Ada perasaan gamang ketika akan meninggalkan tahun 2023 dan memasuki tahun baru 2023. Bagaimana tidak? Sebelum kita memasuki tahun 2023, berbagai prediksi yang kurang baik tentang kondisi tahun depan sudah kerap kita dengar. Dari sisi ekonomi, banyak kalangan memprediksikan tahun 2023 sebagai tahun kegelapan. Penyebabnya apalagi jika bukan resesi global yang diakibatkan gejolak geopolitik dunia.
Sedangkan dari sisi politik, tahun 2023 merupakan tahun politik yang sudah dapat dipastikan akan panas dan sengit mengingat ketatnya kontestasi Pileg dan Pilpres 2024. Pemilu dan Pemilihan Presiden memang baru akan dilaksanakan Februari 2024, namun suhu politik nasional sudah memanas sejak sekarang. Bisa diprediksikan, suhu politik itu akan mencapai titik didihnya pada tahun 2023.
Belum lagi potensi terulangnya praktik politik kotor terutama politik identitas dan politisasi agama yang kemungkinan besar akan terjadi di Pilpres 2024. Jika melihat kondisi saat ini, kemungkinan terulangnya politisasi agama dan politik identitas itu sangat terbuka lebar. Maka, kondisi bangsa menjadi taruhannya.
Membangun Optimisme di Tahun 2023
Meski tahun 2023 diprediski akan penuh gejolak baik dari segi ekonomi dan politik, namun kita tentu tidak boleh kehilangan sikap optimis. Dalam situasi penuh badai pun, kita tetap harus merawat keyakinan dan harapan. Toh, bangsa ini merupakan bangsa besar yang kenyang oleh cobaan dan ujian. Dan, sampai hari ini kita masih bertahan, bahkan justru kian kuat dan mapan.
Dari sisi ekonomi, ancaman resesi global tampaknya tidak harus selalu disikapi dengan phobia atau hysteria massal. Dari catatan pertumbuhan ekonomi selama dua tahun terakhir, tampaknya kita patut optimis ekonomi kita tidak akan terjerembab terlalu dalam layaknya negara-negara di benua Amerika dan Eropa. Dalam dua tahun belakangan angka pertumbuhan ekonomi nasional masih di level positif yang menandakan bahwa secara fundamental ekonomi kita siap untuk menghadapi resesi global tahun 2023.
Justru dari segi politik dan agama yang perlu mendapat perhatian serius dari seluruh elemen bangsa. Kita perlu memikirkan secara serius bagaimana mencegah maraknya polarisasi yang dibumbui dengan provokasi dan ujaran kebencian. Seperti kita tahu, dalam beberapa tahun terakhir, wacana politik dan keagamaan saling berkelindan satu-sama lain. Isu agama kerap dipahami dalam bingkai politik. Sebaliknya, isu politik pun kerap dikaitkan dengan urusan keagamaan.
Memperkuat Agenda Moderasi Beragama
Disinilah pentingnya menguatkan aspek moderasi beragama, utamanya di kalangan umat Islam. Yakni upaya mewujudkan cara pandang dan praktik keagamaan yang tidak berlebihan, jauh dari ekstremitas dan dapat menerima perbedaan secara toleran dan terbuka. Moderasi beragama merupakan prasyarat mewujudkan tata keagamaan yang inklusif dan pluralis sebagai mekanisme mengelola perbedaan di tengah umat.
Lantas, apa hubungannya moderasi beragama dengan politik? Jadi begini, antara ekstremisme beragama dan fanatisme politik berbasis identitas (keagamaan) itu pada dasarnya saling berkelindan. Umat beragama yang ekstrem umumnya juga memiliki pandangan politik yang ekstrem. Misalnya saja, menolak atau anti dipimpin oleh pemimpin yang bukan seagama atau golongan. Umat beragama yang memiliki kecenderungan ekstrem juga mudah diadu-domba dan diprovokasi oleh narasi-narasi politik identitas dan politisasi agama.
Argumen di atas bukan asumsi apalagi opini semata. Data menunjukkan bahwa politik identitas dan politisasi agama laku keras di wilayah-wilayah yang memang indeks intoleransi, radikalisme, dan ekstremismenya tergolong tinggi. Sebaliknya, di wilayah yang masyarakat dan umat beragamanya memiliki kecenderungan moderat, narasi dan jargon politik identitas apalagi politisasi agama cenderung tidak laku.
Jadi, antara ekstremisme agama dan politik kotor (politik identitas dan politisasi agama) itu memiliki relasi yang mutualistik; saling tergantung, saling membutukan, dan saling memberikan manfaat. Di satu sisi, banyak elite politik baik level daerah maupun nasional yang menjadikan kaum radikal-ekstrem sebagai mesin politik mereka dalam meraih dukungan. Mereka menggalang aksi-aksi jalanan sebagai bentuk dukungan terhadap kandidat tertentu sekaligus sebagai semacam psy-war bagi lawan politik.
Hal itu mewujud ke dalam fenomena mobokrasi, yakni pengerahan kekuatan massa sebagai alat untuk menekan lawan politik atau pemerintahan yang sah. Mobokrasi jelas berbahaya bagi tatanan kenegaraan dan kebangsaan. Apalagi yang majemuk seperti Indonesia.
Di sisi lain, golongan radikal-ekstrem menggunakan kekuatan politik tertentu sebagai kendaraan politik untuk mewujudkan agenda dan cita-cita mereka. Dengan kata lain, kelompok ekstrem-radikal berusaha mendompleng elite atau partai politik tertentu untuk mendapatkan legitimasi di muka publik. Jika legitimasi publik itu berhasil diraih, langkah selanjutnya ialah mereka akan mendominasi ruang publik kita. Maka, suhu panas tahun politik 2023 kiranya bisa diredam jika kita (pemerintah dan masyarakat sipil) serius menggalakkan moderasi beragama.