PAUD: Benteng Ideal dalam Menangkal Paham Radikal

PAUD: Benteng Ideal dalam Menangkal Paham Radikal

- in Narasi
1715
0
PAUD: Benteng Ideal dalam Menangkal Paham Radikal

Tindakan radikal yang jauh dari nilai kemanusiaan adalah musuh bersama. Dengan demikian upaya menangkal paham merupakan kebutuhan yang niscaya. Pelaksanaannya harus sistematis, proporsional, dan professional.

Salah satu sektor yang efektif sebagai upaya preventif adalah pendidikan. Sedangkan pendidikan yang baik mestinya dimulai sejak dini. Semua penting berperan baik sekolah, pemerintah, masyarakat, dan keluarga dalam menangkal paham radikal berbasis pendidikan anak usia dini (PAUD).

Konsepsi Edukasi

Anak usia dini merupakan masa usia emas manusia. Usia ini sangat penting untuk merangsang kemampuan berpikir anak secara optimal. Anak kecil sudah mempunyai kemampuan empati, meskipun masih sesuai dengan egosentrisnya. Kemampuan empati tersebut jika dikembangkan sejak dinin, maka akan membentuk ketahanan mental ke depannya. Selain itu akan muncul jiwa kemanusiaan terhadap sesama yang mampu menjadi benteng penangkal radikalisasi.

Anak usia dini senang bermain dengan berpura-pura menjadi orang dewasa. Anak sering meniru tingkah laku orang dewasa. Kegiatan menirukan tersebut menjadi kesempatan untuk belajar memahami orang lain dan menyalurkan rasa keingintahuannya. Konsekuensinya perlu media dan sosok yang tepat sebagai pihak yang ditiru. Anak diajak selektif agar kelak mampu membedakan mana sosok yang damai dan mana yang mengajarkan radikalisme.

Orang tua penting memprioritaskan pendidikan anak dalam keluarganya. Sekolah atau lembaga pendidikan bukanlah tempat penitipan anak yang mutlak. Bekal pengetahuan mesti dimiliki dan ditingkatkan oleh orang tua. Manajemen waktu juga penting guna menghadirkan kualitas interaksi dalam keluarga.

Upaya edukasi anak pada awalnya dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran anak dalam kehidupan sehari-hari (Goleman, dalam Ayriza, 2006). Langkah tersebut dapat diawali dengan mengembangkan lima wilayah kecerdasan emosional.

Pertama adalah kemampuan mengenali emosi diri. Kedua adalah kemampuan mengelola emosi. Ketiga adalah kemampuan memotivasi diri. Keempat adalah kemampuan mengenali emosi orang lain. Kemampuan ini sering pula disebut sebagai kemampuan berempati. Kelima adalah kemampuan membina hubungan.

Era kekinian menunjukkan bahwa pendidikan keluarga mengalami berbagai kendala dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada anak. Kendala tersebut menurut Murshafi (2009) antara lain kondisi ekonomi keluarga, sebagian wanita disibukkan oleh pekerjaan, tidak adanya ayah di rumah dalam waktu yang lama, dan melimpahkan tanggung jawab pendidikan sosial ke pihak sekolah. Kendala tersebut merupakan keniscayaan. Kuncinya tinggal bagaimana strategi para orang tua untuk mengatasinya.

Negara mesti hadir mendukung penuh optimalisasi pendidikan keluarga. Dukungan dapat diberikan dalam bentuk regulasi, fasilitasi, pengaturan sarana informasi, dan lainnya. Program positif oleh pemerintah daerah mesti diapresiasi, seperti pemberlakuan jam belajar masyarakat, magrib mengaji, dan lainnya.

Substansi dan Strategi

Edukasi sejak kecil berarti menerapkan pengetahuan yang dibutuhkan otak anak selama tahun-tahun awal perkembangan mereka. Pembelajaran yang tepat sejak dini diharapkan dapat menunjang perkembangan mental. Semua pihak memegang peran penting dalam mengupayakan strategi edukasi anak dalam rangka deradikalisasi.

Pertama adalah orang tua. Orang tua memegang peran sentral. Hal ini dikarenakan orang tua memiliki ikatan batin dan lebih banyak berinteraksi dengan anak. Orang tua penting memahami secara konsep dan aplikasi terkait kecerdasan emosional anak. Sinergi dapat dilakukan orang tua dengan sekolah, lembaga sosial, atau psikolog. Alih-alih memberikan pendidikan anti-radikal, orangtua jangan sampai memberikan keteladanan kekerasan dalam rumah tangga. Orang tua harus mampu menjadi panutan sekaligus teman. Apapun materi yang didapat anak di luar dengan demikian selalu terkomunikasikan dalam keluarga. Keluarga merupakan senjata utama dalam deradikalisasi.

Kedua adalah sekolah dan pendidik. Orientasi membangun kecerdasan emosional anak mesti dikuatkan oleh sekolah dan guru. Pendidikan mesti menerapkan pengembangan kecerdasan jamak secara seimbang, tidak hanya berpatokan pada kecerdasan intelegensia saja. Media berupa buku kendali anak dapat membantu mengenali dinamika anak sehari-hari. Komunikasi dengan orang tua penting diintensifkan agar terjadi kesinambungan pendidikan anak di sekolah dan rumah. Kurikulum anti kekerasan mesti ditonjolkan. Sekolah dapat melakukan pemantauan terkait dinamika berpikir anak guna mengidentifikasi masuknya ajaran radikal.

Ketiga adalah pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kurikulum mesti kondusif dan representatif bagi pengembangan kecerdasan emosial anak didik. Target-target capaian pendidikan penting tidak hanya diukur dalam nilai kuantitatif berbasis akademik. Penilaian kualitatif yang salah satunya mendeskripsikan perkembangan kecerdasan emosional anak juga penting disertakan. Buku dan kurikulum yang mengarahkan pada perdamaian mesti dikuatkan. Sebaliknya penting pengawasan dan penindakan penyebaran radikalisme melalui media pendidikan.

Pembelajaran yang tepat sejak dini diharapkan dapat menunjang perkembangan mental anak. Outputnya kelak ketika menginjak usia remaja hingga dewasa akan mampu mengelola emosi diri dan mendayagunakannya dalam hal-hal positif. Ajaran kekerasan umumnya merasuk pada seseorang yang emosionalnya sering meledak-ledak dan kurang terkendali. Kuncinya adalah optimalisasi peran orang tua membangun ketahanan keluarga guna mendidik deradikalisasi.

Facebook Comments