Kolaborasi Media dan Agama Padamkan Bara Api Disinformasi

Kolaborasi Media dan Agama Padamkan Bara Api Disinformasi

- in Narasi
67
0
Kolaborasi Media dan Agama Padamkan Bara Api Disinformasi

Tanpa Nabi Muhammad SAW, Islam, sebagai agama, tidak akan pernah turun ke dunia. Tanpa peran Jibril, al-Alaq: 1-5 tidak akan pernah sampai pada Rasulullah. Tanpa Ulama yang berkelana, kita di Indonesia barangkali tidak akan pernah merasakan nikmatnya Islam dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pengertian ini, Nabi SAW, Malaikat Jibril, dan para Ulama adalah medium dalam konteksnya masing-masing.

Tulisan pendek ini mengkaji perjumpaan agama dan media dari sudut pandang yang lebih luas. Seorang sarjana Media, Komunikasi, dan Agama asal Denmark, Stig Hjarvard (2013) merumuskan semacam pemetaan relasi agama dan media dalam ruang publik. Menurut Hjarvard, relasi agama dan media bisa didudukkan dalam tiga formasi; agama dalam bingkai jurnalisme, agama dalam instrumen hiburan dan ekspresi budaya, dan agama dalam media keagamaan.

Melalui tesis Hjarvard, berdasar ketiga hubungan tersebut, peran media tidak hanya menjadi penyampai pesan atau konten keagamaan, namun berfungsi merekonstruksi wajah agama di ruang publik. Tiga pertalian tersebut adalah kemungkinan kolaborasi agama dan media yang bisa dihadirkan di ruang publik, itu yang setidaknya dijelaskan oleh Stig Hjarvard. Tetapi tulisan ini membaca lebih jauh soal bagaimana satu atau ketiga relasi itu memungkinkan lahirnya check & re-check informasi atau justru memperburuk peredaran disinformasi.

Agama dalam Media Keagamaan

Jenis hubungan ini memposisikan ruang media dalam internal lembaga-lembaga keagamaan. Lingkup media ini dapat mencakup buku dan jurnal keagamaan, surat kabar, saluran radio, televisi, halamanweb, bahkan media sosial milik sebuah lembaga keagamaan tertentu yang ditujukan untuk pembaca agama tersebut. Kongsi jenis ini mungkin bertujuan untuk “menjangkau” publik, utamanya dalam komunitas kepercayaan mereka sendiri. Hjarvard menyebut tandem ini dengan “religious media”.

Religious media, menurut Hjarvard, adalah praktik media yang dikendalikan dan dioperasikan oleh aktor-aktor agama di ruang publik. Media Islam konservatif yang mencerminkan hubungan ini, misalnya, situsrumaysho.commilik Muhammad Abduh Tuasikal.Rumaysho.comberfungsi sebagai media yang menyebarkan nilai-nilai Islam versi Tuasikal kepada audiens, utamanya umat Muslim konservatif. Atau muslimmedianews.com yang terafiliasi kepada Hizbut Tahrir Indonesia.

Dari industri YouTube, kita bisa menemukan OFFICIAL TVMUI, yaitu sebuah platform digital berbasis audio visual resmi milik Majelis Ulama Indonesia. Saluran YouTube resmi MUI tersebut merupakan media yang memuat pesan-pesan MUI untuk menjangkau pasar digital, utamanya Muslim Indonesia di media sosial.

Hjarvard mengungkap bahwa persinggungan agama dan media pada saat ini tidak sekedar menampilkan mediasi agama, melainkan juga apa yang disebut dengan mediatisasi agama. Jika mediasi agama hanya menyuguhkan media sebagai jembatan antara audiens dengan instititusi keagamaan, mediatisasi agama beranjak lebih dalam di mana media menjadi sumber penting pembawa ideologi yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak dan menuntut mereka untuk menyesuaikan diri dengan logika media.

Dalam pengertian ini, kuasa institusi agama yang membawahi media lebih dominan sehingga upaya untuk mengontrol wacana masih relatif sulit. Media-media seperti muslimahnews.com, mustanir.net memberikan wacana radikal terorisme yang sulit dikonfirmasi kebenarannya. Respon pada tataran ini adalah melakukan upaya kontra narasi yang terukur bukan untuk meng-counter medianya, tetapi pemahaman agama yang menjadi bahan bakar media.

Agama Dalam Bingkai Jurnalisme

Ranah jurnalistik di sini berarti peliputan yang tidak melulu merujuk pada norma-norma agama. Dalam ranah ini, suatu media memosisikan diri di tengah-tengah khalayak sebagai agen utama, dan audiens sebagai klien. Relasi ini juga bisa disebut dengan ‘jurnalisme agama’. Ranah jurnalisme ini membawa agama ke dalam ruang publik politik sekaligus menyaratkan agama untuk tunduk pada paradigma dan ideologi jurnalisme tersebut.

Relasi ini secara sederhana tercermin dari bagaimana media massa memberitakan tentang persekusi yang sering kali dialami oleh komunitas Kristen. Kasus pelarangan hak-hak ibadah komunitas Kristen sering dibingkai media sebagai pengkhianatan terhadap kebebasan beribadah dan berkeyakinan.

Media dalam pengertian ini tidak mendompleng pada satu nilai normatif tertentu. Jurnalisme ini merujuk pada tata nilai “sekuler” yang bermuatan hak-hak kemanusiaan sehingga konten keagamaan dapat dipublikasi melalui perspektif yang lebih moderat dan progresif. Jenis hubungan ini adalah yang paling cocok diterapkan dalam konteks negara bangsa berdasarkan demokrasi deliberatif.

Jurnalisme ini berfungsi sebagai penyeimbang narasi, atau dalam tataran tertentu mengklarifikasi, distorsi agama yang mungkin keluar dari corong religious media. Tulisan ini tidak mengatakan bahwa religious media akan selalu melahirkan distorsi. Hanya media yang berpayung pada institusi keagamaan perlu ditemani sehingga tidak menyimpang. Peluang memerangi disinformasi harusnya datang dari relasi agama dalam bingkai jurnalisme ini.

Agama dalam Instrumen Budaya

Relasi ini mengasumsikan bahwa media melalui berbagai simbol yang secara implisit memuat nilai agama, secara sengaja atau tidak, memperkuat kehadiran agama dalam budaya dan masyarakat. Tentu saja, para pekerja media ini harus mempunyai kesadaran tentang misi itu. Kesadaran tersebut untuk menjamin bahwa simbol religiositas yang dibawa ke ranah media membawa pesan dan nilai.

Aktor-aktor yang melibatkan diri dengan agama dalam bidang ini adalah mereka yang bergerak di industri budaya dan hiburan, misalnya penulis fiksi, pembuat film, musisi, produser hiburan di televisi, desainer game komputer atau orang yang bergerak di industri kreatif. Lingkup ini juga mencakup ekspresi budaya klasik terutama yang berkaitan dengan budaya populer yang terlihat di majalah gaya hidup, serial televisi, novel, dan film.

Dalam bahasa lain, media bergerak berkelindan dengan nilai-nilai agama untuk sampai kepada audiens. Misalnya film “Sang Pencerah”, menceritakan seorang tokoh Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, dan film “Sang Kiai”, menceritakan seorang tokoh NU, KH. Hasyim Asy’ari. Pengalaman Islam ini pun tergambar dalam film Indonesia.

Masing-masing film di atas muncul ke tengah masyarakat sembari menyampaikan pesan berupa realitas wajah-wajah Islam di Indonesia. Melalui “Sang Pencerah”, audiens “dipaksa” memahami pergolakan pemikiran yang terjadi antara KH. Ahmad Dahlan dan komunitas Kraton Yogyakarta dalam mewujudkan nilai-nilai yang kemudian terinstitusionalisasi dalam wujud Muhammadiyah.

Ikatan yang ketiga ini lebih pada bagaimana diseminasi agama menjangkau pasar yang lebih populis. Asumsinya, sebagian besar nilai-nilai agama yang masuk melalui instrumen budaya adalah nilai yang mapan di tengah masyarakat. Nilai yang mapan bisa diterjemahkan sebagai nilai mainstream yang membersamai Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini.

Dalam konteks Islam, nilai Islam moderat yang tercermin dalam Islam Nusantara menjadi referensi utama penyebaran agama dalam instrumen budaya. Dalam kaitannya dengan tiga hubungan ala Hjarvard ini, pertalian ketiga ini bisa menguatkan nilai-nilai agama yang moderat di ruang publik bekerja sama dengan agama dalam bingkai jurnalistik yang dibincag sebelumnya.

Facebook Comments