Lembaga Survey Indonesia (LSI) Denny JA merilis temuannya di lapangan, bahwa masyarakat yang pro Pancasila kian menurun. Pada tahun 2005, masyarakat pro Pancasila mencapai 85,2 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. 13 tahun kemudian, masyarakat pro Pancasila menurun sampai ke titik 75,3 persen.
Data tersebut menunjukkan bahwa ada penurunan kepercayaan sementara orang terhadap ideologi Pancasila. Lunturnya kepercayaan ini tentu banyak faktornya, yang salah satunya adalah krisis multidimensional yang tengah melanda Indonesia. Bagi sebagian kalangan yang sejak awal tiada niatan baik untuk mempertahankan negara-bangsa Indonesia, melihat krisis ini sebagai buntut dari tidak diberlakukannya hukum Islam di negeri ini. Dasar negara, yang berupa Pancasila dan UUD 45 dianggap tidak merepresentasikan ajaran-ajaran Islam, justru amat bertentangan dengan Islam. Mereka lupa bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai universal, yang tentu juga bersesuaian dengan semangat agama Islam.
Kita tentu tidak bisa menyalahkan masyarakat yang tidak pro Pancasila. Penolakan mereka atas dasar negara-bangsa Indonesia tidak murni kesalahan mereka, melainkan ada faktor eksternal yang mempengaruhinya. Gerakan radikalisme-terorisme memiliki andil besar dalam membentuk pribadi warga negara menjadi intoleran dan memandang Pancasila bertentangan dengan agama yang mereka anut.
Masyarakat boleh berbangga hati dengan beberapa capaian Densus 88 dalam mencegah dan menangani teror di berbagai pelosok negeri –yang muncul dari ideologi garis keras. Akan tetapi, langkah tersebut tidak kemudian mampu memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya. Perumusan UU Antiterorisme pun tidak cukup untuk memangkas mata rantai terorisme. Upaya memberantas terorisme secara yuridis saja tidak cukup, karena tindakan tersebut ibarat menunggu tumbuhnya terorisme. Diberantas satu, tumbuh seribu.
Melalui Pendidikan Pancasila
Pancasila dikatakan berdaulat ketika kehidupan negara-bangsa Indonesia selaras dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Pancasila menjadi laku hidup warga negara. Terutama kaitannya dengan interaksi antar sesama, Pancasila sangat melindungi hak asasi warga negara dan perlakuan adil tanpa pandang bulu. Jika hal ini bisa meresap ke berbagai sendi kehidupan, tentu Indonesia bisa menjadi negara-bangsa yang besar sekaligus berkarakter damai dan toleran.
Begitupun ketika berkaitan dengan upaya memberantas terorisme dan akar-akar gerakannya. Bahwa keberadaan Densus 88 sebagai detasemen khusus yang menangani terorisme itu perlu, tapi andil warga sipil juga amat diperlukan. Justru, keikutsertaan warga sipil dalam meredam aksi terorisme dinilai efektif, karena memungkinkan untuk melakukan pendekatan secara persuasif.
Sebagaimana diwartakan antaranews.com, bahwa cara yang cukup efektif untuk memberantas terorisme-radikalisme adalah dengan cara kontra narasi. Hal ini karena, motif teroris hari ini bukanlah semata-mata karena ekonomi, melainkan pemahaman keagamaan yang tercerabut dari akar historisnya. Kasus bom bunuh diri di Surabaya adalah contoh konkritnya, di mana para pelaku berasal dari keluarga yang berpunya.
Maka dari itu, diperlukan adanya upaya membumikan Pancasila dalam kehidupan masyarakat. Strategi yang paling efektif adalah melalui pendidikan. M. Thalib (2014) memiliki penjelasan yang bagus mengenai hakikat pendidik. Bahwa menurutnya, pendidik tak lain adalah diri kita sendiri. Sehingga, setiap manusia diharuskan untuk mendidik diri sendiri dulu, sebelum orang lain. Kita mesti bisa mendidik diri untuk mengejawantahkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita telah mampu mendidik diri sendiri, bisa dipastikan juga mampu mendidik orang lain.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, bahwa pendidikan berbeda dengan pengajaran. Barangkali, hal yang biasa dilakukan saat ini adalah “pengajaran Pancasila”, bukan “pendidikan Pancasila”. Karenanya, tidak membuahkan hasil yang optimal. Masih menurut M. Thalib, bahwa proses mendidik meliputi melatih, mengarahkan, dan mengontrol tingkah laku. Upaya untuk melatih diri dengan spirit Pancasila, mengarahkan diri dengan prinsip Pancasila, dan mengontrol tingkah laku dengan dasar Pancasila, amatlah perlu, untuk membentengi diri dari rayuan ideologi radikalisme-terorisme.
Adapun setelah kita bisa mendidik diri, maka selanjutnya adalah mendidik keluarga. Bagi seseorang yang telah berkeluarga, mesti memahami tugasnya untuk melatih, mengarahkan, dan mengontrol tingkah laku anggotanya. Jika mengacu pada penjelasan ini, tentu yang berkewajiban mendidik anak untuk lebih meresapi sila-sila Pancasila adalah keluarga. Orang tua lah yang mesti sadar bahwa dirinya merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Jika internalisasi Pancasila sudah terjadi semenjak dalam keluarga, maka generasi yang tumbuh kemudian menjadi kuat dan memiliki benteng untuk menepis radikalisme-terorisme.