Beberapa tahun terakhir ini, Indonesia cukup menjadi sorotan atas hal-ikhwal adanya kelompok-kelompok massa yang menunjukkan aksi intoleran mereka. Intoleransi ini mungkin tidaklah berdampak langsung dalam bentuk separatisme, namun tetap saja dapat mempengaruhi kondisi dan perlahan menggerogoti stabilitas keamanan di tanah air, bila tidak segera diselesaikan. Banyak hal yang dilakukan serta dianggap sebagai perwujudan keimanan dalam beragama, namun akhirnya menjadi ajang banalisasi kejahatan terhadap ruang pengetahuan dan kemanusiaan.
Contoh terbaru kita dapati dari adanya penangkapan terduga teroris yang juga seorang dosen di sebuah kampus ternama. Diduga ia tengah merencanakan sebuah skema teror lewat bom yang ia tengah siapkan (cnnindonesia.com). Melihat hal ini, tentu menimbulkan kecemasan tersendiri di benak banyak pihak. Sehingga penting bagi kita untuk lebih dahulu menyoal tentang fenomena radikalisme agama dalam lingkungan akademik. Tujuannya agar menjadi semacam pengingat sebelum langkah tertentu diambil sebagai bentuk penyelesaian.
Sejak lama aksi radikalisme yang menunggangi agama memang telah mengkontaminasi arena sosial dan politik kita, di mana sejumlah agen yang berkepentingan atas eskalasi isu tertentu, terus saja memainkan agama guna mengais keuntungan pragmatis dari alam demokrasi yang terbuka bagi semua. Hal ini harus dicermati secara seksama. Sebab di satu sisi gagasan ideal agama yang beririsan dengan aspek-aspek kehiduan manusia cukup mampu mengantarkan pemikiran para pengikutnya pada sebuah kondisi ideal. Namun perlu diingat pula, bahwa di sisi lain bayangan eksklusivisme kerap menghinggapi fenomena keber-agamaan, khususnya bangsa ini. Bila sudah demikian maka dampak pembajakan agama ini akan hadir dengan tidak kalah mengerikan dengan sejumlah aksi terorisme.
Fenomena radikalisme sudah banyak dipotret oleh sejumlah akademisi dan praktisi. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahkan dengan lantang menyebutkan bahwa sejumlah kampus telah terpapar benih-benih radikalisme. Dalam sebuah sesi wawancara eksklusif, Azyumardi Azra, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ternyata malah memberikan penebalan terhadap temuan tersebut. Ia memperhatikan bahwa perkembangan radikalisme dan kaitannya dengan dunia akademik kampus menggambarkan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan sel-sel radikalisme cukup hidup dalam wilayah kampus.
Baca juga :Membongkar Sesat Pikir Para Pembajak Agama
Ketiadaan paradigma penanding kelompok-kelompok radikal tersebut menjadikan pemahaman radikal mereka menjadi semakin bebas dalam berjejaring di wilayah internal sekolah tinggi. Hal demikian semakin diperparah dengan adanya kecenderungan dari beberapa disiplin ilmu yang gemar menuntut sebuah ketegasan pilihan layaknya mekanisme paradigma positivis (tirto.id, 2018). Sementara kita mengetahui bahwa persoalan manusia dan fenomenanya tidaklah sesederhana menjatuhkan pilihan pada aspek hitam dan putih an sich.
Episteme Inklusif Merebut “Panggung”
Persoalan kemudian semakin rumit tatkala kelompok tandingan dengan paradigma inklusif sudah ada dalam posisi yang kalah start. Kenyataan ini bisa kita lihat dari contoh yang mengetengah beberapa waktu yang lalu. Misalnya saja seperti respon negatif publik yang hadir terhadap sejumlah karya akademik yang mencoba mengupas atau bahkan mengkritik agama dan realitasnya dengan manusia. Hal ini sungguh menggambarkan bagaimana realitas keilmuan yang sejak periode rennaisance sangat mengagungkan kebebasan berfikir untuk kemanusiaan, harus kembali dikebiri dan masuk pada homogenisi cara berfikir.
Penyebarluasan keragaman episteme lokal maupun luar mengenai kebebasan beragama ternyata lambat berproses dan akhirnya lambat pula mendapat tempat di masyarakat. Sementara atas nama tuntunan hidup, cara berfikir yang menawarkan kepakeman paradigma malah banyak diminati masyarakat, khususnya dalam era informasi yang melimpah ruah. Di sinilah pemikiran radikal yang menunggangi agama perlahan mendapat panggung untuk “berdagang” kepada publik. Dengan meminjam konsepsi arena yang dinarasikan oleh Pierre Bourdieu, di sinilah kita melihat bagaimana kekalahan pertama pemikiran inklusif dalam beragama dari pemikiran radikal yang menunggangi agama.
Sehingga tidak mengherankan bila implikasinya hari ini sungguh terasa dahsyat. Jangankan mengkritik, untuk sekedar menghadirkan pertanyaan terkait agama, institusi dan fenomenanya saja berpotensi untuk dianggap menghina agama. Rezim pengetahuan radikal yang menunggangi agama telah mampu menggeser bukan hanya kemanusiaan dari pemikiran masyarakat kita, namun juga local wisdom kita dalam bermasyarakat.
Berangkat dari hal di atas, rasanya tidak ada pilihan lagi bagi kita selain menjadikan tempat yang diduga sebagai wilayah pengembangan ideologi radikalisme agama, mesti menjadi wilayah pertarungan yang diperebutkan kembali. Pemberian kesempatan seluas-luasnya untuk pengembangan epsiteme-episteme inklusif mesti digaungkan sebagai perlawanan di ranah akademik.
Pemberian ruang yang lebih luas lagi kepada upaya melacak akar-akar pembajakan agama mesti diberikan kepada semua pihak. Tujuannya agar selain sebagai upaya pembukaan segala kemungkinan terhadap akar persoalan, lewat pola ini potensial menghadirkan alarm pelibatan semua pihak. Pihak-pihak yang dimaksudkan di sini bukan hanya para pemerhati dan akademisi dari wilayah ibukota semata, namun juga seluruh pihak yang berada di daerah, di Indonesia. Sebab persoalan penunggangan agama oleh radikalisme bukan hanya hadir di wilayah ibukota saja, melainkan juga hingga ke pelosok negeri. Bahkan pola perkembangannya di masing-masing daerah dan waktu pun memiliki karakter yang berbeda.