Ormas Radikal dan Fenomena Mobokrasi di Ruang Publik Kita

Ormas Radikal dan Fenomena Mobokrasi di Ruang Publik Kita

- in Narasi
574
0

Demokrasi dan ruang publik (public sphere) adalah dua hal yang saling bertautan dan nyaris tidak dapat dipisahkan. Demokrasi tanpa ruang publik yang bebas akan terjebak pada demokrasi otoritarian. Sedangkan ruang publik tanpa demokrasi yang menjamin kesetaraan hak akan memunculkan apa yang disebut sebagai “mobokrasi”.

Sekilas, istilah ini cenderung asing dan bahkan absen dari perbincangan politik kita. Padahal, jika kita melihat dengan seksama fenomena mobokrasi itu telah menjadi bagian dari realitas sosial-politik kita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mobokrasi didefinisikan sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh gerombolan rakyat jelata yang tidak paham seluk-beluk pemerintahan.

Harus diakui, definisi ini kurang menggambarkan secara gamblang apa itu makna mobokrasi yang sesungguhnya. Dalam leksikon ilmu sosial-politik, para ahli mendefinikan mobokrasi sebagai sebuah fenomena ketika segerombolan massa yang cenderung acak berkumpul guna memperjuangkan satu kepentingan tertentu dengan cara-cara yang tidak demokratis dan menyalahi hukum.

Mobokrasi bisa dibilang sebagai kebalikan terhadap sistem demokrasi. Jika demokrasi merupakan mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan konsensus bersama (suara terbanyak), maka mobokrasi lebih menitikberatkan pada upaya mengintervensi keputusan dengan mengerahkan kekuatan massa. Tidak jarang, mobokrasi juga mengeksploitasi cara-cara kekerasan untuk mengegolkan kepentingannya.

Dalam sejarah peradaban manusia, fenomena mobokrasi sudah muncul dari zaman klasik hingga modern. Hanya saja, bentuk dan strateginya terus mengalami transformasi. Di era modern, fenomena mobokrasi lebih sering mengejawantah ke dalam gerakan sosial-politik yang berupaya menyangkal kekuasaan atau pemerintahan yang otoritatif dan mengendalikannya melalui tekanan massa yang dilukan secara masif dan berulang.

Mobokrasi di Indonesia

Istilah mobokrasi ini kiranya tepat untuk menggambarkan sepak terjang gerakan-gerakan pengerahan massa yang dimotori oleh organisasi kemasyarakatan-kegamaan (ormas agama) di Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini di Indonesia. Ada banyak contoh untuk menggambarkan fenomena mobokrasi ini.

Salah satunya tentu gerakan 212 yang merupakan ekses dari panasnya persaingan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017 yang diwarnai oleh praktik politik identitas. Kemunculan gerakan 212 tentu tidak dapat dilepaskan dari isu penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menjadi semacam trigger bagi demonstrasi massa kala itu.

Namun, tidak dapat dinafikan bahwa gerakan 212 juga sarat dengan kepentingan politik kekuasaan. Buktinya, pasca berakhirnya isu penistaan agama dengan dipenjarakannya Ahok menyusul kekalahannya dalam Pilkada DKI, gerakan 212 tetap eksis hingga hari ini. Bahkan, setiap tahun massa yang menyebut diri Persaudaraan Alumni Gerakan 212 masih menyempatkan diri berkumpul setiap tahunnya untuk melakukan “reuni”.

Tidak hanya sekadar kumpul-kumpul, setiap gelaran reuni 212 dipastikan ada isu sosial-politik-agama yang diangkat sebagai semacam komoditas yang bertujuan membuat gerakan ini tetap relevan dan mendapat simpati publik.

Secara umum, fenomena mobokrasi muncul lantaran berbagai macam faktor. Dalam banyak kasus, mobokrasi adalah artikulasi kekecewaan dan ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah, baik di bidang ekonom, politik, hukum dan sebagainya. Kebijakan pemerintah yang tidak mencerminkan rasa keadilan publik kerap memicu munculnya gerakan perlawanan massa yang mengedepankan cara-cara kekerasan.

Massa yang tidak puas atas kerja pemerintah itu turun ke jalan, menggelar parlemen jalanan dan bahkan membubarkan pemerintahan secara paksa dengan jalan membuat kekacauan (chaos). Namun, jika kita melihat dalam konteks Indonesia belakangan ini, agaknya kurang tepat jika dikatakan bahwa mobokrasi merupakan bentuk perlawanan atas ketidakadilan yang diciptakan pemerintah.

Pasalnya, mobokrasi yang menggejala di ruang publik kita belakangan ini tidak merepresentasikan seluruh masyarakat Indonesia. Isu yang diangkat pun juga cenderung isu sektarian bernuansa agama yang tidak mewakili kepentingan masyarakat secara umum. Ditambah pula, mereka digerakkan bukan oleh kesadaran untuk mengubah keadaan, namun dimobilisasi oleh ormas-ormas tertentu yang ironisnya kerap menunjukkan sikap anti pada Pancasila dan NKRI.

Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa gerakan 212 yang seperti kita tahu dimotori oleh ormas-ormas radikal terutama Front Pembela Islam (FPI) dan organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak lebih sebagai gerakan mobokrasi. Sepak terjang dan manuver mereka tidak diragukan lagi telah mencemari ruang publik kita dengan isu-isu sektarian yang cenderung provokatif dan memecah belah.

Melalui pengerahan massa yang masif dan berulang-ulang, mereka mengintervensi keputusan hukum yang seharusnya diambil secara independen. Tidak segan mereka juga mengintimidasi kelompok tertentu yang dianggap berseberangan dengan kepentingannya. Lebih parah lagi, secara terbuka mereka kerap mendelegitimasi pemerintahan yang sah dengan beragam fitnah dan ujaran kebencian.

Mengembalikan Esensi Demokrasi

Fenomena mobokrasi jelas tidak bisa disikapi secara permisif. Jika dibiarkan, ia akan mengancam sistem demokrasi yang susah payah kita bangun. Tidak hanya itu, mobokrasi juga berdampak buruk pada matinya independensi penegak hukum, karena setiap keputusan hukum rawan diintervensi oleh kekuatan massa. Puncaknya, mobokrasi akan mengancam keutuhan bangsa dan negara lantaran ada agenda tersembunyi untuk mengganti bentuk dan dasar negara.

Oleh karena itu, adalah hal yang urgen bagi bangsa Indonesia saat ini untuk mengembalikan demokrasi pada khittah alias esensinya. Demokrasi idealnya digerakkan oleh kekuasaan yang dikendalikan oleh pemerintahan yang sah (legitimated). Dalam demokrasi, penegakan hukum idealnya dilakukan oleh lembaga yang otoritatif, dan dijamin independensinya tanpa bisa diintimidasi oleh gerombolan massa. Intinya, demokrasi adalah arena bagi warganegara, bukan gerombolan massa.

Warganegara dicirikan dengan setidaknya lima karakter, yakni memahami hak-haknya, menghormati hak-hak orang lain, selalu bersikap independen alias tidak bisa dipengaruhi apalagi dimobilisasi, berpartisipasi aktif dalam ranah sosial-politik, menerapkan prinsip keberadaban (civility) bahkan ketika menghadapi ketidakadilan sekalipun. Karakteristik warganegara yang demikian inilah yang harus kita kembangkan bagi sehatnya demokrasi kita.

Sebaliknya, kita harus meninggalkan corak mobokrasi yang mengandalkan kerumunan massa yang bising, provokatif, intimidatif dan gemar main hakim sendiri. Praktik mobokrasi yang demikian itu adalah wujud dari ketidakdewasaan kita dalam berbangsa dan bernegara. Tidak ada dinamika wacana dalam mobokrasi, lantaran setiap individu bersembunyi di balik kerumunan dengan mengatasnamakan kolektivitas. Mereka bisa merasa jemawa hanya ketika berada di dalam gerombolannya. Di luar itu, mereka tidak ubahnya para kapiran yang kehilangan arah dan tidak paham tujuan yang sebenarnya.

Facebook Comments