Saya mengumpamakan Presiden Sukarno seperti juru sungging sekaligus dalang handal di depan kelir. Empu era kerajaan gentur laku spritualnya, olah rasa, dan olah pikir dalam berkreasi menciptakan wayang. Menyungging selembar wayang bisa menelan waktu berbulan, bahkan menahun demi menggapai keindahan paras serta wangun sesuai karakter wayang. Wayang (pancasila) merangkum rupa-rupa watak untuk merawat harmoni mikrokosmos agar tidak terjadi keguncangan.
Demikian pula dalang wayang purwa kian bersemangat membius penonton, Bung Karno di mimbar 1 Juni 1945 secara eksplisit menyampaikan gagasan tentang Pancasila, termasuk nama Pancasila. Dalang jempolan dituntut jago perkara sanggit dan meronce kisah kelampuan yang memantulkan kearifan. Maka, ia kudu lahap memamah pustaka, titis maca kahanan (cermat membaca gerak zaman), serta mengendapkan temuan sebelum dikabarkan ke publik. Di sesela rehat mendalang, dilahap pula Serat Centhini (1814-1823). Mahakarya anggitan tiga pujangga Keraton Kasunanan berkeliling sekujur tanah Jawa ini menyimpan segunung pengetahuan dan lautan makna.
Mari menggeledah ensiklopedi kebudayaan Jawa ini. Ternyata, ada sepotong fakta: Kang dadi paedah lawan, pikantuke wong nglakoni, ing prajanji Pancasila, tinartamtu bakal bangkit, kajèn uripirèki, adoh saking pakaryèku, bilai myang sangsara, sarta rukun ing sasami, kadunungan cipta marang kautaman. Terjemahan bebasnya: Yang menjadi tujuan dan faedah bagi orang yang menjalankan Sumpah Pancasila pasti akan bangkit, dihormati hidupnya, jauh dari segala kesengsaraan dan marabahaya, serta rukun dengan sesama, memperoleh buah dari keutamaan.
Ternyata, seabad lebih sebelum Pancasila didongengkan Pak Karno di hadapan para bapak bangsa, terminologi Pancasila telah bersemanyam di sanubari wong Jawa. Serta, mengusung spirit kerukunan (istilah kini, persatuan) dan dijauhkan dari penderitaan (keadilan sosial).
Baca Juga : Salam Kebangsaan dan Spirit Egalitarianisme
Di masa silam,Serat Centhini yang menjadi “rumah” Pancasila juga memiliki makna penting dalam konteks nasionalisme sempit (Jawa). Dikisahkan, Pangeran Adipati Anom Amangkungara III tergerak menyelamatkan kepingan pengetahuan budaya Jawa yang berserakan di area pinggiran sebelum tersapu gelombang budaya asing. Putra mahkota yang kelak menjadi Paku Buwana V (1820-1823) ini memilih jalur sastra sebagai bentuk resistensi kultural terhadap orang Eropa yang dikategorikan kafir seraya menyelamatkan pengetahuan Jawa yang penting untuk dikabarkan ke generasi berikutnya, kemudian hari. Tiada jalan lain selain itu karena kekuatan politik kerajaan sudah digembosi dan melawan secara fisik kecil peluangnya untuk unggul (Sri Margana, 2006).
Segera saja putra dari Paku Buwana IV (1780-1820) menyuruh Raden Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Ngabehi Yasadipura II dan Raden Ngabehi Sastradipura turun lapangan merealisasikan keinginannya. Beberapa juru tulis istana ikut menyertai mereka. Adapun di antaranya, Pangeran Jungut Mandureja, dan Kyai Mumammad Minhad, Kanjeng Pengulu Tapsiranom, dan Kyai Besri dari Pesantren Tegalsari Gebangtinatar Ponorogo. Mereka tersebar mengelilingi pulau Jawa. Mendaki bukit, melewati goa, dan bercakap dengan warga setempat.
Terlalu panjang apabila diuraikan perjalanan semua tokoh yang tertera dalam serat tersebut. Perlu diringkas fragmen sejarah yang kiranya penting. Diketahui, Sunan Giri Prapen merupakan raja di Kerajaan Giri, yang kemudian dikalahkan oleh Mataram Islam. Raja ini memiliki buah hati, yaitu Jayengresmi, Jayengsari, dan Rancangkapti. Ketiganya memilih meninggalkan Kerajaan Giri. Diikuti para abdinya, Jayengresmi mengayunkan kaki menuju Padhepokan Karang, Banten. Sedangkan Jayengsari dan Rancangkapti ditemani abdinya, Buras menuju Padhepokan Sokayasa, Banyumas.
Pemimpin Padhepokan Sokayasa bernama Kyai Akadiat dan berputra Cebolang. Cebolang bersama 4 orang santri (Saloka, Kartipala, Palakarti, dan Nurwitri) pergi tanpa pamit, sampailah di Wirasaba dan gunung Semeru. Cebolang kembali menginjakkan kaki di padepokan milik ayahnya, lantas kawin dengan Niken Rancangkapti (putera Sunan Giri). Cebolang mengajak istrinya bersama Jayengsari keluar dari Sokayasa menuju hutan Wanataka di lereng gunung Lawu. Mereka memilih menjadi pertapa di hutan itu. Seh Anggungrimang adalah nama baru Cebolang, dan Seh Mangunarsa merupakan nama baru Jayengsari.
Ki Bayi Panurta bersama istrinya sudah meninggal dunia. Posisi Ki Bayi sebagai kepala perdikan digantikan Jayengresmi untuk mengurusi bagian kerohanian, menjadi guru para santri. Sedangkan tugas mengurusi tata tertib dan ketentraman wilayah digantikan Jayengraga. Seh Amongraga ditemani istrinya pergi ke gunung Telamaya menemui Sultan Agung. Dikisahkan, setiap Kamis-Jumat Sultan Agung menyamar sebagai pendeta Kyai Cakrasoma menyambangi Padepokan Telamaya.
Seh Amongraga berniat menyambung keturunan Sultan Agung menjadi raja. Harapan itu bisa terlaksana jika sanggup memenuhi syarat yang berat. Seh Amongraga menjelma menjadi gendhon jantan dimakan Sultan Agung dan Ratu Kulon menurunkan Sunan Amangkurat I. Kemudian, Tembangraras menjadi gendhon betina dimakan Pangeran Pekik dan ratu Pandansari yang menurunkan Ratu Pangayun. Sultan Amangkurat I menikahi Ratu Pangayun, menurunkan Sunan Amangkurat II di Kartasura. Demikianlah, Pancasila bukanlah barang “kemarin sore”. Ia “menubuh” dalam Serat Centhini yang ikut ditembangkan (dibacakan) leluhur di hadapan masyarakat maupun penguasa untuk menghibur diri. Periode kerajaan, mendengarkan tetembangan merupakan salah satu resep melepas lelah yang menggelanyuti raga. Pancasila akhirnya bukan sekadar istilah, namun ruh yang kudu dijaga dan direalisasikan tujuan mulianya.