Susah untuk dipungkiri bahwa pesona yang ditawarkan oleh era post-truth, membuat banyak pihak hanyut dan tidak mampu lepas dari ruang yang tercipta. Bila kita mengarahkan fokus pada Indonesia saja yang sebentar lagi menghadapi banyak gelaran pesta demokrasi di tingkatan lokal maupun nasional, maka dapat dilihat bahwa resonansi yang timbul antara fenomena tersebut dengan kondisi politik serta sosial seringkali fluktuatif. Imbasnya, masyarakat dibuat kebingungan dalam melihat realitas yang ada. Inilah momen-momen yang mengkhawatirkan bagi masyarakat kita, sebab terbukanya semua lini informasi membuat mudahnya indoktrinasi beragam ideologi luar yang tujuannya membuat Indonesia menjadi ladang pertarungan kepentingan. Salah satu kelompok yang paling gampang untuk disasar adalah kelompok yang sering disebut sebagai generasi milenial.
Untuk melihat dilema yang terjadi maka kita perlu memberikan batasan singkat terhadap ungkapan generasi yang disebut milenial itu. Secara sederhana pengertian generasi milenial bisa saja dibatasi oleh usia, namun akan lebih mengena pada sasaran bila kita melihatnya sebagai generasi yang bukan lagi dekat, namun nampaknya sudah melekat dengan media internet. Sebut saja seperti google, Situs media sosial, situs berita dan lain sebaginya. Kemudahan mengakses segalanya secara cepat dan mudah menjadi magnet penarik yang kuat sehingga generasi sulit untuk keluar dan muncul kepermukaan. Bahkan mungkin lebih tepatnya, enggan untuk beranjak dari wilayah yang dianggapnya sebagai zona nyaman-nya tersebut. Hasil riset dari Pew Research Centre telah menunjukkan dengan jelas bagaimana hal tersebut tercipta.
Baca juga :Pahlawan Nasional Milenial
Generasi milenial benar-benar dimanjakan oleh keadaaan ini dan dunia pun secara cepat berubah. Hal ini ditunjukkan dengan dunia yang seolah tak berbatas lagi. Bahkan sekat identitas nasional seolah pudar oleh desakan sistem globalisasi yang ada. Setiap individu dari generasi milenial di belahan bumi mana pun dapat mengakses informasi dengan cepat. Oleh seorang Marshal Mcluhan, filsuf komunikasi dan media yang cukup kesohor dengan salah satu karyanya berjudul Understading Media: The Extensions of Man, melihat realitas ini sebagai sebuah global village. Global Village sendiri merupakan sebuah abstraksi ilmiah guna mendeskripsikan dunia sebagai kampung/desa yang global/besar, di mana setiap individu yang ada saling memiliki keterkaitan sebagai dampak dari perkembangan teknologi dan komunikasi (Mcluhan, 1994). Untuk menunjukkannya semua fasilitas program internet hari ini cukup layak merepresentasikan konsep tersebut.
Dilema Generasi Milenial
Tanpa disadari, persoalan pun hadir dengan membonceng kemudahan tersebut. Jurgen Habermas melihat bahwa keterikatan setiap individu dalam jaringan yang disebut oleh Mcluhan sebagai Global Village tersebut dapat mengganggu stabilitas penguasa. Namun menariknya, disisi lain akibat yang dibawanya dapat pula menghancurkan sebuah tatanan sistem yang sudah ada. Khusus pada Indonesia, ancaman yang paling besar adalah kepada ideologi Pancasila yang dimiliki oleh bangsa ini.
Ibarat dua sisi mata uang, kemudahan dalam mengakses segala informasi ternyata menghadirkan persoalan baru. Ruang terbuka terhadap informasi berhasil dijadikan saluran bagi banyak ideologi transnasional untuk masuk dan melakukan indoktrinasi banyak fikiran di negara ini, khususnya para generasi milenial. Melalui gagasan-gagasan perubahan yang radikal dan seolah mampu menghadirkan penyelesaian atas seluruh persoalan manusia, membuat banyak warga masyarakat gampang tergiring untuk turut berperan mendorongkan penggantian ideologi bangsa ini. Salah satu dasar penjelas mengapa para generasi milenial ini menjadi sasaran yang empuk adalah karena kelekatan para generasi ini dengan gawai untuk mengakses banyak informasi daring.
Harus diakui bahwa salah satu desakan ideologi yang hingga hari ini tak kunjung surut dari perdebatan di segala ranah adalah usulan mengenai negara agama, dalam hal ini agama Islam. Dari beberapa penelitian yang dilakukan sejumlah organisasi nirlaba, dapat kita ketahui bahwa banyak dari para generasi milenial saat ini yang memberikan sambutan gembira dan bahkan terpesona oleh gagasan ini. Bila sudah demikian, jelas kerisauan tak mungkin terelak dari pemikiran kita terkait nasib keberagaman bangsa ini ke depannya.
Kearifan Lokal
Tawaran kearifan budaya lokal yang sering kita dengar beberapa waktu terakhir, menarik untuk dijajaki secara serius sebagai salah satu cara menguatkan pilar ideologi Pancasila yang menjadi dasar bangsa ini. Tawaran ini menarik, sebab antara nilai filosofis ideologi Pancasila dan sejumlah narasi budaya lokal yang arif di masing-masing tempat memiliki irisan yang lebar. Mengulasnya pun sebenarnya bisa dilakukan oleh masing-masing individu bangsa ini. Hal ini terjadi karena pesan filosofis yang menjadi dasar setiap narasi kearifan budaya lokal sejatinya telah melekat dalam benak bangsa ini. Contohnya saja seperti konsep Pela Gandong dari daerah Ambon, Tepa Selira dari daerah Jawa, Wong Kito dari daerah Sumatera Tengah, Halak Kita bagi masyarakat Batak Toba, dan masih banyak lagi. Bayangkan saja, Di Indonesia ini menurut data Biro Pusat Statistik 2010 terdapat 1340 suku bangsa. Artinya masing-masing suku bangsa tersebut memiliki konsep mereka sendiri untuk memaknai penghargaan terhadap spiritualitas, kemanusiaan, kerukunan, keberagaman, dan keadilan sosial.
Jadi, bila generasi milenial kita tetap memiliki keyakinan terhadap bangsa ini, maka bukan mengambil ideologi luar untuk kemudian dijadikan dasar guna mengganti negara ini menjadi negara agama yang mesti dilakukan. Sebaliknya generasi milenial mesti melihat ke dalam untuk mencari lagi apa yang kita miliki, untuk kita reflesikan guna menguatkan bangsa ini. Satu hal yang perlu diingat, ideologi luar memiliki potensi besar untuk tidak sejalan dengan kondisi bangsa kita. Bila dipaksakan, maka akan menimbulkan konflik. Pada akhirnya hanya berujung pada persoalan kemanusiaan seperti perang, penderitaan dan kepengungsiaan.