Benih radikalisme selain ancaman tersebsar NKRI juga membahayakan kehidupan dunia secara global. Sebab, perdamaian dunia bisa gagal total ketika kaum ekstrimis sudah merajalela. Berangkat dari sini, seluruh negara tanpa terkecuali Indonesia menabuh gendering melawan radikalisme dan segala hal yang terkait dengannya, termasuk benih-benih kemunculannya.
Abdul Muiz Ghazali (2017), dalam artikel sebelumnya sudah menyinggung bahwa lahirnya radikalisme agama, salah satunya, dipicu oleh keinginan yang menggebu untuk menekuni agama hingga kebablasan. Pemahaman agama yang kaku dan cenderung tertutup dalam melihat kontekstualisasai nilai agama menjadi persoalan selanjutnya. Alhasil, pemahaman yang kurang komprehensif itu melahirkan sebuah misi gerakan yang mengutamakan kekerasan dalam mewujudkan tujuannya.
Secara sederhanya, radikalisme agama dimaknai sebagai paham atau aliran yang keras dalam suatu ajaran agama tertentu. Hasani dan naipospos (2011) mengatakan bahwa radikalisme adalah paham yang tidak menghargai pendapat orang/kelompok lain dan lebih engutakan kekerasan dalam mencari solusi atas sebuah persoalan. Lebih jauh lagi, Susanti (2012) menyebutkan bahwa radikalisme agama mempunyai empat karakter: intoleransi, fanatik, eksklusif, dan sikap yang revolusioner.
Memang, radikalisme tidak selamanya negatif. Sebab, dalam konteks tertentu, radikalisme terkadang dibutuhkan, tentunya dengan kapasitas dan ukuran yang pas. Misalnya, ketika dalam hal terjepit atau pihak lawan lebih dahulu menyerang, maka cara-cara kekerasan dapat dibenarkan. Namun, tidak sedikit yang menyalahkan atau salah dalam mengekspresikan dan merealisasikan ide-ide kelompok ini. Nah, radikalisme dalam hal ini lebih menyoroti pada mdoel yang terakhir.
Hasil survei Wahid Foundation pada kurun waktu Maret sampai April tahun lalu, sebagaimana dikutip persis dari Kompas.com, menyebutkan, Dari total 1.520 responden sebanyak 59,9 persen memiliki kelompok yang dibenci. Kelompok yang dibenci meliputi mereka yang berlatarbelakang agama non-Muslim, kelompok tionghoa, komunis, dan selainnya. Dari jumlah 59,9 persen itu, sebanyak 92,2 persen tak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia. Sementara itu, 82,4 persen mengambil sikap tidak rela kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga. Dan hanya sebanyak 7,7 persen yang bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan dan sebanyak 0,4 persen justru pernah melakukan tindakan radikal. Meski hanya 7,7 persen, jika dikalkulasi, maka ada sekitar 11 juta orang yang bersedia bertindak radikal (Kompas.com, 01/8/2016).
Dalam konteks keindonesia, dimana kondisi masyarakatnya yang plural dan heterogen, radikalisme menjadi suatu paham yang mudah berkembang. Bahkan juga mudah tersulut oleh isu atau masalah yang sebenarnya remeh-temeh. Oleh sebab itu, upaya pemcegahan sejak dini menuntut untu terus digelorakan.
Sebelum berbicara jauh tentang bagaimana cara membasmi benih radikalisme, alangkah lebih baiknya kita mengetahui bagaimana atau apa faktor penyebab lahirnya radikalisme. Setidaknya terdapat beberapa faktor penyebab.
Pertama, Islamisasi yang tertutup. Saat ini, terutama di Indonesia pasca reformasi, telah muncul berbagai gerakan keagamaan, diantaranya gerakan radikal. Gerakan ini dakwahnya secara tertutup, di Masjid-masjid yang dikuasasi dan menjadi basis gerakan mereka. Cara dakwah atau penyebaran kelompok ini melalui penerapan ideologi. Diantara ideologi yang mereka bangun adalah menolak Pancasila sebagai dasar negara dan menggantinya dengan syariat Islam. Terkait hal ini, Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dilakukan pada kurun waktu Oktober 2010 hingga januari 2011 mengungkapkan, 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi (Bbc.com, 18/02/2016).
Proses islamisasi secara ideologi ini targetnya adalah para pemuda. Pemuda yang kebanyakan masih dalam tahap pencarian menjadi sasaran empuk untuk “mencuci otak” mereka dan mempengaruhi. Sekali lagi, prosesnya secara tertutup. Dari pemahaman atau hasil islamisasi tersebut akan muncul paham intoleran. Jika sudah demikian, maka lahirlah kekerasan dan lain sebagainya terhadap kelompok lain dan yang berseberangan dengan mereka.
Kedua, menganut paham di luar Indonesia. Harus diakui dan diketahui bahwa Indonesia adalah negara-bangsa yang unik. Salah satu keunikannya adalah penghuninya yang memiliki beraneka ragam budaya, agama, ras, dan golongan. Maka dari itu, dasar negara yang paling cocok untuk nenegri ini adalah Pancasila, bukan yang lainnya. Hal inilah yang disadari oleh founding father pun tokoh Islam pada masa dahulu. Jadi, relasi agama dan negara dalam konteks Indonesia adalah simbiosis mutualisme, saling melangkapi tetapi bukan menjadikan agama sebagai dasar negara, melainkan agama turut serta membangun bangsa-negara Indonesia. Inilah paham Islam nusantara.
Maka, paham selain itu, khilafah, liberal, dan komunis, misalnya, sama sekali tidak cocok dengan kondisi dan karakter bangsa Indonesia. Jika paham-paham ini diterapkan, bukan lagi tidak cocok, melainkan sangat berpotensi munculnya sebuah ekses negatif yang berakhir pada perpecahan. Radikalisme merupakan gerakan diluar Indonesia.
Ketiga, marjinalisasi umat islam ditataran politik internasional. Umar (2010) menjelaskan bahwa adanya hegemoni Amerika Serikat atas umat Islam menjadikan muncul kesadaran dari sebagian umat islam untuk mengembalikan daulat politik agama.
Langkah Setrategis
Memperhatikan sekaligus menelisik berbagai faktor penyebab radikalisme muncul di Indonesia, maka upaya pembasmian yang komprehensif menjadi agenda penting yang tidak bisa dinego lagi. Untuk itu, setidaknya terdapat beberapa cara dalam membasmi paham radikal yang sampai saat ini belum juga mati.
Pertama, menguatkan peran ulama dan semua elemen masyarakat. Ulama menjadi garda terdepan dalam membasmi radikalisme. Sebab, ia mempunyai umat dan pengaruh besar dalam masyarakat. Sementara itu, masyarakat harus cerdas dan kritis terhadap paham-paham yang mengancam kebhinekaan dan NKRI. Bersamaan dengan itu, para da’i harus gencar melakukan penyuluhan terhadap masyarakat, terutama pemuda yang secara psikologi masih dalam tahap transisi menuju proses kedewasaan dan kemantaban dalam beragama.
Kedua, membumikan Islam yang berkesesuaian dengan kondisi Indonesia. Islam, terutama dalam kaitannya bentuk negara, tidak memiliki bentuk yang pasti. Pada zaman Nabi, pemerintahan bersifat demokratis. Sementara setelah itu bersifat monarki dan ada juga yang khilafah. Dan dalam Alquran pun tidak disebutkan secara rinci bentuk pemerintahan Islam itu bagaimana. Dengan demikian, islam sangat luweh, menyesuaikan keadaan dimana Islam itu berkembang. Dalam konteks Indonesia, khilafah jelas kurang cocok. Maka, memaksakan bentuk khilafah bukanlah cara yang cerdas. Jadi, sekalipun Indonesia tidak khilafah, nyatanya Islam emmpunyai andil terbesar dalam membangun bangsa ini. UU perkawinan merupakan ejawantah nilai-nilai Islam. Jadi, tidak perlu membentuk khilafah.
Terakhir, mementengi generasi penerus dengan pehaman yang kaffah. Generasi saat ini banyak yang terjebak oleh hiruk-pikuk dunia luar dan dangkal dalam sejarah berdirinya Indonesia. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kekerasan yang terjadi di Indonesia merupakan kasus lama. Hanya 10 persen merupakan kasus baru. Ini menunjukkan perlunya edukasi pada generasi baru dengan pemahaman keindonesiaa dan keislaman secra konprehensif.
Dengan cara-cara diatas, dan tentunya melibatkan semua elemen, baik ulama, pemerintah maupun masyarakat, maka benih-benih radikalisme dapat dibasmi sejak dini. Jadi, fokus kita saat ini adalah mengedukasi generasi muda dengan pemahaman dan karakter keindonesiaan yang benar dan holistik.