Pendidikan adalah sarana efektif untuk membentuk manusia yang paripurna. Manusia yang mampu memahami hakekat kehidupan dan bisa berlaku baik di muka bumi. Manusia yang selalu memberikan solusi atas problem kemanusiaan. Manusia yang menjaga perdamaian dan menentang kekerasan. Tetapi kini kita melihat kenyataan yang berbicara lain. Pendidikan banyak dimanfaatkan untuk membentuk manusia-manusia picik dan intoleran. Pendidikan justru mencetak orang-orang yang gemar mengadakan kerusakan di muka bumi dan berbuat sewenang-wenang kepada pihak lain. Insan yang bertabiat kasar dan gemar memaki. Hal ini tentu bertentangan secara diametral dengan spirit pendidikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah kongkret untuk mengembalikan tujuan pendidikan pada jalur yang semestinya.
Salah satu isu penting yang perlu dibenahi adalah kurikulum pendidikan. Sebab kurikulum merupakan pedoman bagi proses kegiatan belajar-mengajar. Kurikulum yang baik akan menghasilkan peserta didik yang benar. Sementara kurikulum yan salah niscaya akan memproduksi peserta didik yang tidak sesuai harapan. Penyusunan kurikulum pun harus sensitif terhadap isu-isu keberagaman. Nilai-nilai toleransi dan pluralisme harus dimasukan ke dalamnya. Sementara nilai-nilai yang tidak menghargai perbedaan harus dihilangkan. Termasuk sikap merasa benar sendiri dan menganggap pihak lainnya salah. Kurikulum harus mampu membentuk peserta didik sebagai pribadi yang cerdas sekaligus berkarakter inklusif. Melihat perbedaan sebagai anugerah dan bukan bencana.
Selain itu, tampaknya kita perlu terus mempromosikan interreligious education (pendidikan antar-iman) sebagai upaya membuka cakrawala berpikir peserta didik. Di Indonesia, pendidikan agama biasanya menggunakan konsep monoreligius education. Maksudnya peserta didik hanya belajar tentang satu agama yang dianutnya saja sehingga tidak belajar ajaran agama lain. Pola pendidikan seperti ini akhirnya tidak memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengenal dan memahami ajaran agama orang lain. Sehingga berpotensi memunculkan ekslusivitas dalam menutup interaksinya dengan penganut agama yang berbeda. Tentu saja tujuan inti interreligious education bukan untuk menggoyahkan keyakinan dan membuat peserta didik berpindah keyakinan. Tujuannya sekedar memperkenalkan bahwa masing-masing agama memiliki jalan keselamatannya dan sama-sama mengajarkan tentang kebaikan.
Pendidikan multikulturalisme pun semakin urgen diajarkan kepada para siswa. Bikhu Parekh, dalam Rethingking Multiculturalims:Cultural Diversity and Political Theory, menyebutkan pendidikan multikultural adalah pendidikan yang bebas, dalam hal bebas dari prasangka dan bias etnis, dan kebebasan untuk mengeksplorasi dan belajar dari budaya dan perspektif dari orang yang berbeda (2002: 230). Model pendidikan ini penting sebab kita hidup di negara Indonesia yang memiliki kemajemukan yang sangat kental. Dimana identitas yang berbeda tersebar di berbagai penjuru wilayahnya. Murid yang telah mendapatkan nafas multikulturalisme niscaya bisa melihat perbedaan sebagai hal yang menyenangkan dan wajib diterima. Sebab tidak ada satu manusia pun yang bisa menghindari diri dari pihak lain yang berbeda dengannya. Kesadaran itu yang memicu perilaku santun dan menghormati orang di sekelilingnya.
Jika sistem pendidikan sudah diperbaiki, maka perhatian selanjutnya adalah pada tenaga pengajarnya. Sebagai pihak yang bertanggungjawab melakukan transfer pengetahuan, seorang guru dituntut untuk menyampaikan hal-hal positif dan kebaikan bagi anak didiknya. Hindari menyuguhkan muridnya dengan ajaran-ajaran yang memiliki aroma konflik dan permusuhan. Termasuk pesa-pesan radikalisme yang bertentangan dengan kemajemukan bangsa ini. Dan kejadian seperti ini pun sering terjadi. Misalnya pada Juli 2017, dua orang guru di Balikpapan, Kalimantan Timur, diduga mengajarkan paham anti Pancasila. Keduanya menentang keberadaan Pancasila sebagai dasar negara. Kita juga ingat pada September 2017, tersebar berita seorang anak yang tewas saat berada di Suriah dalam rangka berjuang untuk ISIS. Ternyata anak ini terpengaruh teman dan gurunya yang telah berangkat ke Suriah. Atau peristiwa terakhir, saat ada seorang anak SD di Jakarta yang menjadi bahan ejekan teman-temannya karena memiliki identitas yang berbeda. Meskipun hal ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada guru, tetapi pihak pendidik semestinya bisa mencegah agar peristiwa ini tidak terjadi. Salah satunya dengan mengajarkan pentingnya menghargai keberagaman di masyarakat.
Kita berharap, pendidikan di Indonesia dapat terus mengalami peningkatan. Pendidikan anti kekerasan harus ditekankan. Selain itu, pengelolaan keberagaman harus ditanamkan kepada peserta didik sehingga membentuk mereka sebagai pribadi dengan karakter inklusif.