Khittah Ulama: Pewaris Nabi, Sokoguru NKRI

Khittah Ulama: Pewaris Nabi, Sokoguru NKRI

- in Narasi
1056
0
Khittah Ulama: Pewaris Nabi, Sokoguru NKRI

Gelar warosatul anbiya sebagaimana disandang ulama bukanlah hal sepele. Hal itubermakna bahwa ulama ialah tumpuan dan sandaran umat dalam hal keagamaan dan sosial setelah pintu kenabian ditutup. Di masa kenabian, segala persoalan umat bisa dikonsultasikan langsung dengan nabi sebagai pemimpin spiritual dan sosial. Pasca era kenabian, semua persoalan keagamaan dan sosial yang dihadapi umat lantas menjadi tanggung jawab ulama. Maka, sungguh mulia kedudukan ulama dan tidak semua individu bisa mencapai derajat tersebut.

Tidak hanya bermodalkan kecakapan intelektual (alim) dan menguasai cabang-cabang ilmu agama seperti Bahasa Arab, Fiqih, Tasawuf dan sebagainya. Lebih dari itu, menjadi ulama juga membutuhkan modal sosial, yakni kualitas moral yang menyerupai akhlak para nabi terdahulu. Pendek kata, para ulama ialah agen keagamaan dan sosial yang meneruskan jejak perjuangan Nabi dalam menyebarkan konsep tauhid, mensyiarkan Islam dan membangun sistem sosial-politik yang adil, egaliter dan damai. Inilah khittah alias garis besar perjuangan para ulama, yakni meneruskan perjuangan para nabi dalam membangun akhlak sekaligus peradaban manusia yang sesuai dengan apa yang dititahkan Allah.

Dalam konteks Indonesia, khittah ulama mengalami semacam diversifikasi makna yakni tidak sekedar menjadi penerus para nabi dalam konteks keagamaan, namun juga menjadi pilar pelindung NKRI dalam konteks kebangsaan. Ulama memiliki jejak panjang dalam sejarah berdirinya NKRI. Sejak embrio NKRI ini masih bernama Nusantara, para ulama telah menyemai bibit-bibit paradigma kebangsaan (nasionalisme) yang kelak menjadi modal sosial kita dalam merebut kemerdekaan dari tangan kolonialis. Tidak hanya itu, para ulama juga terlibat langsung dalam perjuangan melawan penjajah. Peran-peran strategis seperti itu terus dipertahankan ulama hingga era kemerdekaan dan era Reformasi saat ini.

Memasuki lembaran baru tahun 2021 tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia, tidak bisa dibilang ringan. Tahun-tahun sebelumnya, bangsa ini didera oleh berbagai residu persoalan yang disisakan oleh panasnya pertarungan politik praktis, baik di level nasional maupun lokal. Praktik politik hitam (black politic) terutama politik identitas dan politisasi agama harus diakui telah menjadi ancaman serius bagi keutuhan bangsa. Politik identitas yang mengeksploitasi perbedaaan agama, etnis dan ras harus diakui tidak hanya mencederai demokrasi namun potensial merobek eksistensi bangsa dari dalam. Politik identitas, tidak diragukan telah menjadi benalu sekaligus patologi sosial bagi masyarakat. Ironisnya lagi, tidak sedikit sosok yang menyandang gelar ulama justru menjadi aktor yang mengendorse gerakan politik identitas tersebut.

Fenomena keterlibatan ulama dalam gerakan politik identitas itu bisa kita lihat dari merebaknya aksi demonstrasi jalanan bertajuk aksi bela ulama, aksi bela Islam atau aksi bela agama yang terjadi di momentum Pilkada DKI 2017 lalu. Momen itulah yang lantas melahirkan sejumlah ormas seperti GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI) dan PA 212 (Persaudaraan Alumni 212) yang sepak terjang dan manuvernya selama ini lebih banyak menimbulkan kegaduhan. Di tangan ulama dan ormas yang gemar menggaungkan politik identitas, Islam kerap dijadikan sebagai komoditas politik sekaligus senjata menyerang lawan politiknya. Fatalnya lagi, mereka bahkan tidak segan memelintir ajaran Islam untuk mendeskreditkan pemerintahan yang sah.

Ulama Sebagai Tonggak Tegaknya NKRI

Beberapa tahun belakangan kita telah menyaksikan sendiri bagaimana politik identitas dan politisasi Islam telah menjelma mencabik-cabik kohesivitas sosial kita. Memasuki tahun yang baru ini ialah momen tepat untuk menegaskan kembali khittah ulama sebagai pewaris para nabi sekaligus sokoguru NKRI. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sokoguru dimaknai dalam dua pengertian, yakni “tiang tengah” dan “turus (tonggak) negeri”. Definisi sokoguru ini sangat relevan untuk dipakai dalam konteks relasi ulama dan NKRI. Sebagai entitas yang berperan dan berjasa besar bagi bangsa Indonesia sejak era kolonialisme hingga Reformasi, tidak diragukan lagi bahwa ulama ialah sokoguru NKRI.

Mereka (ulama) ialah tiang pancang yang meyangga NKRI agar tetap tegak. Mereka juga menjadi turus alias tonggak yang memastikan NKRI tidak goyah sedikit pun meski diterpa badai ancaman baik dari internal maupun eksternal. Dalam upaya menegaskan kembali khittah-nya sebagai warosatul anbiya sekaligus sokoguru NKRI ini, para ulama idealnya melepaskan diri dari jerat konstelasi politik elektoral yang penuh intrik dan jebakan. Ini tidak lantas berarti bahwa politik ialah wilayah yang diharamkan bagi para ulama. Dalam sistem demokrasi sebagaimana diterapkan di Indonesia saat ini, semua entitas memiliki hak untuk berpolitik, tidak terkecuali ulama. Namun, peran strategis dan kedudukan mulia yang disandang ulama kiranya tidak pantas untuk digadaikan atau ditukar dengan kekuasaan, apalagi jika kekuasaan itu diraih dengan jalan politik kotor, seperti politik identitas atau politisasi agama. Para ulama harus naik kelas dari politik praktis-elektoral yang berorientasi kekuasaan ke politik kebangsaan yang berorientasi kemanusiaan.

Tidak hanya itu, dalam perspektif yang lebih luas, para ulama juga harus mau dan mampu mendekonstruksi alias merombak ulang paradigma berpikirnya, terutama dalam hal relasi keindonesiaan dan keislaman. Para ulama harus membangun kesadaran dan persepsi yang sama bahwa identitas keislaman dan keindonesiaan ialah dua hal yang menyatu dan tidak perlu dipertentangkan. Kesadaran akan pentingnya mempertautkan identitas keislaman dan keindonesiaan dalam satu titik kesepahaman akan melahirkan cara pandang bahwa membela negara ialah bagian dari membela agama (Islam) dan membela NKRI ialah bagian dari mewarisi perjuangan Nabi.

Facebook Comments