Memuliakan Ulama Penyejuk, Pengayom dan Pemersatu Bangsa

Memuliakan Ulama Penyejuk, Pengayom dan Pemersatu Bangsa

- in Narasi
2245
1
Memuliakan Ulama Penyejuk, Pengayom dan Pemersatu Bangsa

Saat ini ulama seperti menjadi komoditas politik. Bukan agama saja, justru ulama yang seharusnya menjadi lokomotif beragama justru banyak diintervensi oleh dunia politik praktis. Nampaknya para politikus sadar betul pengaruh dan legitimasi ulama, sehingga memanfaatkan ulama yang memegang otoritas pemahaman agama untuk kepentingan politik praktis.

Tidak heran perbedaan antara ulama satu dengan lainnya yang harusnya menjadi rahmat justru sirna. Sebab bisa jadi karena masuk dalam kubangan politik praktis ajaran-ajaran agama didasarkan hanya untuk kepentingan politik. Menyerang, merendahkan dan membuat provokasi terhadap pihak lain yang berbeda kubu. Bukan mengajarkan ajaran-ajaran agama yang murni untuk kepentingan masyarakat.

Ditambah lagi dalam pandangan Mbah Mus (Gus Mus), media pun memberitakan ulama-ulama pilihan media. Media mem-framing ajaran-ajaran agama yang pantas diberitakan kepada publik. Tentu sesuai kepentingan media. Hal ini dapat mendistori ajaran-ajaran agama itu sendiri. Sederhananya media mebentuk ulama. Siapapun dicap ulama, asal pandai bicara soal agama tanpa mengetahui latar belakang keilmuan dan akhlaknya. Maka jangan heran bila justru terjadi malpraktik dalam beragama.

Melihat kondisi realita yang demikian bukankah masyarakat akan menjadi bingung? Kehidupan ini sudah susah dan lelah, ke mana lagi masyarakat dapat mendapat penyejuk dan pendamai jiwa jika ulama-ulama sudah tidak mau mengabdi pada masyarakat. Masyarakat butuh bimbingan dan siaraman rohani. Bahkan citra buruk terkait ulama diperparah dengan adanya ulama bentukan media.

Baca juga :Ulama sebagai Pilar Penjaga Kerukunan Bersosial

Imbasnya masyarakat harus selektif dalam memilih ulama untuk dijadikan panutan dan dalam memuliakan ulama itu sendiri. Bila melihat realitas ulama yang sedang menjamur saat ini, di mana ulama punya kepentingan politik praktis dan ulama hasil konstruk media, masyarakat hendaknya hati-hati. Demikian dalam memuliakannya. Muliakan ulama yang benar-benar takut kepada Allah, ilmu agamanya mendalam, berakhak mulia dan mau mengabdi demi kepentingan agama dan masyarakat.

Persoalannya di era kebebasan berpendapat dan banjir informasi ini, ulama-ulama yang benar-benar ulama justru jarang terekspos. Bahkan tidak jarang ulama-ulama yang seperti ini diterpa isu miring. Bahkan terjadi perang isu yang menjatuhkan marwah ulama-ulama tersebut.

Masyarakat harusnya jangan mudah percaya kepada isus-isu atau kabar miring yang ingin menjatuhkan atau menjelekkan ulama. Kita orang Timur termasuk orang yang sangat menghormati ulama. Karena ulama menjadi penerang dalam kegelapan. Penyejuk dalam panasnya hidup. Pendamai antara yang bertikai. Pemaaf bagi yang salah. Penunjuk jalan saat kita tak tahu harus ke mana.

Ulama juga menjadi paku bumi bagi persatuan bangsa dan negara. Terbukti para ulama banyak yang menjadi inisiator perdamaian, toleransi dan penjaga kearifan lokal bangsa dan negara. Dedikasi mereka orientasinya bukan lagi untuk kepentingan dunia semata melainkan karena kecintaan dan keikhlasan terhadap sesama manusia dan bangsa.

Alangkah dhzolimnya kita bila tak mau memuliakan ulama. Apalagi menghardik ulama. Dalam tradisi pesantren ada istilah sami’na wa atho’na yang berarti kami mendengar dan kami taat. Orang-orang pesantren punya tradisi yang kental sekali yakni memuliakan ulama. Memuliakan ulama termasuk bagian dari memuliakan ilmu dan adab yang tinggi derajatnya.

Ulama termasuk guru kita dalam belajar agama, akhlak dan ilmu lainnya. Sedangan guru ialah salah satu macam dari orang tua. Dalam keterangan hadis Nabi ada tiga orang yang menjadi orang tua kita yang harus dimuliakan. Mereka ialah orang tua biologis kita, orang tua istri kita, dan guru kita. Maka kita harus memulikan ulama.

Facebook Comments