Sukarno, Pancasila dan Strategi Melawan Radikalisme-Terorisme

Sukarno, Pancasila dan Strategi Melawan Radikalisme-Terorisme

- in Narasi
1444
0
Sukarno, Pancasila dan Strategi Melawan Radikalisme-Terorisme

Bulan Juni merupakan bulan penting bagi bangsa Indonesia. Di tanggal 1 Juni, kita merayakan hari lahir Pancasila. Sedangkan di tanggal 21 Juni kita merayakan haul Sukarno, Bapak Revolusi yang sekaligus juga perumus Pancasila. Dikatakan perumus lantaran Sukarno menegaskan bahwa Pancasila merupakan saripati dari pemikiran, tradisi dan budaya Nusantara. Maka, bulan Juni layak disebut sebagai “Bulan Pancasila” dan “Bulan Sukarno”.

Pancasila dan Sukarno barangkali adalah dua entitas bangsa yang tidak dapat dipisahkan. Membincangkan gagasan kebangsaan Sukarno nyaris tidak bisa dilakukan tanpa menyertakan perbincangan tentang Pancasila. Sebaliknya pun demikian, pembahasan ihwal Pancasila mustahil dilakukan tanpa membahas pikiran dan gagasan Sukarno. Sejarawan Peter Kasenda dalam bukunya Sukarno Muda: Biografi Politik 1926-1933 menjelaskan bahwa Sukarno merupakan sosok pemikir besar.

Di satu sisi, Sukarno ialah sosok nasionalis. Pengalaman menyaksikan sendiri penderitaan rakyatnya akibat penjajahan mengobarkan rasa cinta tanah air pada diri Sukarno. Di sisi lain, Sukarno juga merupakan figur relijius. Ia dikenal sebagai muslim yang taat namun berpandangan moderat. Di saat yang sama, Sukarno juga merupakan sosok internasionalis yang berpandangan terbuka terhadap kemanusiaan.

Sikap nasionalisme Sukarno menjadi bahan bakar yang mengobarkan semangat anti-imperialisme. Bagi Sukarno, imperalisme dan kapitalisme telah melahirkan corak masyarakat yang eksploitatif dan menindas. Imperialisme dan kapitalisme melahirkan apa yang diistilahkan sebagai exploitation de l’home par l’home alias eksploitasi antarmanusia. Sedangkan sikap relijius-moderatnya melahirkan pandangan keagaamaan yang kritis dan progresif.

Baca Juga : Dari Piagam Madinah ke Pancasila: Ikhtiar Membumikan Islam Rahmat dalam Konsensus Bernegara

Menurutnya, agama harus menjadi elan vital dalam gerakan pembebasan manusia dari ketertindasan dan penjajahan. Bukan sebaliknya, menjadi penghalang bagi terciptanya kebebasan. Maka, ia tanpa segan mengkritik umat Islam yang anti-pada pemikiran progresif-moderat sebagai “Islam Sontoloyo”. Terakhir, pandangannya tentang kemanusiaan dan internasionalisme menempatkannya setara dengan para tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi yang lebih mengedepankan sikap kemanusiaan ketimbang identitas kebangsaan, apalagi keagamaan. Menurut Sukarno, humanisme harus berdiri di atas fondasi egalitarianisme.

Prinsip-prinsip dasar tentang nasionalisme, relijiusisme, egalitarianisme, dan humanisme itulah yang menjadi pokok-pokok pikiran ketika ia merumuskan Pancasila. Ditambah lagi dengan pengetahuan tentang sejarah, tradisi, budaya dan pemikiran Nusantara yang juga menjadi salah satu keunggulan lain Sukarno. Pemikiran dan ideologi besar dunia serta warisan tradisi Nusantara itulah yang lantas menjadi bahan baku terciptanya Pancasila.

Tahun ini, Pancasila genap berusia 75 tahun. Pancasila telah melalui berbagai Orde dan pemerintahan sekaligus melewati tantangan yang tidak ringan. Di masa Orde Lama, Pancasila menghadapi ancaman dari kelompok kiri yang ingin mengubah haluan negara ke arah sosialisme-komunisme. Di era Orde Baru, Pancasila menghadapi tantangan globalisasi dan westernisasi yang mewujud pada munculnya neo-imperialisme.

Kini, di era Reformasi salah satu tantangan berat Pancasila datang dari ideologi radikalisme-terorisme berlatar agama. Radikalisme dan terorisme bertumpu pada nalar kekerasan yang menjurus pada dehumanisasi. Ideologi kekerasan jelas bertentangan dengan Pancasila yang memartabatkan manusia dan melindungi hak-hak dasarnya sebagai sebuah kebutuhan vital. Maka dari itu, ideologi radikalisme-terorisme harus dilawan, diberantas hingga ke akar-akarnya.

Stefani von Hlatky dalam bukunya Countering Violent Extremism and Terrorism menuturkan bahwa setidaknya ada empat pendekatan dalam menangangi virus radikalisme-terorisme keagamaan. Pertama, pendekatan hukum (law approachment), yakni penegakan hukum terhadap pelaku tindakan radikalisme-terorisme yang didukung dengan aturan hukum atau undang-undang yang jelas. Di titik ini, radikalisme-terorisme dipahami sebagai sebuah persoalan hukum an sich.

Kedua, pendekatan militer (military approachment), yakni strategi pemberantasan radikalisme-terorisme melalui pendekatan militeristik dengan mengerahkan kekuatan pertahanan dan keamanan. Dalam konteks ini, radikalisme dan terorisme diposisikan sebagai kekuatan yang menghadirkan ancaman bagi keamanan sekaligus pertahanan negara.

Ketiga pendekatan sosio-kultural (socio-cultural approachment) atau kerap juga disebut pendekatan lunak, yakni menghadapi radikalisme-terorisme melalui strategi kebudayaan. Dalam hal ini, radikalisme dan terorisme dipahami sebagai sebuah fenomena sosial, politik dan agama yang bisa diurai dengan pendekatan sosial-kebudayaan. Terakhir, pendekatan komprehensif (comprehensive approachment) yang melibatkan seluruh aspek (hukum, militer dan sosial-budaya) untuk mengurai problem radikalisme-terorisme.

Dari empat pendekatan itu, pendekatan komprehensif dianggap paling ideal dalam memberantas radikalisme-terorisme hingga ke akarnya. Meski demikian, pada kenyataannya hal itu cukup sulit dilakukan. Sebagian besar negara di dunia masih memakai pendekatan hukum dan militer dalam menghadapi arus radikalisme-terorisme. Belum lagi di lapangan, pendekatan hukum dan militer kerap berbenturan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM).

Pada akhirnya, pendekatan hukum dan militer justru melahirkan spiral kekerasan (spiral of violence). Sebagai solusi jangka pendek, hal itu memang efektif untuk memangkas ruang gerak para eksponen radikal-teroris. Namun, dalam konteks jangka panjang hal itu belum cukup untuk menganulir radikalisme-terorisme hingga ke akar-akarnya.

Pancasila yang memiliki dasar filosofis dan ideologis tentang ketuhanan, inklusivisme, toleransi, kemanusiaan, dan musyawarah kiranya bisa menjadi senjata untuk melawan radikalisme-terorisme. Kuncinya, ialah menerapkan Pancasila dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara mulai dari aspek hukum, politik, sosial, ekonomi termasuk agamanya.

Dari aspek hukum, pemerintah wajib memastikan semua undang-undang dan peraturan harus menjiwai semangat egalitarianisme Pancasila. Pemerintah wajib menjamin tidak ada satu pun orang yang merasa dianaktirikan oleh kebijakan negara. Konsep egalitarianisme ini pula yang diperjuangkan Sukarno dan para pendiri bangsa. Mereka, para pendiri bangsa menyadari bahwa ketidakadilan ialah sumber dari segala jenis kekerasan dalam peradaban manusia.

Begitu pula dari aspek politik, sosial dan ekonomi, dimana Pancasila wajib dijadikan sebagai paradigma berpikir dan bertindak masyarakat Indonesia. Kegotong-royongan, kolektivisme dan musyawarah harus menjadi elemen-elemen pokok yang wajib hadir dalam konteks relasi sosial masyarakat Indonesia. Tanpa ketiga elemen itu, masyarakat Indonesia akan tumbuh menjadi ekosistem yang arogan dan eksklusif.

Dalam konteks keagamaan, umat beragama perlu mengembangkan prinsip ketuhanan sebagaimana dicita-citakan Pancasila, yakni ketuhanan yang adaptif pada realitas sosial-keagamaan yang pluralistik. Manifestasi kebertuhanan ala Pancasila itu akan melahirkan corak keberagamaan yang moderat; inklusif, toleran dan pluralis. Jika umat beragama di Indonesia bisa berpandangan moderat, maka mustahil radikalisme dan terorisme bisa diterima di ruang publik kita. Arkian, di masa kenormalan baru ini, masyarakat diharapkan untuk menjaga imunitas tubuhnya guna menangkal paparan virus Corona. Di saat yang sama, masyarakat juga perlu meningkatkan imunitas ideologis-filosofisnya guna menangkal sebaran virus radikal terorisme yang tidak kalah membahayakannya. Prinsip dan nilai Pancasila ihwal ketuhanan, toleransi, gotong-royong dan musyawarah kiranya bisa dioptimalisasikan untuk menangkal nalar dan kultur kekerasan yang menjadi watak kaum radikal-teroris.

Facebook Comments