mampu dibendung berbagai sekat.

Apa yang terjadi kini, dengan maraknya radikalisme, intoleransi, dan terorisme, adalah sebuah kecenderungan menguatnya religiusitas yang miskin spiritualitas. Contoh paling menohok adalah penolakan atas keputusan resmi Mahkamah Konstitusi terkait pengakuan konstitusional kepada para penghayat kepercayaan (Agama Sipil dan Pecah Belah Ukhuwah Wathaniyah-Basyariyah, www.jalandamai.org).

Inilah, saya kira, hasil nalar keagamaan kita yang tak efektif dan produktif akhir-akhir ini. Pemahaman-pemahaman keagamaan yang puritan semacam ini pada akhirnya akan memantik terjadinya sikap ataupun tindakan-tindakan intoleran, bahkan teror. Pernah saya utarakan bahwa pada tataran mindset, dua bentuk radikalisasi yang terbongkar belakangan ini tak berbeda: radikalisasi birokratik dan radikalisasi kerakyatan (Hikayat Kebohongan, www.islami.co).

Religiusitas yang miskin spiritualitas tersebut nyata mendapatkan momentumnya ketika kemarin, Jum’at 24 November 2017, para sufi, seusai shalat Jum’at, dibantai oleh sekelompok orang di sebuah masjid di Mesir. Ratusan orang dan 27 anak-anak meregang nyawa (www.jpnn.com 25/11/2017). Atas nama apa? Kemurnian akidah? Langgam klasik kaum wahabi-takfiri.

Ada beberapa kemungkinan kenapa para sufi dijadikan sasaran teror. Memang, telah menjadi lumrah di sepanjang sejarah kaum sufi selalu dimusuhi oleh kalangan Islam radikal. Anti-kekerasan dan anti-pemaksaan, sifat kontekstual, toleransi, lebih mengedepankan substansi daripada bentuk, pluralis—dalam arti, bagi yang berpaham wujudiyah, meyakini adanya titik-temu, adapun bagi yang berpaham ahlussunah, bahwa soal kebenaran terakhir adalah hak prerogatif Tuhan, segalanya tergantung ridha-Nya—hanyalah beberapa karakteristik dari sufisme. Dan di sepanjang sejarah, kaum sufi memang tercatat sebagai pembawa Islam yang sejuk dan damai hingga mendorong banyak orang apresiatif terhadap Islam. Ada Rumi, Hazrat Inayat Khan, Bawa Muhaiyaddeen, Frithjof Schuon, atau di masa kontemporer, (Alm.) Syaikh Nazim dan Syaikh Hisyam, adalah nama-nama yang mewedarkan spiritualitas Islam di Barat, dan telah merajut titik-singgung dengan banyak tradisi spiritualitas yang berbeda. Bagi kalangan yang mabuk bentuk, tentu saja pandangan-pandangan para sufi tersebut terasa oplosan.

Kemungkinan kedua, kalangan Islam radikal sendiri memang mendapatkan perlawanan keras dari kalangan Islam substansial, atau paling tidak, keberadaan Islam substansial—dalam hal ini sufisme—dianggap sebagai batu sandungan yang dapat melemahkan ego kelompok, watak ekspansif dan imperial kelompok tertentu. Secara simbolik, ketika sufisme dihancurkan, koyaklah sudah apa yang mereka pikir sebagai sebentuk percampuran akidah—walau pun dari perspektif kaum sufi sendiri hal itu dipandang lumrah dalam spiritualisme, di mana secara sosiologis-politis adalah hal yang lebih mendatangkan manfaat.

Dengan mengatakan bahwa mindset pendidikan keagamaan kita miskin spiritualitas tak berarti orang harus menjadi sufi. Tapi dengan menengok radikalisme-intoleransi-terorisme yang tengah marak akhir-akhir ini, tampaknya mindset para sufi dapat dijadikan alternatif.

Di banding dari perspektif lain, misalnya saja hukum (fiqh) ataupun teologi, pluralisme dan multikulturalisme lebih gampang dikembangkan, lempang tanpa halangan. Atau bahkan, isu-isu kontemporer—yang merupakan tuntutan zaman—rasanya lebih bisa disikapi secara proporsional: pluralisme, demokrasi, HAM, lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan seterusnya.

Taruhlah pluralisme, secara sufistik adalah hal yang lumrah. Telah saya singgung soal wihdatul wujud, bagi penganut tasawuf-filsafati atau konsep ridha sebagaimana yang dianut tasawuf-akhlaqi, pluralisme hanyalah sejenis wihdatul adyan (wujudiyah) pada aras etik-politik ataupun perbedaan jalan untuk menggapai ridha-Nya (ahl al-sunah).

Maka tak ada jalan lain, dengan memakai mindset sufistik tersebut, kecuali bersikap terbuka dan toleran. Dan selalu ingat, kata orang bijak, bahwa hidup (dan mati) tak selamanya mampu dirangket seperangkat hukum suci.

Facebook Comments