Pendidikan Pesantren Mencegah Pembajakan Agama

Pendidikan Pesantren Mencegah Pembajakan Agama

- in Narasi
448
3
Ilustrasi

Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan tertua telah terbukti peranannya dalam mencegah pembajakan agama di kalangan umat Islam di Indonesia. Fatwa resolusi jihad 22 Oktober 1945 oleh kalangan pesantren (baca: kini diperingati sebagai Hari Santri Nasional) menjadi salah satu bukti bahwa pesantren menjadi basis keagamaan yang mementingkan mashlahat (kebaikan) bagi khalayak dan menghindarkan NKRI dari mafsadat (kerusakan).

Sejarah mencatat, pesantren dan santri tidak hanya berperan dalam memperluas ajaran Islam melalui keteladanan akhlak mulia, serta dakwah di mimbar keagamaan dan institusi-institusi pendidikan Islam, namun juga memiliki peranan penting dalam usaha merebut kemerdekaan Indonesia. Hal ini karena kalangan santri merupakan kelompok yang dikenal dengan rasa nasionalisme yang tinggi. KH. Wahid Hasyim (1950) menuturkan, jiwa nasionalisme di pesantren (santri) terbangun dari tiga nilai. Yaitu persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), antar sesama anak bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan antar sesama manusia (ukhuwah insaniyah).

Hanya saja, baru-baru ini umat beragama terhenyak oleh ulah ustadz kekinian yang bahkan tanpa mengenyam pendidikan pesantren dan tidak memiliki bekal pemahaman keagamaan memadai tapi seolah berteriak lantang membela agama. Ironinya, dakwah yang disampaikan oleh ustadz tersebut merupakan narasi beragama Islam yang hitam-putih dan miskin toleransi. Di sisi lain, gencar pula pembajakan agama oleh kelompok radikal yang berusaha unruk merobohkan kesatuan dan persatuan NKRI serta ideologi Pancasila dengan narasi hoaks dan adu domba dengan memanfaatkan sentimen keagaamaan. Hal ini membuat kita perlu merefleksikan kembali sejauhmana efektivitas pendidikan pesantren dalam menangkal paham-paham radikal.

Akhlak yang Utama

Dalam kultur pesantren, kebenaran dalam agama dan cara beragama bukanlah sesuatu yang ada untuk dibentur-benturkan dengan kesalahan pemahaman. Namun, kebenaran itu harus pula didialogkan dengan santun, tidak memberatkan, dan tidak pula menimbulkan kebencian dan permusuhan. Kalangan pesantren selalu menganggungkan prinsip al-adabu fauqa al-ilmi (adab/tata krama harus di atas ilmu). Mengingat, meski seseorang memiliki ilmu yang paripurna, tapi apabila tidak disampaikan dengan cara yang beradab, niscaya tidak akan ada orang-orang yang berkenan menerima kebenaran tersebut.

Baca juga :Grup WA Fisabilillah Contoh Konkrit Pembajakan Agama

Meyakini Islam sebagai satu agama yang mutlak benar merupakan satu persoalan yang tidak dapat diperdebatkan. Akan tetapi, cara beragama merupakan persoalan lainnya. Seseorang yang disebabkan memiliki budaya berbeda dengan seseorang lainnya tentu akan memiliki perbedaan sudut pandang dalam pelaksanaan kehidupan beragama. Dan, itulah yang selalu ditekankan di kalangan pesantren, bahwa berbeda belum tentu salah. Perbedaan beragama bisa jadi lahir karena kita belum memahami suatu ritual atau pandangan keagamaan dengan pemahaman yang luas dan mendalam. Semakin luas ilmu agama yang dimiliki niscaya akan semakin bijaksana dan luas pula cara memandang suatu permasalahan agama. Tidak lagi memakai sistem benar-salah.

Pembumian narasi keagamaan yang santun ini bisa lahir karena lingkungan pesantren telah membiasakan para santri untuk hidup rukun dengan bermacam latar belakang suku, budaya, dan bahasa. Bahkan, ibarat satu tubuh, jika satu sakit niscaya sakitlah sekujur tubuh. Ungkapan ini sangatlah tidak berlebihan untuk menggambarkan persaudaraan dan kesetiakawanan para santri yang senantiasa dipupuk melalui hidup bersama selama 24 jam dalam kurun waktu bertahun-tahun. Tak heran, sesama santri selalu saling gotong-royong dan tolong-menolong dalam kebaikan.

Inilah mengapa kalangan santri akan sangat sulit terpapar paham radikalisme karena mereka terbiasa dengan kehidupan yang serba saling mengutamakan kepentingan bersama. Di sisi lain, adanya seorang kiai sebagai potret teladan yang hidup bersama mereka selama 24 jam juga menjadi inspirasi mereka dalam berperilaku sehari-hari. Kiai pengasuh pondok pesantren adalah sosok yang berbudi pekerti tinggi dan menyatu dengan lingkungan masyarakat. Bahkan, seringkali beliau ditunjuk menjadi tokoh masyarakat tanpa harus meminta atau melalui mekanisme pemilihan dan musyawarah sebab keluhuran akhlak.

Kiai juga menjadi figur yang tak segan-segan menghukum santri apabila melanggar peraturan pesantren melalui mekanisme ta’zir, terutama bagi para santri yang suka menjadi sumber masalah. Meski demikian, kiai tidak lantas menyalahkandan membenci santri tersebut, justru beliau mendoakan santri tersebut dan seluruh santri lainnya agar segera mendapat hidayah dari Allah Swt. Inilah potret akhlak luhur kiai dan selalu memikirkan santrinya terlepas bagaimanapun kebiasaan santri ketika di pondok pesantren

Nah, pikiran yang selalu mementingkan kepentingan umat yang telah dilatih dalam lingkup kecil kehidupan bermasyarakat melalui hidup bersama 24 jam di pesantren, serta tak henti-hentinya bisa mendengar nasihat (baca: ilmu) dan melihat role model perilaku yang santun menjadi landasan moral kuat bagi santri dalam berperilaku dan menyikapi perihal cara beragama. Kegiatan-kegiatan pendidikan pesantren tersebut tentu saja sangat efektif untuk mencegah umat Islam dari narasi pembajakan agama yang berpotensi memecah-belah kebinekaan NKRI.

Wallahu a’lam.

Facebook Comments