Minggu 20 Oktober 2019 lalu adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Di hari itu, pasangan presiden dan wakil presiden (wapres) periode 2019-2024 resmi dilantik. Pelantikan berlangsung lancar dan khidmat. Disaksikan anggota DPR/MPR, perwakilan negara-negara sahabat, dan tamu undangan lainnya. Tentunya juga disaksikan oleh jutaaan masyarakat Indonesia melalui televisi atau layanan streaming internet.
Setelah melalui tahapan Pemilihan Presiden (Pilpes) 2019 yang panjang, berliku dan diwarnai panasnya suhu politik, akhirnya kita memiliki presiden dan wapres baru. Bagi Presiden Joko Widodo, ini adalah periode keduanya sebagai presiden. Sedangkan bagi Kiai Ma’ruf, ini adalah pengalaman pertamanya menjabat wapres. Publik berharap, pasangan Jokowi dan Kiai Ma’ruf mampu bekerja maksimal mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan keamanan yang menjadi prioritas pembangunan nasional.
Naiknya Kiai Ma’ruf Amin ke kursi wapres patut kita sambut dengan antusias. Untuk kedua kalinya setelah Presiden Abdurrahman Wahid kita memiliki pemimpin berlatarbelakang tokoh agama, dan dikenal memiliki pemikiran keagamaan yang moderat. Identitas sebagai tokoh Islam moderat yang menempel di Kiai Ma’ruf ini tentu sangat penting. Mengingat Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan berupa berkembangnya radikalisme keagamaan yang mengancam eksistensi bangsa dan negara.
Pasca Reformasi 1998, kita menyaksikan bagaimana kekuatan Islam garis keras mulai menunjukkan dominasinya. Di masa Orde Baru, corak Islam politis-ideologis nyaris tidak mendapatkan tempat di ruang publik. Ruang gerak mereka dibatasi oleh kebijakan semi-otoriter rezim Orde Baru.
Baca juga :Revolusi Santri Melawan Pembajak Agama
Berakhirnya rezim Orde Baru yang menandai berakhirnya pemberlakuan asas tunggal Pancasila menjadi momentum kebangkitan kelompok Islam garis keras. Mereka mulai berani menampilkan diri di ruang publik dan mengampanyekan model keislamanan yang bercorak konservatif-radikal. Hal ini dalam banyak hal telah mengubah lanskap sosial-keagamaan masyarakat Indonesia.
Relasi antaragama yang sebelumnya terbangun kokoh, perlahan mulai memudar. Intoleransi atas nama agama terjadi di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Pada saat yang sama, Indonesia juga menghadapi arus deras gelombang gerakan Islam trans-nasional yang mengusung ideologi khilafah islamiyyah. Agenda gerakan Islam trans-nasional ini ialah mengganti ideologi Pancasila dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi kekhalifahan Islam.
Penetrasi gerakan Islam trans-nasional tidak dapat dipandang sepele. Mereka berhasil masuk ke dalam kelompok masyarakat dengan berbagai macam latar belakang pendidikan, profesi dan status sosial. Bisa dibilang, Indonesia saat ini berada dalam situasi darurat radikalisme. Yakni satu kondisi ketika paham radikal telah menyebar ke seluruh elemen masyarakat, mulai dari kalangan intelektual, pegawai negeri sipil (PNS), kalangan selebritis, sampai kalangan militer.
Radikalisme keagamaan itu belakangan juga berkelindan dengan munculnya populisme Islam. Secara sederhana, populisme Islam dapat dimaknai sebagai sebuah gerakan politik yang berupaya mengeksploitasi sentimen keislaman untuk keuntungan elektoral. Populisme Islam di Indonesia mulai tampak sejak awal tahun 2014 dan memuncak pada gelaran Pemilihan Kepala Daerah (PIlkada) DKI Jakarta pada tahun 2017.
Demonstrasi massa dalam jumlah banyak dan dilakukan berulang-ulang menandai bahwa ada upaya terstruktur dan sistematis untuk menjadikan sentimen keislaman sebagai komoditas politik meraih kekuasaan. Praktik yang demikian itu jelas bertolak belakang dengan cita-cita ideal kebangsaan kita. Negara ini didirikan oleh para Bapak Bangsa dengan semangat persatuan dan kesetaraan. NKRI adalah payung besar yang menaungi seluruh kelompok agama, suku dan ras yang berbeda-beda. Maka, segala sesuatu yang menjadi ancaman bagi kebinekaan, termasuk radikalisme agama dan populisme Islam, tentunya juga merupakan ancaman bagi Indonesia.
Mengoptimalkan Pendekatan Agama dan Budaya
Dalam situasi yang demikian genting inilah, naiknya Kiai Ma’ruf Amin sebagai wapres mendampingi Jokowi membawa secercah harapan bagi upaya pemberantasan radikalisme. Sejak kemunculannya pada Pilpres 2014, Jokowi selalu identik dengan corak Islam moderat. Ia dekat dengan tokoh-tokoh Islam moderat dan selalu menunjukkan komitmennya untuk mengembangkan Islam moderat di Indonesia.
Kini, di periode kedunya, ia didampingi oleh Kiai Ma’ruf Amin. Seperti kita ketahui, Kiai Ma’ruf adalah seoarang ulama besar, lama berkecimpung di Majelis Ulama Indonesia (MUI), menjabat Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus Guru Besar bidang Ekonomi Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Kiai Ma’ruf Amin memiliki reputasi sebagai seorang ulama yang kharismatik, berpikiran moderat dan berkomitmen pada nilai-nilai keindonesiaan.
Keberadaan Kiai Ma’ruf Amin di kursi wapres kita harapkan mampu menjadi lokomotif yang menarik gerbong Islam moderat. Kita tentu berharap kebijakan-kebijakan yang diambilnya sebagai wakil presiden mampu mendorong pengembangan Islam moderat sekaligus menghalau anasir radikal keagamaan dan populisme Islam. Dengan kewenangan dan otoritas yang dimilikinya sebagai seorang wakil presiden, kita yakin dia dapat mewujudkan harapan publik tersebut. Terlebih dalam banyak kesempatan ia selalu mengatakan bahwa salah satu fokusnya di pemerintahan ialah menghalau gerakan radikal keagamaan.
Pekerjaan berat sekaligus urgen yang menanti Kiai Ma’ruf ialah memberantas anasir radikalisme di tubuh pemerintahan. Ini penting dilakukan mengingat penyebaran radikalisme di kalangan pegawai pemerintah sudah sedemikian akut. Banyak riset menunjukkan bahwa instansi pemerintah, BUMN, sekolah sampai universitas justru menjadi sarang penyebaran radikalisme.
Perlu ada aturan tegas dan mengikat agar aparatur pemerintah tidak menyalahi sumpah jabatannya dan setia pada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Sebagai wakil presiden, Kiai Ma’ruf tentu memiliki kewenangan dan kekuatan untuk menginisiasi munculnya aturan tersebut. Ke depan kita berharap instansi pemerintah tidak lagi memberikan ruang bagi kelompok radikal untuk menyebarkan paham-paham yang bertentangan dengan dasar keindonesiaan kita.
Selain itu, Kiai Ma’ruf Amin juga diharapkan mampu merevitalisasi arah gerakan pemberantasan radikalisme dengan mengoptimalkan pendekatan agama dan budaya. Selama ini, gerakan pemberantasan radikalisme lebih banyak bertumpu pada pendekatan hukum dan militer. Hal ini memang tidak sepenuhnya salah, namun harus diakui tidak menyelesaikan problem radikalisme hingga ke akarnya.
Pendekatan hukum dan militerisme dalam banyak hal justru membuat gerakan radikal kian subur dan berkembang biak. Oleh karena itu, kita perlu mengoptimalkan strategi kontra radikalisasi dengan pendekatan agama dan budaya. Sebagai ketua umum (non-aktif) MUI dan Rais Aam PBNU, kiai Ma’ruf Amin tentu memiliki modal sosial untuk melibatkan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan untuk berperan aktif terlibat dalam strategi kontra-radikalisasi.
Selama ini, sejumlah ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah memang telah melakukan upaya menangkal radikalisme di lingkup internalnya. Namun, upaya itu acapkali terkesan parsial dan tidak komprehensif. Untuk itu diperlukan satu sinergi antar-ormas Islam dalam melakukan strategi kontra-radikalisasi agar dampaknya lebih luas dan menjangkau seluruh kelompok muslim.
Figur ketokohan seorang Kiai Ma’ruf Amin yang disegani semua kalangan dan kelompok Islam diharapkan mampu menjembatani jarak antar-ormas Islam. Kita berharap, ketokohan Kiai Ma’ruf dapat menyatukan seluruh ormas Islam besar di Indonesia dalam satu barisan melawan radikalisme agama. Arkian, kita tentu patut berharap lebih pada sosok Kiai Ma’ruf bahwa selama lima tahun ke depan, ia mampu menghalau anasir radikal keagamaan dan mengembalikan wajah Islam Indonesia sesuai dengan corak awalnya, yakni keislaman yang moderat, toleran, adaptif pada tradisi lokal dan setia pada NKRI.