Belakangan ini fenomena menguatnya agama dalam ruang publik menjadi sebuah hal yang menghebohkan banyak pihak. Kehebohan ini hadir dalam bentuk yang beragam, salah satunya adalah dengan derasnya arus yang mengalir yang membuat kaum muda menjadi bagian yang mesti mendorongkan arus perubahan dengan mengedepankan identitas keagamaan tertentu di ruang publik.
Sekilas hal ini merupakan gambaran ideal yang tentunya mesti didukung, sebab kita melihat bagaimana orang muda turut serta di jalan agama. Namun tak dapat dipungkiri bahwa sejatinya kelompok muda yang dimaksud, kerap hanya menjadi instrumen bagi arus politisasi agama yang semata.
Banyak dari mereka yang perlahan namun pasti hanya menjadi instrumen “perang” dalam menghadapi musuh bersama yang sejatinya tidak jelas wujudnya. Dengan kata lain upaya mengakarkan kebencian terhadap sesuatu yang imajiner menjadi langkah yang kerap dilakukan terhadap kelompok muda ini agar kemudian bisa mendapatkan kepatuhan terhadap keputusan kelompok.
Guna melihat daya rusak fenomena tersebut, ada baiknya kita menyimak dengan jernih bagaimana keterpautan orang muda dan potensi radikalisme/terorisme. Untuk potensi radikalisme orang muda – yang biasanya diasumsikan sebagai bentuk dasar sebelum berlanjut pada aksi terorisme, kita dapat menemukan dengan mudah sejumlah kasus di mana orang muda terlibat dalam kegiatan vandalisme yang mengatasnamakan agama.
Baca Juga :Pola Doktrin Radikalisme yang Perlu Diketahui!
Selanjutnya mengenai orang muda dan terorisme, kita dapat melihat data yang disajikan oleh lembaga Badan Intelijen Negara (BIN). Dalam pengamatan BIN, nampak bahwa angka terorisme yang dilakukan oleh kelompok usia muda juga perlu menjadi perhatian. Sebab beberapa kisah pelaku bom bunuh diri juga mendapati orang muda-lah yang menjadi pelaku sekaligus korbannya.
Sebut saja Dani Dwi Permana, pelaku sekaligus korban bom bunuh diri yang terjadi di hotel JW Mariott pada 10 tahun yang lalu. Ketika ia melakukan eksekusi terhadap dirinya, ketika itu usianya adalah 18 tahun. Yang lainnya ada pula Umar yang berhasil meledakkan bom di Suriah. Yang ketika ia melakukan aksinya, ia bahkan belum mencapai usia 20 tahun.
Sebenarnya perhatian yang berlandaskan penelitian dengan fokus pembicaraan mengenai orang muda dan radikalisme serta potensinya terhadap terorisme bukanlah tidak pernah dilakukan. Penelitian lama yang dilakukan oleh Anas Saidi, peneliti LIPI, telah jelas mengungkapkan mengenai bahaya yang hadir selama ini.
Ada pula lainnya diketengahkan oleh Burhanuddin Muhtadi. Penelitian kuantitaif yang ia tuangkan dalam sebuah chapter buku dengan judul Contentious belonging: the place of minorities in Indonesia, menerangkan bahwa bahaya radikalisme beragama yang hadir dalam ruang publik telah mengancam kehidupan minoritas negeri ini (2019, Ed. Fealy dan Ricci). Kenyataan tersebut mendapat sokongan kuat dari orang muda yang larut dalam instrumentalisasi proyek politisasi agama.
Orang Muda dan Potensi Radikal/Teroris
Sulit membantah bahwa pasca reformasi bergulir, kebingungan banyak pihak melahirkan kegamangan dalam beragama. Sehingga menjadi ladang empuk bagi hadirnya enterpreneur agama dalam mengkapitalisasi masyarakat yang mendambakan tuntunan.
Tentunya hal di atas tidak mengecualikan orang muda yang mengalami pergolakan identitas dalam rentang usianya. Orang muda justru bisa dibilang lebih rentan terseret dalam pusaran keanggotaan kelompok partikelir beragama sebab kebingungan mereka mendapat jawaban tegas sekaligus menjanjikan dari kelompok-kelompok keagamaan partikelir yang menawarkan semangat puritan dalam beragama. Kelompok-kelompok tersebut seolah memberikan keyakinan akan kepastian identitas yang tidak hanya tepat, melainkan juga memiliki kegunaan dalam konteks kehidupan setelah kematian.
Oleh Ricklefs, kelompok yang memiliki semangat puritan dikategorikan sebagai kelompok Islam revivalis (Ricklefs, 2012). Pengkategorian ini diberikan karena biasanya kelompok ini memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk tidak percaya dengan penggunaan logika fikir manusia. Umumnya, mereka pun menolak pemahaman atas wahyu yang menyesuaikan dengan konteks waktu dan tempat. Kelompok ini pun acap kali tidak ragu menggunakan kekerasan untuk mewujudkan keinginannya.
Dalam mewujudkan keinginannya kelompok-kelompok ini tak segan menggiring orang muda dalam pemahaman mengenai narasi keterjajahan dan diskriminasi yang hingga kini dibayangkan tengah dialami. Cara berfikir oposisi biner (kami vs mereka) pun dihadirkan. Di mana hanya ada dua kelompok yang tengah bertarung, yaitu kelompok revivalis sebagai kelompok yang benar dan selalu tertindas, lalu kelompok yang kedua adalah semua kelompok yang lain, yang tidak se-ide dengan mereka dan dianggap sebagai kelompok penindas atau kelompok yang salah.
Sampai di sini, koridor untuk berfikir dari cara yang lain seolah sudah tidak mendapat tempat. Bila mencoba berfikir dari luar koridor yang mereka tetapkan, maka pilihannya adalah ikut tercebur menjadi pihak yang salah.
Penegasan keabsahan semua hal tersebut sering kali meng-instrumentalisir teks suci agama. Sehingga tak ada kata lain, semangat untuk menyuarakan pembebasan melalui cara yang mereka gemakan pun harus dilakukan. Bila tidak ingin melakukan dengan cara kelompok-kelompok semacam ini, maka narasi mengenai dosa, azab maupun hukuman hari kiamat akan dijatuhkan terhadap siapa pun yang tidak mau mengikutinya. Bila sudah demikian, maka bukan lagi hal yang sulit untuk menggiring orang muda dalam jebakan pemikiran intoleran, radikal atau pun terorisme.
Bila hal di atas telah kita pahami bersama, maka pertanyaan berikutnya pun terlayang kepada pribadi kita sebagai orang muda yang beragama dalam arus globalisasi. Apakah masih relevan mengarusutamakan narasi radikal beragama dalam bentuk oposisi biner melihat yang berbeda?