Menghijrahkan Nalar; Dari Konservatif ke Moderat

Menghijrahkan Nalar; Dari Konservatif ke Moderat

- in Narasi
415
0
Menghijrahkan Nalar; Dari Konservatif ke Moderat

Makna hijrah dari masa ke masa kian mengalami degragasi alias pendangkalan atau kemerosotan. Bagaimana tidak? Hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah dari Mekkah ke Madinah merupakan peristiwa spiritual sekaligus yang memiliki makna mendalam. Sejarawan Philip K. Hitti menyebut bahwa peristiwa hijrah merupakan titik balik dakwah Islam yang memungkinan Nabi Muhammad mengubah lanskap keagamaan, sosial, dan politik masyarakat Arab kala itu.

Sayangnya sekarang, pemaknaan hijrah di kalangan muslim justru mengalami pendangkalan. Di satu sisi, ada sekelompok muslim yang menafsirkan hijrah secara simbolik yakni dengan mengadaptasi gaya hidup kearab-araban yang diklaim lebih islami ketimbang gaya hidup ala Indonesia atau Nusantara.

Di sisi lain, ada pula yang menafsirkan hijrah secara politis, yakni perpindahan dari darul harb ke darul Islam. Penafsiran hijrah yang demikian ini kadung problematik. Tersebab, istilah darul harb merujuk pada negara-negara yang tidak menerapkan sistem hukum Islam (syariah).

Sedangkan darul Islam merujuk pada negara Islam yang menerapkan hukum syariah secara komprehensif serta mengusung agenda khilafah islamiyyah. Tafsiran hijrah yang ideologis dan politis itulah yang melatari sejumlah muslim untuk berpindah dari negara asalnya untuk bergabung dengan ISIS di Suriah.

Salah Kaprah Penafsiran Hijrah Kelompok Konservatif

Penafsiran hijrah yang simbolik dan politis itu jelas salah kaprah. Di masa sekarang, konsep hijrah tidak melulu harus dipahami sebagai migrasi fisik dari satu wilayah geografis tertentu ke wilayah geografis yang lain, layaknya yang terjadi di zaman Nabi Muhammad. Di zaman ini, kategori darul harb dan darul Islam kian tidak relevan.

Semua negara yang kondisi sosial serta politiknya stabil bisa disebut sebagai darussalam (negara yang aman dan damai). Ini artinya, apa pun bentuk negaranya dan sistem pemerintahan serta undang-undangnya, sejauh tidak memusuhi umat Islam, dan kelompok lainnya, maka bisa atau layak ditinggali oleh muslim.

Maka, kita, umat Islam di Indonesia ini tidak perlu berpindah ke negara yang diklaim sebagai daulah Islamiyyah atau khilafah Islamiyyah, apalagi yang didirikan dengan kekerasan dan teror.

Yang lebih dibutuhkan umat Islam saat ini adalah hijrah nalar. Yakni transformasi cara berpikir atau peradigma, terutama dalam urusan beragama. Transformasi nalar ini penting mengingat segala perilaku kita, termasuk dalam beragama itu bersumber dari pola pikir (mindset).

Mewabahnya praktik keberagamaan yang intoleran, radikal, bahkan ekstrem seperti tampak di Indonesia belakangan ini tidak dapat dilepaskan dari cara pandang keberagamaan kalangan Islam yang cenderung konservatif. Corak konservatisme beragama ialah sebuah kondisi ketika tingkat kesalehan individu dalam beragama mengalami peningkatan, namun hal itu juga dibarengi dengan menguatnya sikap intoleran dan arogan terhadap kelompok agama lain yang berbeda.

Fenomena konservatisme beragama ini bisa diidentifikasi ke dalam sejumlah gejala. Antara lain, pertama, munculnya sikap eksklusif yang mewujud salah satunya pada klailm kebenaran tunggal yang meyakini ajaran agamanya sebagai paling benar dan suci dengan cara mengkafirkan pengikut agama lain. Kedua, munculnya sikap anti-ideologi negara dan konstitusi yang sah dengan dalih tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Ketiga, munculnya sikap anti pada kebudayaan dan kearifan lokal karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Jika dibiarkan, nalar konservatif dalam beragama ini akan bereskalasi ke tingkat yang lebih ekstrem. Misalnya munculnya kehendak untuk mengganti ideologi dan konstitusi negara melalui jalan makar dan kekerasan.

Hijrah Menuju Nalar Keberagamaan Moderat

Umat Islam Indonesia harus beranjak dari nalar keberagamaan konservatif menuju moderat. Yakni nalar keberagamaan yang adaptif pada perbedaan keyakinan dan pandangan keagamaan, setia pada dasar dan konstitusi negara, anti-kekerasan, serta akomodatif terhadap budaya lokal. Inilah makna hijrah yang sesungguhnya di alam modern ini.

Itu artinya, kita tidak perlu pindah atau keluar dari negeri ini untuk bergabung ke sebuah entitas kekuasaan yang lebih Islami. Kita juga tidak perlu mengubah gaya hidup dan budaya simbolik kita menjadi tampak kearab-araban. Kita bisa menghijrahkan mentalitas dan nalar kita dengan tetap tinggal di Indonesia dan mengadaptasi kultur lokalitasnya.

Itu pula yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sewaktu hijrah ke Yatrib. Ia tidak serta-merta meninggalkan identitasnya sebagai kaum Quraisy-Mekkah. Bahkan, dalam sebuah riwayat ia pernah mengatakan, “Aku tetap bangga menjadi orang Quraisy”.

Menghijrahkan nalar adalah manifestasi kita meneladani peristiwa hijrah kenabian. Memasuki tahun baru 1445 Hijriah ini idealnya umat Islam Indonesia mampu mentransformasikan nalar keberagamaannya menjadi lebih moderat. Terlebih saat ini kita tengah menghadapi tahun politik yang rawan perpecahan dan konflik.

Dengan menghijrahkan nalar, kita patut optimis lanskap keberagamaan kita akan steril dari anasir radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Alhasil, Indonesia akan menjadi negara yang berperadaban maju, layaknya kota Madinah di masa kepemimpinan Rasulullah.

Facebook Comments