Qurban dan Semangat Penghargaan Terhadap Tradisi (Bag 1)

Qurban dan Semangat Penghargaan Terhadap Tradisi (Bag 1)

- in Keagamaan
2703
0

Tidak lama lagi umat Muslim dunia akan melaksanakan suatu ritual penyembelihan hewan kurban (udhhiyah) tepat pada 10 (yaumun-nahr), 11, 12, 13 (yaumut-tasyrik) Dzulhijjah dalam hitungan kalender Hijriyyah. Ia adalah satu dari serangkaian ritual yang ada pada ‘momentum’ penting dalam “laku nusuk/manasik” umat Muslim. Kenapa demikian? Sebab ada ritual-ritual lain yang mengiringi ritual penyembelihan hewan kurban, seperti puasa [yang populer adalah puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, yang disebut puasa Arafah], bertakbir-tahmid dan menunaikan shalat dua rakaat pada 10 Dzulhijjah. Itu semua merupakan bentuk nusuk/manasik [baca: ketaatan, kepatuhan, ibadah] pada Allah.

Ada beberapa ‘sebutan’ terkait dengan momentum ini. Ada yang menyebutnya Idul Adha. Ada pula yang menyebutnya Idul Qurban [dengan huruf ‘Q’]. Ada juga yang menyebutnya Hari Raya Besar/Agung. Pun ada yang menyebutnya Hari Raya Kurban [dengan hudurf ‘K’].

Meski jika dipreteli secara semantis masing-masing ‘sebutan’ tersebut punya makna sendiri-sendiri. Misalnya: kata Adha [dari kata adhha-yudhhi-udhhiyah] bermakna ‘menyembelih hewan kurban’, sementara kata Qurban [dari kata qaruba-yaqrabu-qurban] bermakna ‘mendekat dengan sangat’ (Syauqi Dhaif, 2011; hlm. 75 dan 412, Ibnu Manzhur, 2004; hlm. 44 dan 372) yang—oleh masyarakat kita—kadang dipahami makna semantiknya itu ‘berkurban’ karena mungkin ada kemiripan bunyi. Namun secara subtansial sama, yakni sama-sama Allah-lah yang jadi tujuannya. Artinya, ritual penyembelihan hewan kurban (adhha) tidak lain sebagai bentuk nusuk/manasik untuk mendekatkan diri (qurban) pada Sang Pencipta.

Ritual Purba Yang Mentradisi

Meski umat muslim [baca: pengikut risalah Nabi Muhammad] tiap tahunnya selalu melaksanakan ritual ini, namun diakui atau tidak, berkurban [adhha atau qurban] bukanlah suatu amalan baru dalam ‘risalah’ Nabi Muhammad. Ia adalah ritual purba yang men-tradisi dari zaman ke zaman, dan bahkan dari berbagai umat. Alqur’an sendiri mengatakan:

“dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (Q.S. al-Hajj [22]:34)

Penggunaan kata ja’alna mansakan (telah Kami syariatkan) yang lalu disematkan dengan kata likulli ummah (bagi tiap-tiap umat) mengindikasikan pada kepurbaan ritual tersebut. Bagaimanapun, yang menjadi mukhatab (audien) dalam konteks [ayat] ini adalah Nabi Muhammad beserta umatnya, termasuk kita. Sehingga, yang dimaksud umat dalam hal ini adalah umat-umat sebelum Nabi Muhammad, atau umat-umat pra “Islam”.

Ritual Kurban di Masa Nabi Adam

Karena dalam keyakinan umat muslim sejarah manusia pertama adalah Nabi Adam, maka ritual kurban sejatinya sudah ada sejak masa Nabi yang pertama ini. Hal ini terjadi ketika ada sengketa pernikahan di antara kedua anak laki-lakinya, Habil dan Qabil.

Konon, Nabi Adam dikaruniai empat anak kembar silang, Qabil kembar dengan Iklima dan Habil kembar dengan Labuda. Lantaran Allah melarang untuk menikahkan anak perempuannya dengan saudara kembarnya, lalu diperintahkanlah Nabi Adam supaya menikahkan Qabil dengan Labuda (saudara perempuan kembar Habil), dan Habil dengan Iklima (saudara perempuan kembar Qabil). Namun Qabil menolak. Ia tetap ingin menikahi saudara kembar perempuannya yang cantik. Dari sinilah kemudia Nabi Adam menyuruh kedua anak laki-lakinya itu untuk berkurban, dengan tujuan: siapa yang kurbannya diterima Allah, maka ialah yang berhak menjadi suami Iklima.

Keduanya pun menuruti perintah sang ayah. Mereka menaruh persembahan kurban di atas sebuah bukit. Habil berkurban dengan kambing berwarna putih, sementara Qabil berkurban dengan makanan hasil pertanian. Singkat cerita, kurban Habil-lah yang diterima saat itu. Tandanya adalah datangnya api dari langit, lalu menyambar persembahan kurban. Tentunya kurban yang dipersembahkan oleh Habil.

Kurban di Masa Nabi Idris

Ritual kurban pun ternyata pernah dilakukan oleh kaum Nabi Idris. Mereka yang taat kepada Allah diperintahkan untuk berkurban, antara lain dengan dupa atau wewangian (al-bakhur), hewan sembelihan (adz-dzabaih), tetumbuhan yang berbau wangi (ar-rayyahin) seperti bunga mawar (al-ward), biji-bijian (al-hubub) semisal gandum (al-hinthah), dan buah-buahan (al-fawakih) seperti anggur (al-inab).

Kurban Pada Masa Nabi Nuh

Pasca diterpa banjir yang menenggelamkan daratan tempat umat Nabi Nuh berpijak, ia membuat sebuah tempat untuk menaruh persembahan kurban. Kemudian ia dan umatnya yang taat melakukan ritual kurban dengan meletakkan persembahan di tempat yang sudah dibuat, lalu persembahan kurban tersebut dibakar.

(bersambung)

Facebook Comments