Diterbitkannya SKB 3 Menteri yang mengatur seragam dan pakaian beratribut agama di sekolah ialah langkah maju yang patut diapresiasi. Sudah terlalu lama kita dibuat gelisah oleh peraaturan-peraturan sekolah maupun pemerintah daerah yang cenderung diskriminatif dan mengarah pada upaya pemaksaan atau intimidasi atas nama agama. Mencuatnya kasus pemaksaan jilbab bagi siswi non-muslim di SMKN 2 Padang harus kita akui hanyalah puncak dari fenomena gunung es dari runyamnya peraturan sekolah dan pemda terkait ekspresi keberagamaan di lingkungan sekolah.
Di sejumlah daerah di Indonesia, sangat mudah ditemui aturan-aturan sekolah yang kerap tidak sensitif dan adaptif pada pluralitas agama alias tidak ramah pada perbedaan. Fenomena itu sebenarnya berakar dari perubahan lanskap sosial, politik dan keagamaan yang terjadi di era Reformasi. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengatur wilayahnya sendiri tanpa intervensi langsung dari pusat. Mekanisme desentralisasi kewenangan melalui otonomi daerah memungkinkan tiap-tiap daerah menyusun peraturan dan regulasinya masing-masing.
Cilakanya, momentum otonomi daerah itu juga berbarengan dengan menguatnya gelombang islamisasi dan gerakan untuk menjadikan syariah sebagai hukum formal. Pertemuan antara otonomi daerah dan agenda formalisasi syariah inilah yang lantas melahirkan berbagai bentuk perda-perda islami (syariah) yang kerap diskriminatif pada kaum non-muslim dan kelompok minoritas. Berbagai peraturan di sekolah seperti kewajiban melaksanakan sholat dhuha hingga kewajiban memakai busana muslim bagi seluruh siswa dan siswi termasuk bagi kelompok non-muslim ini juga merupakan imbas dari maraknya perda syariah di sejumlah wilayah di Indonesia.
Hayatun Ni’mah dan Bahjatul Madhiah dalam makalah berjudul “Perda Berbasis Syariah dan Hubungan Negara-Agama dalam Perspektif Pancasila” menyebutkan bahwa banyak peraturan daerah berbasis syariah yang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan tidak menjiwai spirit Pancasila. Termasuk peraturan daerah yang menyasar pada guru, murid dan tenaga kependidikan di sekolah. Fenomena ini cukup mengkhawatirkan lantaran kita tahu Indonesia merupakan negara majemuk. Meski Islam merupakan agama mayoritas, namun peraturan yang terlalu diskriminatif pada kaum minoritas tidak pelak akan menimbulkan kecemburuan sosial yang tidak menutup kemungkinan akan berakhir menjagi segregasi sosial.
Maka dari itu, penerbitan SKB 3 Menteri idealnya kita pahami dari perspektif upaya penegakan konsep hak asasi manusia (HAM). Yakni bahwa kebebasan dalam beragama dan mengekspresikan keyakinan atau kesalehannya di muka umum merupakan hak dasar manusia yang tidak boleh diintervensi oleh siapa pun. Maknanya secara lebih spesifik ialah, tidak ada satu pihak bahkan negara sekalipun yang berhak memaksa atau melarang seseorang untuk mengekspresikan keberagamaan dan kesalahennya di muka umum sepanjang itu tidak menyalahi aturan hukum yang berlaku. Pembacaan SKB 3 Menteri dari aspek penegakan HAM ini penting agar kita tidak gagal dalam memahami esensi dan subtansi dari peraturan tersebut.
Menelaah Aspek HAM dan Merdeka Belajar dalam SKB 3 Menteri
Abdul Aziz Sachedina dalam buku Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu klausul dalam konsep universalitas HAM. Kebebasan beragama yang dimaksud dalam hal ini ialah otonomi seseorang untuk memilih satu agama tertentu, beribadah sesuai keyakinanya dan mengekspresikan kesalehannya di ruang publik. Sachedina menegaskan bahwa dalam konsep negara bangsa (nation state) relasi antara agama dan negara lebih cenderung bersifat simbiosis-mutualistik, alias saling tergantung dan menguntungkan.
Agama di satu sisi membutuhkan negara sebagai pelindung, dan negara butuh agama sebagai sumber moral. Argumen Sachedina ini kiranya bisa kita tarik sebagai justifikasi logis dalam konteks SKB 3 Menteri. Yakni bahwa SKB 3 Menteri ialah bentuk keberpihakan negara untuk menegakkan HAM warganegara, terutama dalam konteks kebebasan beragama dan mengekspresikan keberagamaannya di muka publik.
Selain aspek HAM, menarik untuk memahami SKB 3 Menteri ini sebagai bagian dari agenda “Merdeka Belajar” sebagaimana dikampanyekan oleh Kemendikbud belakangan ini. Filosofi gerakan “Merdeka Belajar” ialah memberikan kesempatan seluas-luasnya dan senyaman-nyamannya kepada anak dirik untuk belajar dengan tenang, santai, dan gembira tanpa ada tekanan, tentunya dengan memperhatikan minat alamiah. Merdeka Belajar juga bermakna bahwa anak didik harus dikembangkan minat dan bakatnya tanpa ada paksaaan dari luar, alih-alih kesadaran pribadi. Konsep “Merdeka Belajar” ini tentunya tidak hanya mengacu pada ranah akademik, namun juga mencakup ekosistem pendidikan dan sekolah secara keseluruhan.
Tentunya sulit membayangkan anak didik bisa bebas belajar dan merasa nyaman bersekolah jika masih harus berhadapan dengan berbagai disrkiminasi, intimidasi bahkan persekusi yang dilatari oleh persoalan sepele seperti seragam dan atribut keagamaan. Bagaimana anak didik bisa mengembangkan minat dan bakatnya jika urusan pemakaian jilbab saja masih belum selesai? Maka dari itu, penting untuk memahami SKB 3 Menteri ini sebagai upaya mendesain sekolah yang memerdekaan. Yakni sekolah yang tidak hanya adaptif dan responsif pada kemajemukan, namun juga memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi anak didik untuk menjadi dirinya sendiri, termasuk dalam beragama dan mengekspresikan keberagamaannya.
Konsepsi sekolah yang memerdekaan ini kiranya akan menjadi jembatan penting untuk mewujudkan ekosistem pendidikan humanis yang menghargai anak didik layaknya manusia yang otonom dan independen. Perspektif humanisme dalam pendidikan sangat penting karana anak didik pada dasarnya ialah manusia yang memiliki jiwa dan nurani bukan robot yang bisa diperintah dan dikendalikan sekehendak hati. Dengan memanusiakan anak didik, maka tujuan awal pendidikan yakni mencetak sumber daya manusia yang berkarakter dan berkualitas unggul niscaya akan semakin mudah dicapai.