Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beragam dan sudah terbiasa hidup damai dalam perbedaan. Sejak lama, berbagai suku, etnis, dan kelompok agama hidup rukun berdampingan di bumi Nusantara. Karakteristik masyarakat kita yang terbuka dan ramah terhadap sesama maupun pendatang, membuat bermacam budaya maupun kepercayaan mudah tumbuh dan menyebar ke penjuru Tanah Air. Dari sana, lahir berbagai macam percampuran budaya maupun ekspresi keagamaan yang sebagian masih bisa kita lihat sampai sekarang.
Di tanah Nusantara, masyarakat hidup rukun dan damai di tengah perbedaan. Itu semua merupakan wujud betapa tolerannya masyarakat Nusantara. Karakter toleran ini kemudian mengkristal menjadi bagian penting dalam spirit pendirian negara Indonesia, di mana spirit saling menghormati sudah menjadi jiwa bangsa Indonesia. Spirit toleran ini mesti terus dijaga dan dirawat, sebagai konsekuensi demi terus tegaknya bangunan besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, saat ini kondisi masyarakat yang begitu ramah, terbuka, dan toleran tersebut mulai terancam. Mulai tumbuh dan menguat benih-benih intoleran di masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, intoleransi menguat terutama dalam sikap politik dan beragama. Perbedaan politik dan agama, terlebih gabungan dari keduanya, banyak membuat orang mudah saling membenci, berprasangka, saling menyerang, mencaci, bahkan bersikap dan bertindak diskriminatif dan intoleran terhadap sesama.
Baca Juga :Ruang Publik, Toleransi, dan Upaya Saling Memahami
Kita boleh beranggapan bahwa sikap-sikap intoleran yang menguat di masyarakat berkait erat dengan deretan kontestasi politik dalam pesta demokrasi yang begitu padat dalam beberapa tahun terakhir. Momentum yang di dalamnya dipenuhi penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan praktik-praktik politisasi agama dan politik identitas yang membuat masyarakat mengalami disintegrasi. Namun, hingga kini, ketika momentum tersebut telah berlalu, kenyataannya intoleransi belum benar-benar pergi.
Pada 8-17 September 2019, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei terhadap 1.550 responden. Hasil survei mengungkapkan fakta bahwa intoleransi beragama dan berpolitik dalam beberapa tahun terakhir cenderung stagnan, dalam arti belum ada perbaikan kondisi. Hasil survei tersebut menyebutkan, ada 59,1 persen responden warga Muslim intoleran atau keberatan jika warga nonmuslim menjadi kepala negara. Survei juga mengungkap ada 53 persen warga Muslim keberatan jika orang nonmuslim membangun tempat peribadatan di sekitar tempat tinggalnya. Diungkap juga ada 37.2% umat Muslim yang setuju bahwa umat agama minoritas di Indonesia harus mengikuti kemauan Muslim (cnnindonesia.com, 3/11/2019).
Hasil-hasil survei tersebut memberi kita gambaran bahwa ancaman intoleransi, terutama dalam intoleransi beragama, masih nyata ada di masyarakat. Menjadi tugas kita bersama untuk turut andil dalam upaya-upaya menangkal dan memberantas bibit-bibit intoleransi.
Dalam sikap intoleran terkandung prasangka yang terdiri dari berbagai komponen. Menurut Hunsberger (1995) seperti dikutip Muhammad Farid (2018), intoleran adalah tindakan negatif yang dilatari simplifikasi palsu atau “prasangka yang berlebihan” (over generalized beliefs). Prasangka tersebut memiliki tiga komponen. Pertama, komponen kognitif mencakup stereotip terhadap “kelompok luar yang direndahkan”. Kedua, komponen afektif berwujud sikap muak atau tidak suka yang mendalam terhadap kelompok luar. Ketiga, komponen tindakan negatif terhadap anggota kelompok luar, baik secara interpersonal maupun dalam hal kebijakan politik sosial.
Dari pendapat Hunsberger, kita mendapatkan gambaran bahwa intoleransi dipengaruhi prasangka-prasangka berlebihan terhadap “kelompok luar” atau kelompok yang berbeda, yang dari sana muncul sikap-sikap intoleran. Pemetaan antarkomponen dalam “prasangka” tersebut bisa menjadi bahan refleksi dan evaluasi terhadap diri kita masing-masing, juga keadaan di lingkungan sekitar kita untuk mendeteksi adanya pikiran-pikiran, sikap-sikap, maupun perbuatan-perbuatan intoleransi. Dari sana, kita bisa melakukan evaluasi, perubahan, dan perbaikan untuk lebih menciptakan suasana persaudaraan dan perdamaian.
Menghapus dan menangkal bibit-bibit intoleransi mesti didasari pemahaman betapa pentingnya sikap toleran, saling menghargai dan menghormati demi menjaga ikatan persaudaraan. Ini tak lain merupakan kewajiban kita sebagai sebuah bangsa. Sebab, secara historis, bangsa ini sendiri dibangun atas kesepatakan untuk bersatu, hidup berdampingan dan saling menghargai dalam perbedaan. Bangsa ini lahir karena tingginya toleransi dan kebesaran hati para pendiri bangsa untuk lebih mengedepankan kepentingan bangsa daripada ego kelompok masing-masing. Kini, menjadi tugas kita bersama merawat nilai-nilai toleransi tersebut lewat sikap-sikap saling menghargai dan menghormati atas perbedaan yang ada.
Tanah Indonesia adalah tanah untuk menanam benih persatuan dan menyemai persaudaraan. Tanah Indonesia bukan tempat untuk saling membenci, berprasangka, apalagi berkelahi. Tanah ini bukan tempatnya intoleransi. Indonesia adalah tempat kita merajut kebhinekaan dengan benang-benang toleransi. Dari sana, terciptalah keragaman warna yang indah dan harmonis, sebagai bekal mewarnai dan membangun negeri.