Nuzul Quran dan Etos Literasi Melawan Hoaks

Nuzul Quran dan Etos Literasi Melawan Hoaks

- in Narasi
1446
0
Nuzul Quran dan Etos Literasi Melawan Hoaks

Saban malam tanggal 17 Ramadan umat Islam di seluruh dunia memperingati Nuzulul Quran yakni momentum turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad. Ihwal mekanisme turunnya al Quran memang masih ada silang pendapat di antara para ulama. Ada sebagian ulama meyakini bahwa al Quran diturunkan seketika di malam Nuzulul Quran. Ada pula ulama yang meyakini bahwa al Quran diturunkan sedikit demi sedikit. Perbedaan pendapat atau khilafiyah itu kiranya kita pahami sebagai khazanah yang memperkaya dunia intelektualitas Islam.

Namun, satu hal penting ialah bagaimana Nuzulul Quran tidak hanya kita peringati secara seremonial dan simbolik, namun diresapi maknanya hingga ke titik filosofi dan subtansi yang paling dalam. Tentu bukan sebuah kebetulan jika ayat al Quran yang pertama kali turun ialah perintah untuk membaca (iqra). Padahal, dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad ialah sosok yang ummi alias buta huruf.

Perintah iqra sebagai wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad memiliki makna simbolik yang mendalam. Pakar tafsir Quraisy Shihab menyebutkan bahwa perintah membaca menandai bahwa Islam ialah agama yang sangat konsern pada intelektualitas dan ilmu pengetahuan. Aktivitas membaca dalam Islam tidak hanya merujuk pada pekerjaan membaca teks (tulisan), namun juga membaca realitas sosial.

Jauh sebelum Nabi Muhammad menerima wahyu, ia sebenarnya ialah sosok yang gemar “membaca”. Dalam artian membaca realitas sosial-politik masyarakat Arab kala itu yang penuh dengan problematika. Ekonomi misalnya diwarnai oleh praktik monopoli dan dominasi akses yang menyebabkan ketimpangan. Politik pun demikian. Suku Quraisy mendapat privilege kekuasaan yang luas sehingga terlalu dominan dalam struktur masyarakat Arab kala itu.

Di ranah sosial, masyarakat Arab dikenal memegang teguh paradigma ashabiyah yakni fanatisme kesukuan. Konsekuensinya, masyarakat terpecah-belah dan relasi sosial pun cenderung berjalan timpang. Hanya karena persoalan sepele perang antarsuku bisa saja meledak sewaktu-waktu. Membaca dan melihat realitas itulah, Nabi Muhammad gelisah sehingga lebih banyak menghabiskan waktu malamnya dengan bermeditasi di Gua Hira.

Problem Hoaks

Kegelisahan melihat realitas sosial-politik yan timpang dan tidak normal ialah naluri Nabi Muhammad yang wajib kita warisi. Di era sekarang, umat Islam tidak bisa apatis dengan realitas sosial, politik dan keagamaan yang terjadi di sekelilingnya. Sebaliknya, umat Islam harus berperan aktif dalam perubahan sosial atau setidaknya urun andil dalam menyelesaikan persoalan.

Jika kita identifikasi beragam persoalan yang mendera umat Islam di Indonesia saat ini, penyebaran hoaks merupakan salah satu tantangan terberat. Hoaks alias berita palsu telah memecah-belah umat dan mengadu-domba umat dalam narasi provokatif yang konfliktual. Berbagai semburan berita palsu telah melahirkan ketegangan sosial dan berakibat buruk tidak hanya bagi ikatan keislaman namun juga ikatan kebangsaan.

Sebaran hoaks yang kian masif dan tidak terbendung merupakan ekses dari rendahnya literasi masyarakat. Masyarakat kadung terjebak pada euforia kecepatan era digital dimana informasi dan pesan bisa disebarluaskan secara instan dan masif. Di saat yang sama, masyarakat lantas abai atau lalai untuk melakukan proses verifikasi atas kebenaran sebuah pesan dan informasi. Hasrat untuk menjadi yang tercepat dalam mengetahui dan membagikan informasi secara tidak disadari kerap menuntun masyarakat pada labirin hoaks.

Rendahnya tingkat literasi telah menjadi semacam problem klasik di negeri ini. Berbagai survei dan penelitian menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki minat baca yang rendah. Namun, ironisnya masyarakat Indonesia dikenal paling aktif di sosial media. Dibanding penduduk di negara lain, masyarakat Indonesia dikenal menghabiskan waktu paling banyak di media sosial. Di masyarakat yang tidak doyan baca, namun memiliki hasrat komentar dan beropini yang tinggi, hoaks dipastikan akan tumbuh subur.

Spirit Literasi

Spirit Nuzulul Quran kiranya bisa menjadi etos untuk menumbuhkan spirit literasi. Perintah membaca sebagai wahyu pertama yang diturunkan untuk Nabi Muhammad idealnya direlevansikan dalam konteks sekarang. Yakni meningkatkan literasi, salah satunya dengan mendongkrak minat baca masyarakat. Literasi tidak hanya berorientasi pada keterampilan membaca dan menulis secara harfiah. Namun, juga keterampilan menganalisa persoalan sekaligus mencari solusinya.

Penting untuk dicatat bahwa penguatan literasi itu pula yang membuat peradaban Islam pernah mencapai masa kejayaannya di era kekhalifahan Abbasiyyah utamanya di masa pemerintahan al Makmun. Di masa itu, peradaban Islam mampu melahirkan banyak sekali ilmuwan lintas disiplin ilmu dengan berbagai temuan teori maupun teknologi yang mendunia dan diakui secara global. Kejayaan itu bisa diraih karena umat Islam kala itu memiliki tingkat literasi dan melek pengetahuan yang nisbi tinggi.

Sebaliknya, ketika dunia Islam disibukkan dengan perdebatan di dunia fiqih dan perebutan kekuasaan politik, cahaya kejayaan itu kian memudar lalu padam. Saat ini bisa dikatakan kita tengah ada di fase kegelapan peradaban. Nyaris tidak ada sumbangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang penting dari dunia Islam. Sebaliknya, dunia Islam hanya menjadi konsumen sekaligus penonton di balik euforia modernisme tersebut. Fatalnya lagi, sejumlah negara muslim justru hancur lebur oleh konflik sosial-sektarian yang berawal dari masifnya hoaks dan provokasi.

Maka dari itu, penting untuk memaknai spirit Nuzulul Quran dalam konteks membangun dan memperkokoh kualitas literasi umat. Umat perlu didorong untuk memiliki kemampuan mengakses informasi sekaligus keterampilan menganalisa realitas sosial.

Facebook Comments