Sepekan jelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-75, peristiwa kericuhan berlatar isu agama terjadi di Pasar Kliwon, Surakarta. Sebagaimana dilaporkan oleh sejumlah media massa, Minggu (09/08) lalu, massa yang mengatasnamakan dirinya “Kelompok Laskar Solo” menggeruduk rumah salah satu warga yang tengah melakukan proses midodareni, sebuah proses dalam rangkaian pesta pernikahan adat Jawa Tengah. Gerombolan berpenutup kepala dan muka itu menuduh acara hajatan pernikahan itu sebagai acara keagamaan. Secara kebetulan, si empunya hajat dikenal sebagai tokoh penganut aliran Syiah. Seperti kita tahu, Syiah merupakan aliran minoritas dalam Islam yang kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif, intoleran bahkan kekerasan dari kelompok tertentu.
Insiden yang terjadi di Solo itu tidak pelak telah mencederai semangat “Indonesia Maju” yang menjadi slogan peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-75. Bagaimana tidak? Kemajuan sebuah bangsa salah satunya sangat bergantung pada bagaimana masyarakatnya mengelola keberagamaan, termasuk mengatur relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas. Bangsa yang berhasil mengelola keberagamaan dan menjadikannya sebagai modal sosial, bisa dipastikan akan meraih kejayaan di masa depan. Sebaliknya, bangsa yang terjebak pada perebutan dominasi di ruang publik antara kelompok mayoritas dan minoritas niscaya akan kesulitan meraih kejayaan.
Dan, harus diakui bahwa setelah merdeka selama 75 tahun lamanya, tantangan paling berat yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini bukanlah dari sisi ekonomi, politik, melainkan dari sisi sosial-keagamaan. Dari sisi ekonomi, pra-pandemi Covid-19 ini pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu menorehkan capaian yang membanggakan. Bahkan, ketika sebagian besar negara di dunia mengalami perlambatan ekonomi signifikan, Indonesia tetap menunjukkan grafik pertumbuhan ekonomi yang stabil. Begitu pula dalam hal politik, dimana Indonesia kerap disebut sebagai negara demokrasi berpenduduk muslim terbesar di dunia. Keberhasilan Indonesia dalam mempraktikkan demokrasi, salah satunya dengan menyelenggarakan Pemilu Serentak pada 2019 lalu telah diakui oleh dunia internasional.
Namun, dari sisi sosial-keagamaan, Indonesia masih menghadapi sejumlah problem akut. Salah satunya ialah bangkitnya gerakan radikal keagamaan yang bertendensi destruktif. Pasca Reformasi 1998, kita menyaksikan sendiri bagaimana kekuatan Islam politik berusaha merebut ruang publik dengan tuntutan formalisasi syariah dan pendirian khilafah Islamiyyah di wilayah Indonesia. Kelompok radikal ini tidak segan memaksakan kehendaknya melalui cara-cara kekerasan bahkan terorisme. Dua dasawarsa lebih gerakan radikal ini berkembang di Indonesia, dan sedikit banyak mengubah lanskap relasi sosial-kebangsaan kita. Radikalisme keagamaan yang bertendensi destruktif telah merusak jejaring relasi kebangsaan yang susah payah kita bangun selama ini. Maka dari itu, penting kiranya bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan nasional dalam mengahalu infiltrasi paham radikal-destruktif.
Baca Juga : Kesiapsiagaan Nasional; Mewarisi Perjuangan Pahlawan, Menjaga Kemerdekaan Bangsa
Radikalisme yang dilatari oleh pemahaman keagamaan tentu tidak lahir begitu saja, alih-alih merupakan hasil dari proses panjang. Seseorang tidak begitu saja terlahir menjadi seorang radikal kecuali memiliki latar belakang keilmuan dan sosial yang memungkinkannya bersikap dan bertindak sebagai seorang radikalis. Sebagai sebuah penyakit sosial, radikalisme bisa diidentifikasi dari sejumlah gejala awal. Oleh karena itulah, penting bagi masyarakat untuk membangun semacam sistem deteksi dini untuk mencegah berkembangnya paham radikal-destruktif. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk early warning system sehingga penyebaran paham radikal bisa dianulir sejak awal.
Gejala-gejala radikalisme keagamaan umumnya dapat diidentifikasi dari sejumlah variabel. Antara lain, pertama berkembangnya paham konservatisme dan eksklusivisme keberagamaan. Yakni cara pandang keagamaan yang sempit dengan menganggap agama dan alirannya sebagai yang paling benar dan menganggap penganut agama atau keyakinan lain sebagai sesat. Corak eksklusivisme beragama ini secara tidak langsung telah menutup pintu dialog antarberbagai kelompok agama atau masyarakat yang berbeda. Tertutupnya pintu dialog dan komunikasi tidak pelak melahirkan celah konflik antarkelompok agama atau masyarakat.
Kedua, munculnya sikap arogan dan kehendak untuk memaksakan agenda dan kepentingan kelompoknya melalui cara-cara yang persekusif, vandalistik bahkan menjurus pada kekerasan. Radikalisme selalu dicirikan dengan variabel pokoknya yang anti pada pluralitas agama, budaya dan kultur yang berkembang di masyarakat. Kelompok radikal memiliki keyakinan bahwa dunia harus memiliki realitas tunggal yang dibentuk dan dikuasai oleh kelompok mereka sendiri. Hal inilah yang memicu munculnya tidakan intoleran dan diskriminatif.
Terakhir, radikalisme selalu dicirikan dengan cara pandang atau model berpikir yang bertumpu pada logika oposisi biner (binary opposition). Kalangan radikal-destruktif memandang realitas sosial, politik dan agama dengan kacamata simplistis, yakni melihat semuanya hanya dengan perspektif hitam-putih. Semua yang setuju dengan pandangannya dianggap sebagai bagian dari kelompoknya. Sebaliknya, semua yang memiliki pandangan berbeda kemudian dilabeli sebagai musuh yang harus dilawan dan dienyahkan.
Gejala-gejala radikalisme seperti ekslusivisme agama, arogansi berpendapat serta tindakan intoleran dan vandalistik tentu harus kita cegah sejak dini. Jika tidak, hal itu akan bereskalasi menjadi penyakit sosial yang lebih besar dan memiliki daya rusak yang lebih masif. Kericuhan yang terjadi di Solo tempo hari kiranya bisa menjadi semacam contoh nyata. Bagaimana kebencian terhadap golongan tertentu bisa melahirkan sikap curiga berlebihan yang potensial memantik kekacauan sosial. Tindakan semacam itu idealnya bisa kita cegah dengan mengembangkan dua prinsip pokok.
Pertama, prinsip keberagamaan moderat dimana umat beragama mau mereformasi cara pandang dan praktik keberagamaannya dari yang sebelumnya bercorak eksklusif-konservatif ke arah inklusif-progresif. Umat beragama di Indonesia harus mengembangkan pola pikir dan sikap keberagamaan moderat yang ramah terhadap multikulturalitas dan multirelijiusitas sebagaimana menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Moderasi beragama secara otomatis akan membangun sistem kekebalan alamiah masyarakat dari serangan paham dan ideologi radikal. Fakta menunjukkan bahwa selama ini, paham radikal keagamaan hanya bisa tumbuh subur di kalangan masyarakat yang berpandangan eksklusif, intoleran dan arogan. Kedua, prinsip kebangsaan yang meyakini bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan dari beragam entitas etnis, agama dan kultur yang berbeda satu sama lain. Prinsip kebangsaan akan membangun sebuah paradigma berpikir yang mengakui bahwa Indonesia merupakan kesatuan dari beragam entitas yang memiliki kedudukan sejajar. Prinsip kebangsaan juga akan membentuk paradigma berpikir yang mengakui dan menghormati kelompok minoritas sebagai bagian dari pluralitas bangsa tanpa berupaya mendiskriminasi apalagi melakukan tindakan intoleran. Perjuangan mewujudkan kemerdekaan dalam arti lepas dari penjajahan memang telah usai. Namun, perjuangan untuk menegakkan prinsip kebangsaan ialah pekerjaan sepanjang hayat yang harus terus diupayakan oleh seluruh elemen bangsa. Kiranya semarak peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-75 ini bisa membangkitkan kesadaran kita akan pentingnya menegakkan prinsip kebangsaan dalam menghalau ancaman radikalisme.