Perempuan, Kunci Lahirnya Generasi Cerdas Bermedia

Perempuan, Kunci Lahirnya Generasi Cerdas Bermedia

- in Narasi
1248
0

Era digital telah membawa banjir informasi. Kini, orang tak lagi mencari informasi, namun informasi berjejalan berebut perhatian. Sementara itu, kepopuleran media sosial semakin menambah derasnya arus informasi. Sayangnya, tak jarang konten yang dibagikan di media sosial adalah konten hoax, provoatif, mengadu domba, bahkan mengandung paham radikal. Akibatnya, muncul fenomena saling hujat, saling serang, sampai aksi-aksi radikal bermula dari media sosial.

Asep Salahudin dalam tulisan berjudul Menertawakan Diri Sendiri (Kompas, 23/4/2018) memberi gambaran menarik tentang era kebebasan berpendapat dan era media sosial sekarang. Ia memetaforkan kemelut yang terjadi saat ini lewat sepakbola, di mana semua penonton tampil riuh sebagai komentator dari kesebelasan yang tak kunjung beranjak mutunya. Sedangkan, wasit sebagai pengambil keputusan sering ragu sehingga oleh kedua belah pihak dianggap vonisnya selalu merugikan. Kerumunan penonton partisan selalu siaga melakukan tawuran dengan meneriakkan yel-yel kebencian. Siap menyulut stadion yang justru dibangun dari pajak mereka sendiri.

Metafora tersebut seakan persis menggambarkan apa yang terjadi di media sosial beberapa tahun ini. Medsos tak sekadar ruang berkomunikasi dan berbagi, namun telah menjadi alat menyebarkan konten-konten negatif, propaganda politik, hoax, kebencian dan sentimen primordial, bahkan paham radikal. Asep Salahudin menambahkan, karakteristik media sosial, entah status di FB, cuitan di Twitter, atau kabar di Whatsapp sesungguhnya bukan bentuk bahasa tulisan, namun lebih dekat dengan bahasa lisan yang ditulis serampangan. Di sana, tak ada kedalaman argumentasi dan refleksi. Menyebarnya konten negatif ditambah mudahnya orang berkomentar dengan bahasa serampangan, membuat ruang publik atau linimasa jadi sesak, tegang, dan tak jarang memunculkan keributan.

Literasi media

Di tengah kondisi tersebutlah, tradisi literasi media menjadi mutlak ditumbuhkan agar masyarakat kita tak kian larut di tengah kemelut. Literasi media adalah kemampuan memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Tradisi literasi media akan menjadi pencerahan bagi kejernihan nalar setiap orang untuk lebih kritis dan arif dalam menilai informasi yang didapat dari media. Seperti ditulis Potter (2004), orang yang melakukan kegiatan literasi media diharapkan memiliki kecakapan analysis, evaluation, grouping, induction, deduction, synthesis, dan abstracting terhadap setiap informasi yang dikonsumsi. Indikator-indikator inilah yang membentuk nalar kritis dalam bermedia.

Membangun tradisi literasi di masyarakat bukan perkara gampang. Meski pemerintah telah mencanangkan program penguatan literasi, tanpa kesadaran dari masyarakat sendiri, budaya literasi akan sulit tumbuh. Dibutuhkan strategi menyeluruh untuk benar-benar membangun budaya literasi, termasuk literasi bermedia. Dalam hal ini, keluarga sebagai unit sosial terkecil menempati peran strategis. Sebab dari keluarga, setiap individu atau anak mendapatkan didikan pelbagai norma dan pengetahuan yang kelak membangun pengetahuan dan karakternya ketika dewasa.

Perempuan

Berbicara tentang pendidikan literasi dalam keluarga, perempuan menempati peran penting. Melalui pelbagai tabiat, kecenderungan, dan karakternya, perempuan berperan strategis dalam mendidik anak dan membentuk generasi cerdas bermedia. Kata “perempuan” sendiri menyiratkan adanya kemampuan mengasuh dan mendidik. Kata “perempuan”, dari kata “empu” yang berasal dari kata Sansekerta yang berarti mulia, berilmu tinggi, pembuat suatu karya agung. Tabiat perempuan adalah meramu, menempa, dan membentuk jiwa-jiwa kehidupan. Potensi besar tersebut membuat kaum perempuan begitu menentukan masa depan suatu generasi. Nabi Muhammad Saw. bahkan mengatakan wanita adalah tiang negara yang menentukan baik buruknya suatu negara.

Peran perempuan dalam membangun generasi cerdas bermedia adalah sebagai teladan, pendamping, sekaligus pendidik. Untuk menjalankan peran tersebut, perempuan harus punya bekal pengetahuan. Di sini, terlihat pentingnya perempuan mengenyam pendidikan, seperti disuarakan R.A. Kartini lebih dari seabad lalu. Pendidikan membekali perempuan banyak hal, termasuk hal paling mendasar seperti kecerdasan bernalar, menilai, membandingkan; kecerdasan literasi. Di tengah era informasi, pendidikan menjadi bekal perempuan berpikir kritis terhadap informasi yang didapat, sehingga tak mudah terprovokasi dan larut dalam kemelut era informasi sekarang.

Ketika perempuan punya bekal tersebut, ia akan menjadi seorang ibu yang sanggup mendidik, membimbing dan menularkan kecerdasan dan sikap kritisnya pada anaknya. Kedekatan sosok ibu dengan anak secara emosional adalah modal berharga untuk menanamkan tradisi literasi. Seorang ibu bisa meneladankan dan membiasakan membaca pada anak. Seorang ibu juga bisa membiasakan diskusi, dialog, atau musyawarah bersama anak setiap menghadapi persoalan. Melalui kelembutan dan ketajaman emosinya, sosok ibu berpotensi menanamkan nilai empati, toleransi, dan kasih sayang pada sesama. Kebiasaan berdialog dan musyawarah membuat anak belajar cara menyampakan pendapat secara sopan, beradab, dan mampu menghargai pendapat yang berbeda.

Jika sejak dini anak dibiasakan pada hal-hal tersebut, anak akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang berpengetahuan luas, berpikiran terbuka, sekaligus kritis. Karakter anak terbentuk menjadi pribadi yang tak sekadar berwawasan luas, namun juga punya adab, etika, maupun empati saat berkomunikasi atau berdialog dengan orang lain. Ketika kemudian anak mulai mengenal media sosial, ia sudah punya benteng dari pelbagai konten negatif yang beterbaran di ruang maya. Di samping itu, anak juga punya sopan santun di ruang maya atau media sosial. Anak akan terhindar dari sikap-sikap egoistis, emosi, atau gampang diprovokasi sebagaimana belakangan menjangkiti masyarakat di era medsos.

Facebook Comments