Tudingan Pemilu syirik akbar yang datang dari kelompok ekstrem tidak bisa dianggap sepele. Tersebab, tudingan itu rawan dijadikan pembenaran untuk melakukan tindakan intoleran bahkan kekerasan di momen Pemilu.
Narasi Pemilu syirik Akbar juga bisa memunculkan gelombang beser golput yang mempengaruhi kualitas demokrasi. Pendek kata, narasi tersebut cenderung kontraproduktif oasa wacana dan agenda demokratisasi yang selama ini berjalan.
Maka, penting kiranya memahami Pemilu dari sudut pandang Islam, terutama fiqih siyasah. Terutama untuk menjawab pertanyaan, benarkah Pemilu adalah bentuk kemusyrikan?
Jika kita mau berpikir secara analogis, Pemilu sebenernya punya dasar legalitasnya dalam Islam. Lebih spesifik Islam Ahlussunah wal Jamaah. Dalam perspektif fiqih siyasah Aswaja, syarat terbentuknya negara itu secara administratif ada tiga.
Pertama, adanya khalifah atau pemimpin yang mampu menjalankan roda pemerintahan. Kedua, ulil amri yakni dewan pemerintahan yang bertugas membantu khalifah dan menjalankan jalannya pemerintahan.
Ketiga, ahlul aqdi wal halli yaitu dewan perwakilan yang berwenang membuat undang-udang sekaligus mengawasi kepemimpinan khalifah dan pemerintahan ulil amri. Sekilas, tiga syarat ini mirip dengan teori pembagian kekuasaan ala Montesquieu yang lantas dikembangkan oleh John Locke.
Legalitas Keislaman dalam Pemilu di Indonesia
Dalam konteks demokrasi di Indonesia, khalifah bisa merujuk pada jabatan presiden dan wakil presiden atau jabatan eksekutif lainnya, yaitu gubernur dan bupati atau walikota. Ulil amri, merujuk pada aparatur pemerintah seperti kementerian dan lembaga. Serta ahlul aqdi wal halli merujuk pada dewan perwakilan rakyat dari pusat hingga daerah.
Dalam konteks Indonesia, semua struktur kepemimpinan dan pemerintahan itu dibentuk melalui proses politik demokrasi, baik langsung maupun tidak langsung. Presiden, gubernur, bupati, dan walikota dipilih langsung oleh publik. Begitu juga anggota legislatif. Sedangkan aparatur pemerintah diangkat melalui beragam seleksi dan mekanisme pemilihan.
Ini artinya secara bentuk dan konsep struktur kenegaraan di Indonesia mirip seperti yang diajarkan di kitab-kitab fiqih siyasah karangan para ulama ahlussunah. Bedanya hanya satu, khilafah, ahlul aqdi wal halli dan ulil amri yang mewujud pada presiden, kepala daerah, dan wakil rakyat itu dipilih langsung oleh masyarakat melalui mekanisme Pemilu, Pilpres, atau Pilkada.
Maka, alih-alih dianggap simbol kemusyrikan, Pemilu justru lebih cocok disebut sebagai manifestasi ketauhidan. Hakikat Pemilu adalah mencari sosok yang bisa menjadi wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardhi) yang tugasnya adalah mengatur hubungan antar sesama manusia (muamalah).
Di masa Rasulullah, seluruh peran kepemimpinan (sosial, politik, dan spiritual) itu dipegang oleh satu sosok yakni Nabi Muhammad. Sepeninggal Rasulullah, otomatis umat Islam tidak memiliki sosok pemimpin spiritual, politik, dan sosial. Maka, peran Rasulullah itu digantikan dengan keberadaan pada khalifah, ulil amri, dan juga ahlul aqdi wal halli.
Kontribusi Umat Mewujudkan Pemilu Damai
Dari sudut pandang ketauhidan, pemilihan pemimpin dan wakil rakyat penting karena pintu kenabian dan kerasulan telah ditutup. Namun, di saat yang sama umat tetap membutuhkan figur pemimpin dan pemerintahan yang mencegah terjadinya kekacauan. Maka, Pemilu menjadi mekanisme terbaik dan jalan tengah untuk mengakomodasi kepentingan tersebut.
Yang wajib kita lakukan sebagai umat Islam adalah memastikan proses Pemilu dan suksesi kekuasaan itu berjalan kondusif; aman, damai, lancar. Bagaimana caranya?
Pertama, kita tentu wajib berpartisipasi aktif dalam Pemilu. Partisipasi aktif ini tidak semata diartikan sebagai memberikan hak suara, namun juga membangun narasi toleran di tengah perbedaan pilihan. Maka, sebagai warga kita juga harus berkontribusi dalam mengampanyekan slogan beda pilihan tetap toleran sebagai wujud upaya mewujudkan Pemilu damai.
Kedua, memposisikan komitmen persaudaraan dan kerukunan di atas kepentingan kontestasi kekuasaan. Baik elite maupun masyarakat sipil, hendaknya menahan diri untuk tidak menjadikan sentimen identitas apalagi keagamaan sebagai komoditas politik guna meraih kekuasaan.
Sebaliknya, para elite dan masyarakat umum harus memahami politik sebagai jalan fastabiqul khoirot alias perlombaan dalam kebajikan. Paradigma itu akan menggunakan kira dari praktik politik kotor seperti kampanye hitam dan sebagainya. Terkahir, memastikan pilihan kita didasari oleh pertimbangan rasional, bukan semata emosional. Rasionalitas dalam menentukan pilihan adalah kunci demokrasi yang sehat dan berkualitas. Ketika mayoritas pemilih bersikap rasional, maka narasi politik identitas apalagi yang dibalut sentimen kebencian dan fitnah tidak akan laku lagi.